Kasus Kekerasan Seksual Sering Terjadi, Apa Akibat Nafsu Belaka?

Kasus kekerasan seksual sering terjadi di berbagai tempat bahkan di lingkungan pendidikan seperti pesantren. Lantas, apakah kekerasan seksual ini diakibatkan nafsu belaka?

oleh Ade Nasihudin Al Ansori diperbarui 23 Des 2021, 21:00 WIB
Instalasi pakaian korban kekerasan seksual dipajang di depan gerbang Gedung DPR, Jakarta, Rabu (22/12/2021). Massa yang tergabung dalam Jaringan Pembela Hak Perempuan Korban Kekerasan Seksual mendesak DPR mengesahkan RUU TPKS sebagai RUU Inisiatif DPR RI. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Liputan6.com, Jakarta Kasus kekerasan seksual sering terjadi di berbagai tempat bahkan di lingkungan pendidikan seperti pesantren. Lantas, apakah kekerasan seksual ini diakibatkan nafsu belaka?

Menanggapi pertanyaan tersebut, kriminolog Haniva Hasna M. Krim mengatakan bahwa penyebab terjadinya kekerasan seksual sangat banyak.

“Penyebabnya sih banyak sekali ya, tapi yang paling utama adalah dominasi patriarki, pelaku memiliki otoritas atas korban. Banyak sekali penelitian yang menghubungkan seks dengan kekuasaan, sehingga pelaku merasa lebih mudah untuk melakukan dominasi,” ujar kriminolog yang akrab disapa Iva kepada Health Liputan6.com melalui pesan teks belum lama ini.

Selain dominasi patriarki, fantasi seksual juga mendukung adanya kekerasan seksual, biasanya akibat sering membaca atau menonton konten konten porno.

Simak Video Berikut Ini


Tidak Ada Kontrol Sosial

Tidak adanya kontrol sosial juga menjadi salah satu alasan. Artinya, pelaku tidak dekat secara emosional dengan keluarga sehingga tidak ada kontrol sosial yang bisa mencegah terjadinya agresivitas seksual.

Mengalami trauma atau riwayat kekerasan seksual saat masih kanak-kanak, pernah menyaksikan kekerasan seksual terhadap anggota keluarga lain saat masih kecil. Serta faktor lain seperti kemiskinan dan ketergantungan terhadap obat-obat terlarang juga memiliki kontribusi terhadap perilaku orang sehingga tega melakukan kekerasan seksual.


Bagaimana Peran Lingkungan?

Selain faktor di atas, faktor lingkungan juga dapat memengaruhi kekerasan seksual termasuk terhadap anak, kata Iva.

“Ini didasari bahwa lingkungan yang tertutup (seperti pesantren) menimbulkan suatu keuntungan bagi pelaku tindak pidana dalam menjalankan aksinya tanpa diketahui oleh siapapun.”

“Sebenarnya, pencabulan itu bisa terjadi di mana saja, yang jelas ada pihak yang powerfull dan powerless,” tambahnya.

Dalam kasus kekerasan seksual di pesantren, faktor lingkungan yang tertutup, terbatasnya akses korban untuk berkomunikasi memungkinkan pelaku semakin mudah melakukan kekerasan.

Di sisi lain, faktor natural atau biologis memiliki asumsi bahwa laki-laki memiliki dorongan seksual yang lebih besar dibandingkan perempuan. Pada faktor natural dan biologis ini juga diasumsikan bahwa laki-laki dan perempuan sama-sama memiliki rasa ketertarikan yang besar satu sama lain.

Oleh karena itu, reaksi yang diharapkan muncul pada perempuan adalah perasaan tersanjung atau minimal tidak merasa terganggu oleh tindakan tersebut. Namun, pada kenyataanya, korban pelecehan seksual merasa terganggu dan terhina karena dilecehkan oleh pelaku pelecehan seksual.

“Faktor lain adalah sosial budaya yang menunjukkan bahwa pelecehan seksual merupakan manifestasi dari sistem patriarki di mana laki-laki dianggap lebih berkuasa, lalu keyakinan dalam masyarakat mendukung anggapan tersebut,” tutup Iva.


Infografis: Deretan kasus kekerasan seksual di dunia pendidikan Tahun 2011

Infografis: Deretan kasus kekerasan seksual di dunia pendidikan Tahun 2011 (Liputan6.com/Abdillah)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya