Liputan6.com, Naypyidaw - Berbagai organisasi HAM menyatakan junta Myanmar memperketat cengkeramannya atas aliran bantuan kemanusiaan untuk ribuan keluarga yang terusir dari rumah mereka akibat pertempuran sejak kudeta 1 Februari. Junta dikatakan sengaja membuat warga sipil yang kelaparan tidak mendapatkan pasokan bantuan itu dalam upaya menumpas perlawanan bersenjata yang kian berkembang.
PBB menyatakan pertempuran antara militer dan kelompok-kelompok bersenjata lama maupun baru telah mendorong semakin banyak keluarga mengungsi dari kota dan desa setiap bulan. Lebih dari 284 ribu orang mengungsi akibat kekerasan pascakudeta hingga awal Desember.
Advertisement
Sebagian besar dari mereka berada di kawasan terpencil dan bermedan sulit di bagian barat laut dan tenggara Myanmar, di mana perlawanan bersenjata dari kelompok-kelompok minoritas bersenjata dan apa yang disebut sebagai pasukan pertahanan rakyat berlangsung paling sengit.
Berbagai organisasi amal dan bantuan lokal dan internasional sedang berupaya menjangkau keluarga pengungsi dengan makanan dan obat untuk mencegah gelombang penyakit dan kelaparan. Tetapi menurut berbagai organisasi HAM, tentara dan polisi Myanmar membuat semakin sulit upaya itu dengan memblokade jalan, menyita dan menghancurkan pasokan serta menangkap para pekerja bantuan.
“Apa yang kami lihat sekarang ini adalah militer, dalam upayanya untuk memutus pasokan ke pasukan etnis bersenjata dan pasukan pertahanan rakyat yang mereka hadapi sekarang, juga memutuskan pasokan vital untuk warga. Dan pasokan ini adalah barang-barang biasa, barang-barang kebutuhan dasar,” kata Emerlynne Gil, deputi direktur riset regional Amnesty International sebagaimana diwartakan VOA, dikutip pada Minggu (19/12/2021).
Amnesty merilis laporan singkat mengenai restriksi bantuan itu hari Jumat, yang didasarkan pada wawancara dengan keluarga pengungsi serta para petugas bantuan lokal dan sukarelawan.
Menguatkan Laporan PBB
Dalam berita terbaru mengenai situasi kemanusiaan di Myanmar pekan lalu, PBB menyatakan izin perjalanan yang ditolak dan ditunda dari pihak berwenang dan ditingkatkannya pemeriksaan terhadap staf dan pasokan bantuan “menghambat operasi dan memperpanjang penderitaan.”
Berbagai organisasi HAM internasional dan lokal menguatkan kecenderungan itu.
“Banyak daerah di mana junta meningkatkan kehadirannya menghadapi militerisasi yang meningkat, jadi lebih banyak pos pemeriksaan, yang berarti para petugas bantuan dan petugas tanggapan lokal di daerah-daerah itu menghadapi lebih banyak gangguan. Pekerja bantuan ditangkap dan ditahan, konvoi bantuan dipulangkan, pasokannya disita,” kata Shayna Bauchner, peneliti Asia untuk Human Rights Watch.
Berbagai organisasi HAM menyatakan bahwa dalam menghalangi bantuan itu, militer Myanmar menggunakan pedoman “empat pemotongan” untuk menghalangi kelompok-kelompok pemberontak bersenjata mendapatkan akses ke makanan, dana, informasi intelijen dan anggota baru, dengan menutup komunitas-komunitas sekitarnya yang mungkin bersimpati dan mendukung mereka.
Bauchner mengatakan hal tersebut membuat warga sipil bukan hanya sebagai korban ikutan, tetapi sengaja dijadikan sasaran.
Advertisement