Greenpeace Sebut Sungai di Kalimantan Sedang Kritis Akibat Alih Fungsi Lahan

Greenpeace menyebut sungai-sungai yang ada di Pulau Kalimantan sedang kritis akibat pembukaan lahan secara masif.

oleh Roni Sahala diperbarui 21 Des 2021, 18:00 WIB
Jembatan sepanjang 14 kilometer dibangun untuk menghubungkan kawasan terisolir di Kabupaten Kutai Kartanegara. Jembatan ini terletak di Kecamatan Kota Bangun dan menjadi akses menuju Kecamatan Kenohan, Kecamatan Kembang Janggut, dan Kecamatan Tabang.

Liputan6.com, Jakarta Sungai-sungai kunci di Kalimantan Tengah alami kritis, dampak dari masifnya alih fungsi lahan. Dalam dua dekade terakhir, rata-rata 60 persen lebih hutan di sekitar sungai-sungai itu dinyatakan hilang.

Data Greenpeace menyebutkan, Sungai Kahayan pada tahun 1990 memiliki tutupan hutan mencapai 969.836,1 hektar. Lalu pada 2020 didapati hutan yang tersisa berkisar 570.847,7 hektar atau telah hilang 63 persen.

Sungai Mentaya mengalami dampak paling parah. Tutupan hutan di sekitar sungai ini kini hanya berkisar 19,6 persen.

“Pada tahun 1990, tutupan hutan Sungai Mentaya mencapai 923.493,8 hektar dan kini tersisa 287.714,8 hektar saja,” kata Juru Kampanye Hutan Greenpeace Arie Rompas di Palangkaraya, Senin (20/12/2001).

Selain itu, masih ada tujuh sungai besar lainnya yang melintas di 14 kabupaten dan kota di Kalteng yang kondisinya tidak jauh berbeda, antara lain Sungai Kapuas, Barito, Sebangau, Sebangau Kecil, Sungai Katingan, Sungai Kaki dan Sungai Seruyan.

Hal itu disampaikan dalam diskusi akhir tahun yang diselenggarakan Save Our Borneo (SOB) dengan tema “Sawit dalam Kawasan dan Pengakuan Masyarakat Hukum Adat (MHA) di Kalimantan Tengah”.

Simak juga video pilihan berikut


Turunnya Tutupan Lahan

Kapal fery terbuat dari kayu yang biasa digunakan warga Desa Muara Muntai Ulu, Kutai Kartanegara untuk penyeberangaan kendaraan roda dua kini disulap jadi restoran terapung.

Arie menambahkan, turunnya tutupan hutan itu berakibat pada bencana terus menerus terjadi sejak tahun 1990, seperti banjir karena luapan sungai maupun banjir rob, bahkan kekeringan hingga menyebabkan kebakaran lahan di wilayah gambut yang rusak.

Hilangnya tutupan hutan atau di sekitar DAS di Kalteng kata Arie, merupakan dampak banyaknya perkebunan sawit yang sudah beroperasi bahkan sudah panen, masuk dalam kawasan hutan. Untuk itu perlu ada pemulihan kembali kawasan hutan dan tata kelola kawasan hutan dengan pelibatan masyarakat.

“Pengakuan kawasan hutan bukan hanya soal sawit (yang masuk dalam kawasan hutan) tetapi juga desa-desa bahkan lahan pertanian yang masuk kawasan hutan,” ungkap Arie.

Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalimantan Tengah Dimas Novian Hartono menyebutkan, saat ini terdapat 1,7 juta hektar luas perkebunan sawit di Kalteng yang sudah beroperasi. Dari total luas itu setelah dilakukan tumpang susun peta, lebih kurang 821.862 hektar perkebunan sawit masuk dalam kawasan hutan.

Dimas menambahkan, pada tahun ini sedikitnya terdapat 600.000 hektar yang ditawarkan untuk mendapat izin pelepasan kawasan hutan meski di lapangan perusahaan-perusahaan perkebunan sawit itu bahkan sudah bertahun-tahun berproduksi.


Kajian DAS

Hutan tropis basah di Kecamatan Tabang, Kabupaten Kutai Kartanegara tampak indah diantara liukan sungai.

Sebelumnya, Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Kalteng Sri Suwanto mengungkapkan, perlu ada kajian di sekitar daerah aliran sungai (DAS) untuk mengetahui persis kondisi hutan. Kajian itu akan menjadi bahan penting untuk mengambil kebijakan dalam upaya mengurangi resiko bencana.

Saat ini, pihaknya akan melakukan penanaman kembali kawasan yang rusak menggunakan Dana Bagi Hasil Sumber Daya Kehutanan-Dana Reboisasi (DBH-DR). Namun, dana itu tidak bisa digunakan begitu saja karena ada undang-undang yang mengaturnya.

“Kami boleh menanam justru di luar kawasan hutan menggunakan DBH-DR, karena undang-undangnya begitu, mau gimana lagi? yang di dalam kawasan hutan itu jadi wewenang pusat, dalam hal ini UPT,” kata Sri beberapa waktu lalu.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya