Liputan6.com, Jakarta - Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) gagal dibawa ke Rapat Paripurna DPR RI pada Rabu 15 Desember 2021.
Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Willy Aditya menjelaskan hal tersebut karena Badan Musyawarah (Bamus) gagal digelar hingga 15 Desember 2021. Padahal, Bamus adalah syarat agar RUU bisa dibawa ke paripurna.
"Belum diagendakan (paripurna), enggak jadi Bamus," ujar Willy saat dihubungi, Rabu 15 Desember 2021.
Baca Juga
Advertisement
Meski demikian, Willy menyebut DPR berencana membawa RUU TPKS pada masa sidang selanjutnya. "Akan dibawa rapur pembukaan masa sidang depan," tutup dia.
Pro kontra pun bermunculan usai gagalnya RUU TPKS dibawa ke Rapat Paripurna DPR RI pada Rabu 15 Desember 2021.
Salah satunya disampaikan Ketua Fraksi PKB di DPR Cucun Ahmad Syamsurijal. Cucun meminta agar isu kekerasan seksual yang saat ini meningkat menjadi pembahasan khusus dalam Muktamar Ke-34 Nadhlatul Ulama (NU) di Lampung yang akan diselenggarakan pada 22-23 Desember 2021.
"Kami memohon pada muktamirin membahas secara khusus persoalan kekerasan seksual yang kian meningkat dengan beragam modusnya. Kami berharap ada rekomendasi khusus terkait persoalan ini agar menjadi energi perjuangan kami di forum legislasi," kata Cucun di Ruang Fraksi PKB, Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis 16 Desember 2021.
Padahal, Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menegaskan, pengesahan RUU TPKS sangat mendesak.
Beriku deretan pro dan kontra soal gagalnya RUU TPKS dibawa ke Rapat Paripurna DPR RI pada Rabu 15 Desember 2021 dihimpun Liputan6.com:
1. Komnas Perempuan
Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menyebut pengesahan Rancangan Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) sangat mendesak. Komnas Perempuan berharap RUU TPKS masuk dalam inisiatif DPR 2022 mendatang.
"Mendesak Pimpinan DPR RI untuk memastikan pembahasan dan pengesahan RUU TPKS sebagai usul inisiatif DPR RI pada tahun 2022," ujar Komisioner Komnas Perempuan Siti Aminah Tardi dalam keterangannya, Jumat 17 Desember 2021.
Siti Aminah menyayangkan RUU TPKS belum ditetapkan sebagai usul inisiatif dalam sidang paripurna DPR yang diselenggarakan pada Kamis, 16 Desember 2021. Pasalnya, RUU dinanti-nanti rakyat Indonesia, khususnya korban tindak pidana kekerasan seksual, keluarga korban, dan pendamping korban.
"RUU ini merupakan titian untuk mewujudkan perlindungan, penanganan, dan pemulihan korban kekerasan seksual dan upaya memutus keberulangan di tengah-tengah kondisi darurat kekerasan seksual," kata dia.
Dia menyebut, mendesaknya pengesahan RUU TPKS lantaran tingginya angka kekerasan seksual dalam rentang waktu 2001 hingga 2011. Selama dasawarsa tersebut, 25 persen kasus kekerasan terhadap perempuan merupakan kekerasan seksual.
Menurut data yang dia terima, dalam rentang waktu tersebut, dalam satu hari ada sekitar 35 perempuan menjadi korban kekerasan seksual.
"Artinya, setiap 2 jam ada 3 perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual," kata dia.
Siti Aminah menilai, sepanjang menunggu pengesahan RUU ini, sejak 2012 hingga 2020, Komnas Perempuan mencatat ada laporan sebanyak 45.069 kasus kekerasan seksual. Selain dapat dilihat secara jumlah, darurat kekerasan seksual juga dapat dilihat dari maraknya kasus pemberitaan kekerasan seksual di media massa.
"Peningkatan dan kompleksitas kasus-kasus kekerasan seksual yang diadukan tidak diimbangi dengan undang-undang yang mampu menghambat perkembangan kualitas dan kuantitas kekerasan seksual, serta ketiadaan jaminan hak-hak korban dan reviktimisasi selama menempuh jalur hukum," kata Siti Aminah.
Di sisi lain, Siti Aminah berterima kasih kepada para penyintas, keluarga korban, akademisi, media massa, dan lembaga layanan korban yang tak lelah memperjuangkan RUU TPKS ini hingga tahap pembahasan dan pengesahan. Dia meminta masyarakat untuk terus mendorong DPR segera mengesahkan RUU TPKS.
"Mendorong publik untuk terus mengawal dan mendukung dadan musyawarah dan pimpinan DPR RI menetapkan RUU TPKS sebagai RUU Inisiatif DPR dalam pembukaan masa sidang paripurna DPR Januari Tahun 2022," jelas dia.
Advertisement
2. Golkar
Anggota Badan Legislasi dari Fraksi Golkar, Firman Soebagyo menegaskan Golkar tidak menolak RUU TPKS. Ia menyebut, Golkar tak mau RUU tersebut terburu-buru dibawa ke paripurna sebelum semua hal terkecil dalam pasal dituntaskan.
"Golkar sama sekali tidak menolak, dari awal tidak menolak, Golkar justru mendorong bahwa RUU ini mendesak dan penting. Namun, ini belum clear semua kok tiba-tiba buru-buru disahkan," kata Firman pada Liputan6.com.
Salah satu fokus Golkar agar pendapat tokoh agama didengarkan DPR sebelum RUU itu disahkan menjadi RUU inisiatif DPR.
"Masih ada tokoh agama yang belum sempat kita dengarkan, itulah maka Golkar minta NU, Muhammadiyah dan lainnya kita dengarkan dulu. Karena masalah kekerasan seksual ini menyinggung berbagai elemen," katanya.
"Harus didengarkan para pakar semua," katanya.
Selain itu, menurut Firman terdapat pasal yang belum selesai dibahas, seperti hukuman bagi perusahaan yang ada kasus kekerasan seksual.
"Ada pasal yang belum klir, contoh pencabutan izin perusahaan, peraturan hubungan seksual sesama jenis itu dihukum tidak," kata dia.
"Kemudian hubungan seksual di luar nikah, ini hukum agama seperti apa," tambah dia.
3. PKB
Ketua Fraksi PKB di DPR Cucun Ahmad Syamsurijal meminta agar isu kekerasan seksual yang saat ini meningkat menjadi pembahasan khusus dalam Muktamar Ke-34 Nadhlatul Ulama (NU) di Lampung yang akan diselenggarakan pada 22-23 Desember 2021.
"Kami memohon pada muktamirin membahas secara khusus persoalan kekerasan seksual yang kian meningkat dengan beragam modusnya. Kami berharap ada rekomendasi khusus terkait persoalan ini agar menjadi energi perjuangan kami di forum legislasi," kata Cucun di Ruang Fraksi PKB, Kompleks Parlemen, Jakarta.
Cucun mengatakan kasus kekerasan seksual terjadi hampir di semua sektor masyarakat, baik di lingkungan kampus, perusahaan, hingga di tengah masyarakat umum. Para pelaku pun beragam dari dosen, bapak kepala rumah tangga, anak sekolah, bahkan para mahasiswa.
"Situasi ini tentu tidak bisa kita biarkan. Kami berharap ada penyelesaian secara sistematis melalui aturan dan regulasi yang lebih jelas," kata Cucun seperti dikutip dari Antara.
Dia mengungkapkan rekomendasi dari Muktamar NU terkait kasus kekerasan seksual sangat diperlukan oleh Fraksi PKB sebagai representasi politik kaum nahdliyin.
Diharapkan arahan para masyayikh, para ulama, dan para pengurus nadhliyin di semua level dari seluruh Indonesia bisa menjadi rumusan masalah kekerasan seksual dan alternatif solusinya.
“Kekerasan seksual ini banyak faktor pemicunya baik dari unsur sosiologis, ekonomi, maupun budaya. Kami memohon ada kajian khusus terkait penyebab dan alternatif solusi yang ditawarkan,” ujarnya.
Cucun menegaskan kajian dan bahasan di Forum Muktamar NU terkait kekerasan seksual akan lengkap karena akan dibahas dari kajian fikih, sosiologis, hingga unsur budaya masyarakat.
“Kajian ini tentu akan sangat penting menjadi patokan kami dalam memperjuangkan pengesahan RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) yang saat ini belum selesai dilakukan,” kata Cucun menegaskan.
Salah satu pengganjal pengesahan RUU TPKS, kata Cucun, adalah perbedaan cara pandang perumusan definisi kekerasan seksual di antara fraksi-fraksi di DPR. Perbedaan cara pandang ini cukup dalam karena dipengaruhi cara pandang keagamaan masing-masing fraksi.
“Jika Muktamar NU sebagai forum tertinggi organisasi keislaman terbesar telah merumuskan cara pandang keagamaan dalam menyikapi RUU TPKS ini, maka dampaknya akan sangat besar baik bagi kami Fraksi PKB maupun masyarakat umum sehingga bisa mempercepat pengesahan RUU TPKS,” jelas Cucun.
Cucun menegaskan sejak awal PKB mendukung pengesahan RUU TPKS. Hal itu untuk memastikan para korban kekerasan seksual mendapatkan perlindungan dan kasus kekerasan seksual bisa dicegah sedini mungkin.
Selain itu, undang-undang yang sudah ada seperti KUHP dan KUHAP harus diakui mempunyai beberapa kelemahan mendasar untuk melindungi korban kekerasan seksual.
“Oleh karena itu sesuai amanat dari Ketum DPP PKB Gus Muhaimin Iskandar, kami sepenuhnya mendukung pengesahan RUU TPKS,” kata Cucun.
Sementara itu, Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Luluk Nur Hamidah meminta pimpinan DPR tidak menggantung nasib Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS).
"Saat ini ada ratusan ribu korban kekerasan seksual di luar sana dan sebagian bahkan ada di gedung ini. Benar benar berharap atas kebijaksanaan pimpinan dan kita semua agar dalam forum yang terhormat ini kita bisa bersama sama. Mengesahkan RUU TPKS sebagai RUU inisiatif DPR," kata Luluk dalam Rapat Paripurna DPR
Dia menegaskan, jumlah korban kekerasan seksual terus bertambah dan tidak pandang usia.
"Tidak pandang latar belakang pendidikan, pekerjaan bahkan di lembaga lembaga yang kita anggap di sana diajarkan begitu banyak kebijakan dan kebaikan juga terjadi kekerasan seksual," ujar dia.
Luluk mengingatkan pimpinan DPR bahwa kekerasan seksual akan menjadi trauma yang menghantui korban sepanjang hayatnya.
"Pimpinan, Bapak Ibu, trauma kekerasan seksual akan dibawa sepanjang hayat hidup para korban. untuk bisa memahami luka kepedihan dan kegelapan yang dirasakan para korban, tak perlu kita menjadi korban dan tak perlu menunggu anak-anak kita dan orang-orang yang kita cintai harus menjadi korban. Enough is enough ketua," tegas politikus PKB ini.
"Saya mohon dengan kebijaksanaan juga dengan rasa kemanusiaan yang harus kita angkat lebih tinggi dari segenap kepentingan-kepentingan politik apalagi kepentingan politik jangka pendek maka RUU TPKS hendaknya bisa diputuskan bersama sama pimpinan menjadi RUU inisiatif DPR hari ini juga," lanjut dia.
Berbagai pihak, kata Luluk, telah menilai DPR gagal memperjuangkan RUU TPKS. Bahkan dinilai tidak memiliki sense of crisis atau rasa kepekaan adanya darurat kekerasan seksual.
"Enough is enough. cukup adalah cukup dan saya kira kita semua tidak ingin menjadi bagian yang tidak memiliki sense of crisis tersebut. Terima kasih Pimpinan dan sekali lagi mohon untuk disahkan bersama hari ini," jelas dia.
Advertisement
4. Wakil Ketua DPR RI
Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad mengatakan, batalnya Rancangan Undang-Undang tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) masuk ke rapat paripurna parlemen karena ada kesalahan teknis.
"Jadi RUU TPKS itu, pada waktu selesai dibahas kita sudah selesai rapim dan Bamus. Jadi itu tidak sempat dimasukkan ke rapim dan Bamus," kata Dasco pada wartawan.
Dia mengklaim tak ada masalah lain selain masalah teknis. Ia menepis kabar pimpinan DPR belum sepakat untuk membawa RUU tersebut ke paripurna.
"Masalah teknisnya itu adalah ketika kita rapim dan Bamus, UU belum selesai dibahas di tingkat 1. Eggak ada masalah di situ (pimpinan tidak sepakat), sama sekali. Justru kita karena dia belum masuk ya enggak bisa kita rapimkan," jelas Dasco.
Politikus Gerindra itu menjanjikan RUU TPKS akan dibawa ke paripurna pada masa sidang selanjutnya.
"Dan kita akan rencanakan pada masa sidang yang depan setelah reses ini, kesempatan pertama segera kita masukkan dalam rapim dan Bamus untuk segera disahkan di paripurna," klaim Dasco.
5. Ketua DPR RI
Ketua DPR RI Puan Maharani menyampaikan alasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) tidak masuk dalam rapat paripurna penutupan masa persidangan II DPR tahun sidang 2021-2022.
Menurut Puan, absennya RUU TPKS di rapat paripurna lantaran tidak cukup waktu untuk memasukkannya ke paripurna.
"Ini hanya masalah waktu, karena tidak ada waktu yang pas atau cukup untuk kemudian dirundingkan secara mekanisme yang ada," ujar Puan di kompleks parlemen, Jakarta.
Puan menyebut DPR ingin RUU TPKS disahkan sesuai tahapan dengan mekanisme yang benar.
"Kami berkeinginan Rancangan Undang-Undang TPKS memang bisa kami putuskan sesuai dengan mekanisme yang ada, sehingga pelaksanaan dari undang-undangnya yang berlaku secara baik dan benar dalam proses tahapannya," kata Puan.
Politikus PDI Perjuangan itu memastikan RUU TPKS akan dibawa ke rapat paripurna selanjutnya. Ia menyebut tak ada masalah tertentu yang membuat RUU TPKS batal diparipurnakan.
"Insyaallah pada awal masa sidang yang akan datang akan memutuskan. Ini nggak ada masalah apa-apa. Kami mendukung, DPR mendukung agar ini disahkan untuk menjadi suatu undang-undang yang kemudian menjaga, menyelamatkan hal-hal yang sekarang ini banyak terjadi," paparnya.
Yang pasti, lanjut Puan, pihaknya mendukung RUU tersebut dan seperti keinginan masyarakat juga berharap segera disahkan menjadi UU.
"Jadi ini soal waktu, pimpinan dan DPR tentu saja mendukung dan akan segera mengesahkan ini melalui keputusan tingkat II yaitu melalui paripurna," pungkas dia.
Advertisement