Duplik Terdakwa Kasus Asabri Heru Hidayat Persoalkan Hukuman Mati, Ini Tanggapan Kejagung

Leonard mengatakan sepanjang hal tersebut dimaksudkan untuk memenuhi kepentingan masyarakat luas atau publik maka putusan Hakim harus berani mengakomodir nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat.

oleh Liputan6.com diperbarui 22 Des 2021, 14:47 WIB
Presiden Komisaris PT Trada Alam Minera Tbk Heru Hidayat (kanan) saat akan menjalani pemeriksaan penyidik Kejaksaan Agung di Gedung KPK, Jakarta, Selasa (9/6/2020). Heru Hidayat diperiksa sebagai tersangka terkait kasus dugaan korupsi PT Asuransi Jiwasraya. (merdeka.com/Dwi Narwoko)

Liputan6.com, Jakarta - Kejaksaan Agung (Kejagung) RI menanggapi terkait duplik Penasihat Hukum Terdakwa Heru Hidayat yang mempersoalkan penggunaan pasal pada tuntutan dari jaksa penuntut umum (JPU) yang di luar dakwaan, saat sidang di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, Senin, 20 Desember 2021.

Kapuspenkum Leonard Eben Ezer Simanjuntak mengatakan, jika putusan hakim memiliki sifat ultra petita yang dibenarkan berdasarkan hukum acara pidana Indonesia sebagaimana diatur dalam Pasal 182 ayat (4) KUHAP yang mengatur musyawarah terakhir untuk mengambil keputusan harus didasarkan atas surat dakwaan dan segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan di sidang.

"Artinya berdasarkan ketentuan tersebut majelis hakim dalam memutus suatu perkara tidak semata-mata hanya berdasarkan pada surat dakwaan, namun juga berdasarkan atas segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan di sidang," katanya.

Sehingga, kata Leonard, ratio logis yang dianut KUHAP adalah hakim dalam memeriksa perkara bersifat aktif dan bebas mempertimbangkan segala sesuatu yang terkait dengan perkara yang sedang diperiksa tersebut.

Oleh karena itu, Leonard mengatakan sepanjang hal tersebut dimaksudkan untuk memenuhi kepentingan masyarakat luas atau publik maka putusan Hakim harus berani mengakomodir nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat.

"Termasuk di dalamnya berani menerapkan asas hukum yang dianggap memberikan rasa keadilan dan kemanfaatan kepada masyarakat dan negara," jelasnya.

Sedangkan di dalam perkara tersebut, Leonard menanggapi perihal Heru yang didakwa dengan Pasal 2 ayat 1 UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dan pada saat di persidangan ditemukan hal-hal yang memberatkan akibat perbuatan pidana yang dilakukan dalam perkara korupsi PT Asabri.

Berdasarkan hasil hitungan kerugian negara dari BPK, terdakwa Heru Hidayat telah melakukan suatu perbuatan tindak pidana korupsi secara bersama-sama yang menimbulkan kerugian keuangan negara sangat besar dengan jumlah seluruhnya sebesar Rp22.788.566.482.083,00.

Dengan atribusi dari kerugian keuangan negara tersebut dinikmati Terdakwa Heru Hidayat sebesar Rp12.643.400.946.226.

Padahal, Leonard juga menyinggung soal sejumlah putusan pengadilan, di mana hakim memutus di luar pasal dakwaan kepada terdakwa adalah bukan sesuatu hal yang baru.

Seperti, terkait putusan perkara atas nama Susi Tur Andayani hanyalah salah satu contoh sebagai penegasan bahwa Putusan Hakim diberikan kebebasan untuk memutus perkara di luar dari pasal yang didakwakan oleh Penuntut Umum kepada Terdakwa.

Kemudian, putusan-putusan hakim lain yang menggambarkan kebebasan memutus dapat dilihat, antara lain dalam putusan Hakim pada Pengadilan Negeri Boyolali Nomor: 02/Pid.B/2007/PN.Bi dengan Terdakwa I Agus Santoso dan Terdakwa II Yusroni (Pengeroyokan Psl 170 KUHP), dan juga Putusan Mahkamah Agung Nomor: 810 /K.Pid.sus/2012 (Narkotika) dengan Terdakwa Idris Lukman Bin Lokman Hendrik.

Padahal, Leonard mengatakan jika dalam persidangan terungkap fakta bahwa terdakwa tidak memiliki sedikit pun empati dengan beritikad baik mengembalikan hasil kejahatan yang diperoleh dan telah dinikmatinya secara sukarela.

Serta tidak pernah menunjukkan bahwa perbuatan yang dilakukannya adalah salah, bahkan telah dilakukan berulang-ulang karena beranggapan bahwa transaksi di pasar modal yang dilakukannya adalah perbuatan perdata yang lazim dan lumrah.

"Padahal banyak pihak dirugikan terutama negara dirugikan dengan timbulnya kerugian keuangan negara yang dinikmati oleh Terdakwa Heru, dari dua perbuatan pidana tindak pidana korupsi yang dilakukan secara berulang-ulang (Jiwasraya dan Asabri) yaitu sebesar Rp23.372.184.321.226,00," ujarnya.

 

 


Isi Duplik Kuasa Hukum Heru Hidayat

Sebelumnya, Tim Penasihat Hukum Heru Hidayat, Kresna Hutauruk menilai Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada Kejaksaan Agung (Kejagung) sudah kehabisan akal dengan menuntut hukuman mati terhadap kliennya.

Pernyataan itu disampaikan Kresna dalam sidang dengan agenda duplik, atau jawaban atas replik tim jaksa Kejagung dalam kasus dugaan korupsi pengelolaan keuangan dan dana investasi di PT Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Asabri) yang digelar di Pengadilan Tipikor, Senin (20/12).

Menurut, Kresna, replik yang dibacakan tim jaksa Kejagung pada Kamis, 16 Desember 2021 kemarin menggunakan dalil putusan pengadilan yang sudah dibatalkan dalam putusan kasasi.

"Kami sangat menyayangkan tindakan JPU yang menggunakan dalil putusan Pengadilan Negeri yang sudah dibatalkan oleh putusan kasasi hanya untuk memaksakan tuntutan di luar dakwaan yang jelas menyimpang. Ini menunjukkan JPU sudah kehabisan akal," ujar Kresna di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (21/12/2021).

Menurut Kresna, tak ada hal baru dalam replik Kejagung selain mengulang surat dakwaan terhadap Heru Hidayat. Menurut Kresna, satu-satunya hal baru dalam replik tersebut yakni, JPU mengutip putusan pengadilan terhadap perkara Susi Tur Andayani di mana hakim memutus di luar dakwaan.

Kresna menilai Kejagung seolah mengabaikan putusan pengadilan terhadap Susi yang sudah dibatalkan dalam putusan kasasi karena hakim memutuskan di luar dakwaan. Putusan Susi yang dimaksud yakni perkara suap terhadap Hakim MA Akil Mochtar.

"Kami sudah membantah dalil JPU tersebut sebab putusan pengadilan perkara tersebut sudah dibatalkan oleh putusan kasasi yang berkekuatan hukum tetap dengan alasan pemeriksaan di sidang Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi dan musyawarah Majelis Hakim didasarkan atas surat dakwaan jaksa," kata Kresna.

Padahal, Kresna memandang jaksa tidak boleh menyesatkan masyarakat dengan memaksakan sesuatu yang berada di luar koridor hukum. Tuntutan pidana mati terhadap Heru Hidayat menurutnya sudah melanggar aturan karena menuntut di luar dakwaan.

"JPU tidak boleh menyesatkan masyarakat dan menghalalkan segala cara dengan kekuasaannya untuk menuntut terdakwa di luar surat dakwaan," kata Kresna.

Diketahui, dalam surat dakwaan terhadap Heru Hidayat dalam kasus Asabri, jaksa Kejagung tidak mencantumkan Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor. Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor merupakan pasal yang mengatur pidana mati bagi terdakwa jika melakukan korupsi dalam keadaan tertentu seperti bencana nasional, krisis moneter, atau pengulangan tindak pidana. Namun, dalam tuntutan, jaksa Kejagung justru menuntut Heru Hidayat dengan pidana mati.

Kresna juga menyayangkan tindakan jaksa yang kembali memaksakan tuduhan kerugian negara dalam kasus Asabri sebesar Rp 22 triliun hanya dengan menghitung uang keluar Asabri periode 2012-2019. Padahal dalam periode tersebut Asabri tidak hanya keluar uang, melainkan juga menerima keuntungan dari penjualan saham.

"Apabila metode penghitungan hanya menghitung uang keluar, tentunya bukan hanya Asabri yang mengalami kerugian, perusahaan seluruh dunia juga akan mengalami kerugian. Oleh karena itu jelas kerugian negara dalam perkara ini tidak tepat," kata Kresna.

Diketahui, Jaksa penuntut umum Kejaksaan Agung (Kejagung) menuntut terdakwa perkara dugaan korupsi Asabri, Heru Hidayat dengan pidana hukuman mati. Jaksa meyakini Heru terbukti bersama-sama sejumlah pihak lainnya telah melakukan korupsi dalam pengelolaan dana PT Asabri (Persero) yang merugikan keuangan negara sekitar Rp 22,78 triliun.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya