Fakta Baru, Santri Korban Perkosaan Herry Wirawan Dikurung Agar Tak Melapor

Sidang lanjutan kasus perkosaan terhadap belasan santriwati oleh terdakwa Herry Wirawan kembali digelar di Pengadilan Negeri (PN) Bandung, Kamis (23/12/2021).

oleh Huyogo Simbolon diperbarui 23 Des 2021, 17:00 WIB
Ilustrasi Pencabulan (Liputan6.com/Johan Fatzry)

Liputan6.com, Bandung - Sidang lanjutan kasus perkosaan terhadap belasan santriwati oleh terdakwa Herry Wirawan kembali digelar di Pengadilan Negeri (PN) Bandung, Kamis (23/12/2021). Sebanyak tiga saksi dimintai keterangan yaitu ketua RT, warga, dan satu orang anak.

Ketiga orang yang dihadirkan dalam sidang kali ini bersaksi untuk membuktikan tindakan pidana Herry. Para saksi hadir mengikuti persidangan di ruang sidang anak dan berlangsung tertutup. Sementara Herry mengikuti persidangan secara dari dari Rutan Kebonwaru.

Jaksa penuntut umum (JPU) yang juga Kepala Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jabar Asep Nana Mulyana mengatakan, kesaksian ketiga orang mendukung pembuktian.

"Semua keterangan saksi-saksi mendukung pembuktian. Pertama, dari salah satu saksi yang menyatakan bahwa mereka disetubuhi oleh si pelaku bahkan sampai empat kali," katanya seusai persidangan.

Adapun Herry diketahui menjalankan aktivitasnya di yayasan Manarul Huda Antapani dan Boarding School Cibiru, Kota Bandung. Dari keterangan saksi, kegiatan berlangsung tertutup bahkan sejumlah warga yang berada di lingkungan sekitar pun tidak mengetahui aktivitas yang dijalankan oleh pelaku.

Aksi bejat Herry akhirnya terungkap setelah korban melapor tindakan asusila Herry pada Mei 2021. Penyidik pun mengungkap bahwa perbuatan pelaku sekitar 2016-2021 yang berprofesi sebagai guru atau pendidik salah satu pesantren di Kota Bandung, telah melakukan perbuatan asusila terhadap belasan santri di bawah umur.

 

 

*** Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.


Simak Video Pilihan di Bawah Ini


Korban Dikurung

Asep menuturkan, para saksi menyaksikan bahwa para santri merasa ketakutan untuk melaporkan peristiwa yang dialami. Sebab para korban tinggal di ruangan tertutup dan terkunci selama berada di yayasan yang berada di Antapani maupun di Cibiru.

"Kemudian juga ada rasa ketakutan kenapa dia (korban) tidak bisa melapor atau memberitahukan kepada pihak lain karena berada di ruangan tertutup dan terkunci dan didukung oleh keterangan saksi lain kalau tempat itu tertutup," ujarnya.

Sebagai contoh, salah satu saksi yang merupakan ketua RT setempat menjelaskan bahwa masyarakat tidak mengetahui aktivitas di dalam asrama. Bahkan mereka menganggap kegiatan yang dilakukan pelaku tertutup dan antisosial.

"Jadi, dari masyarakat dan warga sekitar tidak mengetahui kegiatan di dalam asrama itu dan kegiatan yang dilakukan terdakwa ini sangat tertutup, tidak pernah berbaur," ujarnya.

Asep menambahkan, tempat pendidikan di Cibiru merupakan milik pelaku. Namun tempat yang berada di Antapani merupakan milik pihak ketiga yang memberikan tempat agar bisa digunakan oleh pelaku meski akhirnya disalahgunakan.

"Ada orang pihak ketiga yang berniat baik karena awalnya tujuannya untuk kegiatan keagamaan dan sosial. Oleh Herry ini disalahgunakan karena pemilik tidak tinggal di sana dan mempersilakan tempatnya digunakan untuk kegiatan sosial atau ibadah," tuturnya.

 

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya