Furnitur Lawas dan Bekas Jadi Tren Dekorasi Rumah Terbaru

Apa penyebab di balik booming-nya furnitur lawas dan bekas?

oleh Asnida Riani diperbarui 19 Des 2021, 05:00 WIB
Ilustrasi furnitur. (dok. pexels/Max Vakhtbovych)

Liputan6.com, Jakarta - Fenomena mayoritas orang menghabiskan lebih banyak waktu di rumah selama 2020 sejalan dengan uang yang dikeluarkan untuk melengkapi tempat tinggal. Menurut laporan baru-baru ini, mengutip Vogue, Sabtu, 18 Desember 2021, pengeluaran untuk membeli furnitur dan perabot rumah di Amerika Serikat (AS) tumbuh dari 373 miliar dolar AS jadi 405 miliar dolar AS sepanjang tahun.

Situs e-commerce sendiri melihat pertumbuhan substansial, satu segmen pasar khusus dalam tingginya permintaan ini, yakni furnitur vintage. Pengecer furnitur lawas dan bekas, Chairish, mengalami peningkatan penjualan sebesar 60 persen.

Situs koleksi mewah 1stDibs mengalami peningkatan sebesar 23 persen. Sementara itu Kaiyo, sebuah startup yang menyebut dirinya "Thred-Up for Furniture," mengatakan mereka mencatat pertumbuhan tiga digit dari bulan ke bulan.

Mengapa? Harga yang umumnya lebih murah jadi salah satu alasan, terutama selama masa ekonomi yang tidak menentu seperti sekarang. Namun demikian, barang-barang antik juga "terbang dari rak."

1stDibs menyebut tidak dapat menyimpan Sofa Camaleonda Mario Bellini, Kursi Santai Ray dan Charles Eames, atau cermin Ultrafragola dalam persediaan. Chairish melihat pengguna menjual sofa Togo Michel Ducaroy dengan untung. Dalam laporan tahunannya, Kaiyo mengatakan mereka menjual sofa DDC On the Rocks seharga 18.346 dolar AS (Rp264 juta), jauh dari tawar-menawar.

Lalu, ada fakta bahwa perabot lawas diharapkan jadi lebih populer dalam beberapa tahun ke depan. Statista memproyeksikan pasar penjualan kembali furnitur akan meningkat 70 persen dari 2018 hingga 2025.

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.


Apa Sebabnya?

Ilustrasi furnitur. (dok. pexels/ATBO)

Mengapa demikian? Pertama, perubahan sikap terhadap barang bekas. Berkat popularitas eksplosif situs seperti TheRealReal dan Depop, pembeli milenial dan Gen Z secara teratur berbelanja pakaian bekas.

Stigma barang dalam kategori ini juga segera memudar untuk furnitur. Laporan Chairish menemukan bahwa di antara konsumen milenial dan Gen Z, 31 persen menyebut, pandemi meningkatkan minat mereka untuk membeli furnitur bekas, antik, atau lawas secara online.

Lalu, ada faktor keren. Di era media sosial, barang-barang populer yang diproduksi secara massal dapat terasa terlalu jenuh dalam beberapa bulan, bahkan terkadang beberapa menit. Akibatnya, semakin banyak konsumen lebih muda mulai mencari barang-barang yang langka atau unik.

Sekarang, keinginan itu terbawa ke barang-barang rumah, terutama bagi mereka yang memiliki uang untuk dibelanjakan. Jadi, bukan hanya harga lebih rendah yang menarik konsumen.


Alasan Besar Lainnya

Ilustrasi furnitur. (dok. pexels/Pixabay)

Furnitur lawas dan bekas sering kali jadi satu-satunya cara mereka dapat membeli barang langka, edisi terbatas, kolaborasi khusus yang terjual habis untuk pertama kalinya, atau barang antik, kata sebuah laporan oleh Boston Consulting Group.

Alasan besar lainnya adalahh keberlanjutan. Berbelanja barang bekas berarti mendukung ekonomi sirkular, dan sebagai hasilnya, menjauhkan furnitur dari tempat pembuangan sampah. Beberapa perusahaan furnitur antik dan antik, seperti ZZ Driggs, bahkan memiliki sertifikasi B-Corp.

"Masalah rantai pasokan telah meningkatkan permintaan untuk barang-barang berlapis kain seperti sofa dan kursi beraksen karena waktu tunggu untuk mendapatkan barang-barang ini sekitar 14--16 minggu,” Alpay Koralturk, CEO dan pendiri Kaiyo, mengatakan. Sementara furnitur bekas, terutama yang dibeli secara lokal, bisa tiba hanya dalam beberapa hari.


Infografis Serba-serbi Rumah Ramah Lingkungan

Infografis Serba-serbi Rumah Ramah Lingkungan. (Liputan6.com/Triyasni)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya