Liputan6.com, Jakarta - COVID-19 varian Omicron telah menyebar di sejumlah negara Eropa, Pasifik, dan Asia, termaksud Indonesia.
Varian yang disebut lebih cepat menular dari varian lain ini juga telah menyebar di belasan negara bagian di Amerika Serikat.
Advertisement
Namun seberapa besar dampak penyebaran COVID-19 Omicron terhadap ekonomi negara-negara di dunia?
Untuk di Indonesia sendiri, Presiden Joko Widodo menyampaikan, saat ini perekonomian RI telah berangsur-angsur pulih pasca terdampak pandemi COVID-19.
Dia memproyeksikan, pertumbuhan ekonomi domestik di kuartal IV-2021 bisa tumbuh lebih tinggi dari kuartal sebelumnya.
"Bahkan, (ekonomi) tumbuh sangat baik," ujar Jokowi dalam paparannya yang disampaikan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam acara Opening Ceremony The 3rd Indonesia Fintech Summit 2021, pada 11 Desember 2021.
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati juga memprediksi ekonomi Indonesia bisa tumbuh 3,7 persen hingga 4,5 persen pada 2021.
"Dari keseluruhan tahun ini akan ada akselerasi pertumbuhan ekonomi sehingga di akhir tahun bisa tumbuh 3,7 persen - 4,5 persen," kata Sri Mulyani dalam webinar: Hadapi Bersama Perubahan Iklim dan Strategi Ekonomi Hijau, pada Selasa (14/12/2021).
Sementara itu, beberapa negara menyebut penyebaran COVID-19 Omicron dapat menimbulkan risiko bagi perekomonian mereka. Berikut adalah deretan negara tersebut :
1. Amerika Serikat
Ketua Federal Reserve (Bank Sentral AS) Jerome Powell percaya bahwa varian omicron dan peningkatan kasus COVID-19 baru-baru ini di AS menimbulkan ancaman bagi ekonomi negaranya.
"Kenaikan baru-baru ini dalam kasus COVID-19 dan munculnya varian Omicron menimbulkan risiko penurunan terhadap pekerjaan dan kegiatan ekonomi, serta meningkatkan ketidakpastian inflasi," kata Powell dalam sambutannya kepada anggota parlemen Senat pada 29 November 2021.
"Kekhawatiran yang lebih besar tentang virus dapat mengurangi kesediaan masyarakat untuk bekerja secara langsung, yang akan memperlambat kemajuan di pasar tenaga kerja dan mengintensifkan gangguan rantai pasokan," sebutnya, dikutip dari laman CNBC, Jumat (17/12/2021).
Powell juga memberikan komentar lebih langsung tentang inflasi di AS, mengatakan bahwa sulit untuk memperkirakan kegigihan dan dampak kendala pasokan, tetapi sekarang tampaknya "faktor-faktor yang mendorong inflasi ke atas akan bertahan hingga tahun depan."
Advertisement
2. Selandia Baru
Pembuat kebijakan di Selandia Baru tengah waspada terhadap potensi pukulan ekonomi dari varian COVID-19 Omicron.
Namun, negara itu tetap berencana untuk secara progresif melonggarkan pembatasan perbatasan mulai awal 2022.
"Penyebaran omicron dalam skala besar di seluruh negara yang kita lihat saat ini berpotensi menyebar ke Selandia Baru," kata Menteri Keuangan Selandia Baru, Grant Robertson, dikutip dari laman Bloomberg.
"Meskipun mengganggu, dan sangat memprihatinkan dari perspektif kesehatan, kami tetap yakin ekonomi Selandia Baru akan tangguh," ujarnya.
Robertson menyampaikan, pihaknya akan terus memantau penyebaran omicron dan tingkat keparahannya juga.
"Kami memiliki beberapa ulasan, salah satunya pada awal Januari, sebelum kami memulai proses itu," terangnya.
Sebuah laporan pekan ini menunjukkan ekonomi Selandia Baru mengalami kontraksi pada kuartal terakhir. Tetapi pemerintah negara itu juga meluncurkan pembaruan fiskal yang meramalkan pertumbuhan ekonomi yang stabil pada tahun 2022 mendatang an memproyeksikan kembalinya surplus anggaran pada tahun 2024.
"Selandia Baru cukup tangguh secara ekonomi selama dua tahun terakhir," kata Robertson, yang juga menjabat sebagai wakil perdana menteri.
"Saya tetap optimis tentang kemampuan kami untuk bangkit kembali," pungkasnya.
3. China
Ekonomi China masih berjuang mempertahankan ekonominya dengan masalah utang real estat dan dampak dari lockdown akibat pandemi Covid-19.
Dengan adanya penyebaran global varian COVID-19 Omicron, ekonomi negara itu disebut bakal mengalami penurunan tajam tahun depan.
Data pemerintah yang dirilis pada Rabu (15/12) menunjukkan titik-titik masalah untuk ekonomi terbesar kedua di dunia tersebut pada bulan November.
Dikutip dari CNN, harga perumahan residensial turun untuk bulan ketiga berturut-turut, yang merupakan sebuah tanda bahwa krisis properti yang sedang berlangsung terus berlanjut.
Penjualan ritel di China juga berjuang, menunjukkan bahwa wabah COVID-19 dan upaya "nol-kasu covid" pemerintah untuk mengunci wilayah di mana virus menyebar berdampak pada perekonomian.
Analis mengatakan masalah ini tidak akan hilang, karena wabah baru memaksa perusahaan untuk menutup pabrik di wilayah manufaktur utama.
"Wabah baru COVID-19 di Zhejiang jugakembali memicu pembatasan lokal dan penutupan pabrik, sementara masalah di sektor properti kemungkinan akan menahan pembangunan properti untuk beberapa waktu," kata analis dari Capital Economics dalam catatannya.
"Upaya pemerintah untuk melonggarkan kebijakan dan membantu ekonomi hanya akan meredam perlambatan yang diakibatkannya," tambah para analis tersebut.
Advertisement