KPK: Perhitungan Kerugian Negara Kerap Hambat Penuntasan Kasus Korupsi

Wakil Ketua KPK Alexander Marwata menyebut penuntasan kasus korupsi pengadaan barang dan jasa dalam Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor kerap terhambat prosesnya lantaran perhitungan kerugian keuangan negara.

oleh Fachrur Rozie diperbarui 22 Des 2021, 11:40 WIB
Gedung KPK (Liputan6/Fachrur Rozie)

Liputan6.com, Jakarta Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Alexander Marwata menyebut penuntasan kasus korupsi pengadaan barang dan jasa dalam Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor kerap terhambat prosesnya lantaran perhitungan kerugian keuangan negara.

Menurut Alex, hal tersebut tak hanya dialami oleh KPK saja, melainkan penegak hukum lainnya seperti kepolisian dan kejaksaan.

"90 persen lebih perkara di daerah itu menyangkut Pasal 2 dan Pasal 3 pengadaan barang dan jasa, praktis di situ harus ada pembuktian terkait kerugian negara. Ini yang selama ini sering terhambat teman-teman penyidik di kejaksaan daerah itu," ujar Alex dalam keterangannya, Rabu (22/12/2021).

Pasal 2 UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) menyebutkan, "Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain yang suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar."

Sementara Pasal 3 UU Tipikor menyatakan, "Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 20 tahun dan atau denda paling sedikit Rp 50 juta dan paling banyak Rp 1 miliar."

Dalam dua pasal tersebut mensyaratkan adanya kerugian keuangan negara. Sementara dalam Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 2016 menyebutkan instansi yang berwenang menyatakan ada tidaknya kerugian keuangan negara adalah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

Sedangkan instansi lainnya, seperti BPKP, inspektorat dan sebagainya tetap berwenang melakukan pemeriksaan, tetapi tidak berwenang menyatakan adanya kerugian keuangan negara. Namun terkadang, penegak hukum meminta BPKP menghitung kerugian keuangan negara demi mempercepat penuntasan sebuah kasus.

"Mereka selalu mengeluhkan lamanya audit, meskipun mereka tidak hanya meminta BPK, tapi lebih banyak sebetulnya BPKP, dari situ saja sebetulnya SEMA ini sudah kehilangan maknanya, karena teman-teman penyidik meminta bantuan BPKP untuk audit," kata Alex.

 


Angin Segar

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyebutkan penyidik bisa melakukan perhitungan kerugian negara menjadi angin segar bagi penegak hukum. Menurut Alex, dalam perkara korupsi seperti pekerjaan fiktif, kerugian keuangan negara dapat ditemukan dengan mudah dengan melihat keluar masuknya uang.

"Apakah masih perlu audit? Wartawan pun pasti sudah bisa hitung kerugian negara, ya, sejumlah uang itu lah yang dikeluarkan, berarti tidak perlu audit, kasarnya seperti itu. Pertanyaan selanjutnya sebetulnya siapa dalam perkara korupsi itu yang menentukan besarnya kerugian negara, yang nanti akan dibebankan ke pidana? bukan BPK, bukan BPKP, bukan penyidik, dan sebagainya, tetapi yang menentukan itu hakim, lewat putusannya tadi," kata Alex.

Dalam putusannya, hakim yang akan menentukan nilai kerugian keuangan negara dan pihak yang dibebankan mengembalikan kerugian keuangan negara. Dengan demikian, kata Alex, hakim yang menentukan kerugian negara, sementara hasil audit hanya menjadi acuan hakim dalam menentukan ada atau tidaknya kerugian keuangan negara.

"Apakah (hasil audit) itu mengikat? Oh tidak. Tentu tidak mengikat hakim harus setuju dengan hasil audit. Ya kalau hakim mau setuju dengan hasil audit, ya, enggak masalah. Tetapi itu tadi, tidak harus terikat pada hasil audit. Karena hasil audit itu atau perhitungan kerugian negara itu hanya salah satu unsur dalam proses pembuktian perkara korupsi, khususnya Pasal 2 dan Pasal 3," kata dia.

Atas dasar itu, menurut Alex, KPK membentuk Unit Forensik Akuntansi Direktorat Deteksi dan Analisis Korupsi. Alex pun mengapresiasi putusan Pengadilan Tipikor terhadap mantan Dirut PT Pelindo II RJ Lino dalam perkara dugaan korupsi pengadaan tiga unit QCC di PT Pelindo II.

Dalam putusannya, dua hakim anggota Pengadilan Tipikor mengakui perhitungan keuangan negara yang dilakukan Unit Forensik Akuntansi Direktorat Deteksi dan Analisis Korupsi KPK.

"Saya mendorong supaya kita punya unit baru deteksi analis korupsi itu, kita punya akuntan forensik ya saya kira kalau dari sisi kemampuan kapasitas juga punya kompetensi di sana dalam menghitung kerugian negara. Saya mendorong, pimpinan mendorong supaya dilakukan penghitungan kerugian negara menyangkut, ya, pengadaan barang dan jasa-nya, dan itu sudah dilakukan," kata Alex.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya