Menyelam dalam Karya, Menabur Benih Setara

Kolaborasi 16HAKtP baru saja selesai, ditandai dengan 10 Desember sebagai datum peringatan Hari HAM sedunia.

oleh Rino Abonita diperbarui 17 Des 2021, 15:47 WIB
Pengunjung sedang melihat karya seni di salah satu galeri dalam pameran kolaboratif 16HAKtP dimotori LBH Banda Aceh. Foto diambil pada tanggal 25 November 2021 (Liputan6.com/Rino Abonita)

Liputan6.com, Aceh - Selasa malam (23/11/2021), ketika orang-orang tengah sibuk mengerjakan persiapan pameran kolaboratif 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (16HAKtP) di pelataran Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Banda Aceh, yang akan diadakan mulai dari 25 November sampai 10 Desember, seorang pemuda bertubuh tambun tiba-tiba muncul. Datang dengan beanie berwarna sage serta kaus hitam bertuliskan Pantera, pemuda bernama Zaky Maulana (26) itu ternyata merupakan salah satu seniman anom yang akan ikut andil dalam ekshibisi tersebut. 

Malam itu, Zaky duduk terbengong-bengong memandangi kanvas miliknya. Isi kanvas sebagian besar masih kosong, baru berupa goresan kuas yang masih belum selesai, lebih tepatnya hanya sketsa jari tangan yang tengah menggenggam setang gitar menyerupai akor—boleh jadi, ia terinspirasi oleh dirinya sendiri yang saat itu tengah memetik gitar sembari duduk menyerana di seberang karya yang belum kelar tersebut.

Seseorang yang diberi tanggung jawab untuk menyeleksi karya seni para perupa yang akan ditampilkan dalam ekshibisi 16HAKtP tersebut sempat bertanya perihal konsep karya yang sedang digarap oleh pemuda yang mengaku merupakan fan berat kuartet Groove Metal asal Texas itu. Kurator ad hoc tadi sangsi kalau-kalau yang sedang dikerjakan oleh Zaky nantinya mampu merepresentasikan secara imajiner isu antikekerasan terhadap perempuan.

"Tetapi, nanti saya akan menaruh akor lagu yang berkaitan dengan antikekerasan terhadap perempuan di situ," dalih pemuda yang memiliki pedengan Jack itu.

Kanvas yang telah setengah terisi belakangan dicat kembali jadi putih seperti sediakala karena ternyata Jack juga ragu dan mulai surut atas apa yang sudah dirancangnya barusan. Kelak, kanvas berukuran sekitar 32x30 inci itu diisi oleh Jack dengan sesosok wajah mahsyur asal Kota Seribu Cahaya, Pakistan, yaitu Malala Yousafzai.

Wajah Gul Mukai (nama samaran Malala saat menulis di blog untuk BBC Urdu), itu digambar oleh Jack dengan spidol, menggunakan skala yang hampir sama dengan ukuran wajah orang rata-rata. Perempuan yang menjadi target Taliban karena memperjuangkan pendidikan itu mengenakan kerudung dengan garis-garis paralel yang membentuk arsiran tegas, disisip poni ikonis yang menyembul lebar serta bola mata yang melirik ke kanan. 

 

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.


Bom Buku dari Malala

Zaky alias Jack (26), salah seorang seniman drawing berfoto di depan hasil karyanya. Foto diambil pada 15 Desember 2021 (Liputan6.com/Rino Abonita)

Sementara setengah badan Malala mengambil sebagian besar wilayah kanan kanvas, tiga pesawat Kamikaze terlihat bermanuver dan sedang menjatuhkan buku-buku di udara, sesuatu yang memang jadi basis serta simbol perjuangan Malala dalam meretas monopoli pendidikan yang selama ini didominasi oleh laki-laki sementara perempuan diperosokkan ke jurang-jurang nirpengetahuan.

Di antara sobekan lembaran halaman buku yang ikut beterbangan itu terdapat tiga lembar yang berisi kutipan Malala. Salah satunya bertuliskan, "what I want the most is education, and I am not afraid of anything!"

Jack juga menaruh seekor kupu-kupu berukuran mini tepat di atas bahu kanan Malala. Itu adalah kupu-kupu monarch atau kupu-kupu raja, yaitu jenis rama-rama yang diidolakan oleh Jack sejak berada di bangku kuliah. 

Berkaitan dengan penaruhan kupu-kupu yang terancam punah menurut sebuah makalah terbitan Biological Conservation 2017 itu, konsepnya masih segaris dengan yang diusung dalam kampanye 16HAKtP secara global, terutama berkaitan dengan dipilihnya datum 25 November oleh Majelis Umum PBB sebagai hari antikekerasan terhadap perempuan yang sejatinya merupakan tanggal kematian Mirabal bersaudari. 

Mirabal bersaudari merupakan perempuan asal Republik Dominika yang ikut melawan rezim Rafael Truijilo, dan sampai sekarang masih jadi simbol eminen, terutama bagi sebagian besar kalangan feminis serta bagi gerakan perlawanan yang bersifat vis-à-vis dengan pelanggaran Hak Asasi Manusia. Dunia juga mengenal mereka dengan nama lain: Las Mariposas, yang artinya kupu-kupu. 

Jack tentu saja bukan satu-satunya seniman yang menjadi kontributor bagi perhelatan yang digodok selama setengah bulan plus satu hari tersebut. LBH Banda Aceh juga ikut menarik sejumlah komunitas seni ke dalamnya, seperti Komunitas Kanot Bu, Kamp Kulu, Apotek Wareuna, sampai sejumlah seniman cum mahasiswa asal Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Aceh. 


Kasab Sang Calon Doktor

Pengunjung sedang melihat karya seni di salah satu galeri dalam pameran kolaboratif 16HAKtP dimotori LBH Banda Aceh. Foto diambil pada tanggal 25 November 2021 (Liputan6.com/Rino Abonita)

Pada hari-hari ketika ekshibisi sedang berlangsung, pengunjung boleh jadi akan menangkap kesan prima facie pada fasad bangunan kantor LBH Banda Aceh. Terutama pada malam hari, ketika pantulan dari cahaya lampu sorot mempertegas tekstur lekuk melancip yang terdapat di dinding tersebut. 

Kilasan silver dari lapisan dempul tersebut terasa ramah untuk mata. Otak utama yang mengerjai fasad bangunan tersebut adalah Iskandar Tungang, orang yang sengaja mengawinkan teknik kasab Aceh dengan metode mendempul. 

Kasab tersebut menganjur hingga ke atas, menyentuh para-para beton yang menaungi jendela tengah kantor. Jika jeli, yang melihat akan tahu bahwa di sana juga terdapat unsur sufisme melalui beberapa aksara arab yang tersemat di antara kasab tersebut. 

Meski agak sulit dibaca dengan kacamata awam, kasab bikinan Iskandar ditengarai mewakili konsep Tulak Bala (Baca: Tolak Bala), yang menjadi ruh bagi kampanye kolaboratif 16HAKtP yang dinakhodai oleh LBH Banda Aceh. Simbolisme ornamental yang hadir lewat kasab menurutnya sangat proksimal atau lokalitas, karena unsur keacehannya yang kuat.

"Kasab akan terasa estetis, meskipun isinya sadis," ucap calon doktor jurusan desain grafis yang terlihat sederhana, tidak perlente, serta suka memelihara kumis yang menukik jatuh ke bawah ala Danny Trejo itu, tepat di malam kedua ketika perhelatan 16HAKtP sedang berlangsung. 

Lulusan Institut Seni itu mengaku pernah jadi seorang realis sampai pada suatu ketika ia merasa jelak kemudian memutuskan terjun ke dalam perigi beberapa jenis seni lainnya. Saat itu, baginya sebagai seorang realis ia merasa dibatasi oleh karyanya sendiri karena realis menuntut adanya kemiripan yang identik dengan objek di dunia nyata.


Ekspresi dari Kampus

Iskandar Tungang, salah satu seniman dalam pameran kolaboratif 16HAKtP di Aceh yang memadukan seni kasab dengan teknik mendempul. Foto diambil pada 26 November 2021 (Liputan6.com/Rino Abonita)

Karena Iskandar termasuk orang yang percaya bahwa seni erat dengan imaji-fantasi, membebaskan, dan memberi sensasi, setelah hiatus, ia pun memilih untuk bergelut di jalan sunyi yang disebutnya seni simbolik. Salah satu karya dari Iskandar yang ditorehkan di atas kanvas dalam pameran tersebut juga sangat mencerminkan siapa dirinya. 

Liputan6.com melihat secara langsung bagaimana malam-malam perhelatan 16HAKtP tersebut berlangsung. Pelataran yang selama ini digunakan sebagai tempat parkir, serta rumah panggung yang keduanya memiliki panjang sekitar 20 meter lebih telah disulap oleh tangan dingin Fachrurrazi alias Ogut beserta skuad seniman dari ISBI Aceh jadi galeri dadakan serta diisi dengan puluhan karya seni rupa pelbagai genre. 

Rerata karya-karya tersebut menunjukkan—sekalipun beberapa di antaranya sangat tidak kentara atau hanya tersirat—bagaimana dominasi laki-laki atas perempuan menghablur dalam struktur serta dikuatkan kembali oleh kultur. Di salah satu dinding, seorang seniman mengabadikan karyanya lewat lukisan satire yang diberi judul Sini Bapak Bimbing.

Karya perupa bernama Idrus bin Harun tersebut merupakan representasi imajiner fenomena kekerasan seksual dalam lingkup perguruan tinggi yang lazimnya dilakukan oleh oknum tenaga pengajar berbasis relasi kuasa atau patron klien.

Lukisan tersebut kembali jadi pengingat polemik Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi baru-baru ini.

Pengungkapan fenomena kekerasan seksual yang terjadi di kampus sampai saat ini masih gelap dan sulit ditembus. Para pelaku menjadikan posisi mereka sebagai tameng, sementara di sisi yang lain, jika kasus muncul ke permukaan, bonafide perguruan tinggi di mana kasus tersebut terjadi akan tercoreng, dengan kata lain, selain berhadapan dengan pelaku, korban juga mesti berhadapan dengan kekuasaan. 


Kembali

Pengunjung sedang melihat karya seni di salah satu galeri dalam pameran kolaboratif 16HAKtP dimotori LBH Banda Aceh. Foto diambil pada tanggal 25 November 2021 (Liputan6.com/Rino Abonita)

Beranjak ke bagian depan galeri yang awalnya merupakan parkiran tersebut, terdapat lukisan yang memperlihatkan mawar putih dalam dekapan mawar merah, dengan wujud badan menyerupai manusia. Karya Laila Noviani (23) itu cenderung memancarkan warna yang terkesan metalik, serta memiliki dimensi yang lebih hidup karena ia menggunakan teknik totol menggunakan ujung kuas untuk mempertegas tekstur pewarnaan karyanya. 

Ada rasa takut yang bahana muncul dari gestur mawar putih tersebut meski pelukisnya tidak bermain mimik di sana. Adapun mawar merah, ia jadi simbol yang mengayomi mawar putih, sementara keduanya berada di suatu tempat yang terasa kersang jika dilihat dari latar yang terdiri atas batang serta cabang pohon yang jauh dari kata hidup. 

"Judulnya Kembali ke Pelukan Ibu. Lukisan tersebut berdasarkan pengalaman, kenapa saya ambil konsep ibu, karena sudah beberapa kali mengalami kekerasan seksual baik secara verbal maupun fisik, tetapi kembali, untuk kuat sampai sekarang ada sosok ibu. Ibu itu penyembuh," ungkap mahasiswa semester sembilan jurusan seni rupa dan desain itu, Rabu malam (15/12/2021). 

Sebagai catatan, selama perhelatan 16 hari di pelataran LBH Banda Aceh, terdapat 13 perempuan penyintas kekerasan seksual yang telah memutuskan untuk berani bersuara (speak up) di depan publik pertama kalinya. Itu terjadi ketika sesi diskusi tematik sedang berlangsung. 

Tidak jauh dari lukisan tersebut, terdapat sebuah lukisan memperlihatkan seorang perempuan yang matanya ditutup kain merah. Pelukisnya merupakan seorang advokat bernama Arabiyani yang saat ini juga bergabung dalam Komunitas Revisi Qanun Jinayah (Reqan).

