Liputan6.com, Jakarta Satuan Tugas Penanganan Hak Tagih Negara Dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia atau Satgas BLBI mulai melakukan penagihan tahap kedua terhadap 8 obligor BLBI.
Satgas BLBI sudah menagih 7 obligor atau debitur prioritas, pada tahap pertama. "Satgas telah melakukan penagihan tahap kedua terhadap 8 obligor," kata Menkopolhukam yang juga Ketua Dewan Pengarah Satgas BLBI, Mahfud MD dalam sesi teleconference, Kamis (23/12/2021).
Advertisement
Pada pemanggilan tahap kedua ini, Mahfud menyampaikan, timnya sudah melakukan penahanan aset jaminan milik salah seorang obligor BLBI berinisial SS.
"Perkembangan hingga saat ini pada tahap kedua, Satgas telah berhasil memperoleh aset jaminan dari salah satu obligor yaitu SS yang berlokasi di Jakarta Barat dan Dompu, NTB dengan total luas 100.848 meter persegi," terangnya.
Adapun pada Kamis (23/12/2021) hari ini, Satgas BLBI juga telah menyita 587 aset tanah eks BLBI milik obligor/debitur dari Grup Texmaco seluas 4,79 juta meter persegi. Seluruh bidang tanah tersebut tersebar di 5 kabupaten/kota.
"Hari ini, pukul 10.00 wib tadi, satgas BLBI kembali melakukan upaya penyitaan aset jaminan dari Grup Texmaco atas 587 bidang tanah yang berlokasi di 5 daerah, yaitu Kabupaten Subang, Kabupaten Sukabumi, Kota Pekalongan, Kota Batu, Kota Padang dengan total luas 4.794.202 meter persegi," papar Mahfud.
Dengan demikian, lanjut Mahfud, maka Satgas BLBI sejauh ini sudah menyita aset tanah milik para obligor dan debitur sekitar 13,12 juta meter persegi.
"Karena ada tambahan penyitaan baru hari ini seluas 4,794 juta meter persegi, ini semua dari grup Texmaco. Sehingga keseluruhan yang sekarang ini sudah disita oleh negara adalah seluas 1.312 ha," ungkapnya.
Mahfud MD Ancam Pidanakan Obligor BLBI, Apa Pasalnya?
Menkopolhukam Mahfud MD mengancam akan mempidanakan obligor atau debitur eks penerima dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang mengabaikan kewajiban utangnya pada negara.
Ketua Dewan Pengarah Satgas BLBI ini pun mengatakan, pihaknya akan terus melakukan upaya berkelanjutan untuk memastikan pengembalian hak tagih negara melalui serangkaian upaya hukum, seperti pemblokiran, penyitaan, dan penyanderaan aset debitur/obligor.
"Bahkan juga akan disertai sanksi-sanksi administratif dan keperdataan pada saatnya nanti kalau sudah pada tahapan tertentu, bahkan juga tidak tertutup kemungkinan pidana jika terjadi penggelapan, pemalsuan dan pengalihan terhadap barang-barang yang sudah diserahkan kepada negara," tuturnya dalam sesi teleconference, Kamis (23/12/2021).
Salah satu obligor BLBI yang kini tengah jadi incaran utama adalah pemilik Grup Texmaco, Marimutu Sinivasan. Sebab, pemerintah mengklaim obligor tersebut punya utang kepada negara hingga mencapai Rp 29 triliun.
Bukannya dibayarkan, utang tersebut justru ditutup-tutupi oleh sang obligor. Padahal, berdasarkan Akta Kesanggupan Nomor 51 Tahun 2005, pemilik Grup Texmaco disebut sudah mengakui jika perusahaannya punya utang BLBI senilai Rp 29 triliun kepada negara.
"Tahun 2005, kembali pemilik dari Grup Texmaco mengakui utangnya kepada pemerintah melalui Akta Kesanggupan Nomor 51, dimana pemilik menyampaikan bahwa pemerintah untuk membayar hak tagih kepada Texmaco sebesar Rp 29 triliun berikut jaminannya, akan dilakukan operating company, dan melalui holding company yang dianggap masih baik," ungkap Menteri Keuangan Sri Mulyani.
"Plus, akan membayar tunggakan L/C (Letter of Credit) yang waktu itu sudah diterbitkan pemerintah untuk perusahaan tekstilnya sebesar USD 80,570 juta dan Rp 69 miliar," terang dia.
Advertisement
Selanjutnya
Pada waktu itu, Sri Mulyani menambahkan, pemilik Grup Texmaco juga menyatakan dalam Akta Kesanggupan Nomor 51 tidak akan mengajukan gugatan kepada pemerintah. Tapi kenyataannya justru berkebalikan.
"Malah justru melakukan gugatan ke pemerintah, dan yang kedua menjual aset-aset yang dimiliki operating companies yang tadinya punya kewajiban membayar Rp 29 triliun, dan justru menjualnya," keluh Sri Mulyani.
Dalam berbagai publikasi di media massa, ia menceritakan, pemilik Grup Texmaco juga mengatakan utang kepada pemerintah hanya Rp 8 triliun. Padahal, Akta Kesanggupan sudah menunjukan memiliki utang Rp 29 triliun plus USD 80,5 juta.
"Dan tentu karena L/C-nya yang diterbitkan Bank BNI tidak dibayarkan juga. Jadi dalam hal ini pemerintah sudah berkali-kali memberikan ruang, namun tidak ada sedikitpun ada tanda-tanda melakukan itikad untuk membayar," seru Sri Mulyani.