Komunitas Reqan adalah komunitas yang bertujuan untuk mengadvokasi dicabutnya dua pasal dari Qanun Nomor 06 Tahun 2014 tentang Jinayat yang dianggap bertolak belakang dengan upaya penegakan hukum terhadap predator anak serta perlindungan hukum terhadap korban. Mengenai lukisannya, Arabiyani pernah menjelaskan bahwa hal tersebut merupakan representasi bagaimana perempuan menjadi pilong oleh skenario patriarki hampir di setiap kondisi. 


Dari Karya Sang Advokat sampai Retrofilia

Fakhrurrazi alias Ogut, adalah orang seorang seniman yang bertanggung jawab dalam hal penataan galeri serta panggung selama pameran kolaboratif 16HAKtP di pelataran LBH Banda Aceh. Foto diambil pada 26 November 2021 (Liputan6.com/Rino Abonita)

"Dalam konteks kekerasan, ketika perempuan jadi korban, matanya ditutup dari fakta bahwa dia adalah korban yang harusnya mendapatkan perlindungan. Alih-alih mendapatkan haknya, perempuan ditutup matanya dari kenyataan dan dijejali pemahaman bahwa perempuan yang baik adalah perempuan yang menerima kondisinya dan tidak berparadoks," jelas Arabiyani, belum lama ini. 

Dari Patabolin Studio, Arifa Hikmah muncul dengan karyanya Gekke Atjehsche? berupa gambar empat orang perempuan yang tiga di antaranya sedang menggenggam senjata tajam sampai memangku senjata api. Seniman perempuan retrofilia itu juga membawa dua perekam kaset audio tua yang telah ditaburinya dengan sejumlah kutipan, seperti, "saya harus bicara," yang merupakan kutipan dari suara perempuan eks kombatan Aceh, Burundi, Mindanao dan Nepal, yang dikutip dari buku terbitan Berghof Foundation 2020.

Dalam beberapa kesempatan, Arifa melakukan embara, menyusuri jejak petilasan terutama yang berkaitan dengan pelanggaran HAM masa lalu. Ia memanfaatkan arsip-arsip koran lama bahkan menjadikan benda-benda dari masa lalu seperti portable turntable, gas mask, mesin ketik dan TV vintage, sebagai medium tualangnya."Medium tersebut membawa kita menjelajah peristiwa masa lalu yang masih langgeng hingga saat ini, yaitu peristiwa pelanggaran HAM, kekerasan seksual, ketimpangan sosial hingga perusakan lingkungan yang berdampak pada krisis iklim. Pengolahan wahana menjadi karya seni rupa ini juga menunjukkan bagaimana peristiwa lama terulang dan meninggalkan pola yang terpelihara," jelas dia, Kamis (16/12/2021).

Selain diskusi, perhelatan tersebut juga diwarnai oleh pertunjukan seni musik, salah satunya diisi oleh musisi cum sahibulhikayat kenamaan di provinsi itu, yaitu Fuady S. Keulayu. Fuady merupakan seniman yang menetas dari Komunitas Kanot Bu, dan telah merilis pelbagai singel sampai album baik dalam bentuk solo maupun grup band.

Seorang seniman perempuan bernama Rozhatul Valica untuk pertama kalinya mengudarakan lagu yang ia ciptakan sendiri berjudul Atma Jejal. Lagu yang merupakan representasi imajiner pertarungan psikis dari perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual tersebut dibawakan oleh vokalis jaz bernama Oni Imelva. 

Dalam orasi malam pembukaan sampai penutupan, Direktur LBH Banda Aceh Syahrul mengatakan bahwa secara pribadi, pameran kolaboratif yang dimotori oleh lembaga yang tengah dipimpinnya itu ia persembahkan untuk dua orang perempuan: Syarifah Murlina dan Aida Fitria, dua perempuan yang sampai akhir hayat masih mengabdi untuk isu kemanusiaan di LBH Banda Aceh. Perlu dicatat bahwa kemungkinan besar, perhelatan tersebut merupakan yang terpanjang dalam sejarah 16HAKtP di Aceh—bahkan boleh jadi untuk tingkat nasional, karena digelar secara nonstop selama 16 hari berturut-turut dalam bentuk fisik, wallahualam. 

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya