Liputan6.com, Jakarta - Tak pernah lepas dari ingatan Hasan Rateq ketika ia meninggalkan tanah kelahirannya, Afghanistan dan tiba di Indonesia pada Januari 2016. Langkahnya berat. Betapapun mengerikan kondisi Afghanistan, bagaimanapun, meninggalkan rumah untuk jangka waktu yang tak menentu takkan pernah terasa mudah.
Tatkala meninggalkan Afghanistan, Rateq tak mengira akan bernasib seperti ini. Hampir enam tahun ia di Indonesia dengan menyandang status pengungsi yang terdaftar di lembaga internasional soal pengungsi, UNHCR (United Nations High Commissioner for Refugees).
Advertisement
Karena statusnya sebagai pengungsi, ia tidak boleh bekerja di Indonesia. Padahal uang yang dimilikinya terbatas.
Bertutur fasih dalam Bahasa Inggris, Rateq menjelaskan dengan sangat detail bagaimana para pengungsi hidup dengan sangat terbatas. Ia pun harus benar-benar membatasi pengeluaran.
“Kami tidak punya hak untuk mendapatkan pekerjaan, untuk membangun masa depan kami, dan generasi penerus kami, bisa dibilang ini lebih buruk daripada di Afghanistan” ucap Rateq pada 30 Oktober 2021.
Mengesampingkan kekacauan di Afghanistan, Rateq mengatakan seharusnya selama ia dan warga lainnya masih hidup dapat melakukan segalanya. Termasuk punya hak hidup, pekerjaan, dan finansial untuk memenuhi kebutuhannya.
Mau bagaimanapun juga, tempat persinggahan sementara ini, di Indonesia adalah tempat yang aman.
“Di Indonesia kami merasa aman, itulah satu-satunya poin posiitif.”
Sekitar 7.400 pengungsi asal Afghanistan berada di Indonesia, mereka tersebar di beberapa titik di Indonesia, salah satunya Jakarta.
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Rateq dan ratusan pengungsi senasib telah dipindahkan ke ‘rumah’ baru mereka di Gedung Eks Kodim Kalideres, Jakarta Barat sejak 10 Juli 2019. Dulu Rateq tinggal di Bogor. Tinggal di rumah sewa hingga menggelandang di jalan juga pernah ia lakukan.
Mitra Suryono, Associate Comms Officer UNHCR mengonfirmasi pemindahan mereka ke Gedung Eks Kodim setelah mereka melakukan aksi demo di depan kantor UNHCR.
“Pada masa itu, demonstrasinya lumayan intens, mereka melakukan unjuk rasa di depan kantor. Jadi mereka dibawa ke sana [Gedung Eks Kodim] oleh pemda dalam upaya penertiban” tegas Mitra pada 8 November 2021.
UNHCR sudah mengatakan bahwa fasilitas di gedung milik pemerintah itu tidak cocok untuk ditinggali dalam jangka yang panjang. Namun, mereka lebih memilih untuk tinggal di gedung itu.
Benar saja. Gedung itu memang tampak kokoh, tetapi tidak sesuai keadaan. Terlihat bagaimana bangunan besar itu tidak terawat. Rateq menunjukkan atap gedung yang berlubang besar dan jendela tanpa penutup kaca.
Gedung itu juga tidak difasilitasi, pengungsi harus selalu meminta bantuan dari para dermawan untuk membayar tagihan air atau listrik, kata Rateq.
Terlalu putus asa dengan keberadaan yang tak menentu, lebih dari empat belas orang bunuh diri karena masalah mental.
“Rasanya seperti tinggal di penjara. Bahkan penjara lebih baik dari sini. Karena di dalam sana ada air, difasilitasi menurut standar internasional atau nasional.”
Afghanistan dan Suku Bangsanya
Sebelum berbicara lebih dalam, ada baiknya melihat lebih dalam wilayah Afghanistan. Afghanistan merdeka pada 19 Agustus 1919 dengan sistem pemerintahan monarki. Meskipun sudah merdeka, Afghanistan dilanda perang saudara yang tak kunjung berjumpa perdamaian.
Ikatan suku di Afghanistan lebih kuat daripada ikatan negara. Keragaman suku yang sama-sama kuat itu lantas mencetuskan adanya perebutan kekuasaan di sana. Terdapat enam suku bangsa di Afghanistan, yakni Tajik, Hazara, Pashtun, Uzbek, Turkmen, dan Baluchi.
Dengan sistem negara yang tidak kuat juga menjadi peluang negara lain ingin menjatuhkan pemerintahan Afghanistan.
Pengamat Hubungan Internasional, Dinna Prapto Raharja menyebutkan “Afghanistan rentan menjadi daerah proxy karena posisi geografisnya yang dekat dengan negara-negara besar [China, India dan Iran] yang berseberangan ideologi dan kebijakannya.”
Advertisement
Taliban di Afghanistan
Pada dasarnya, Taliban berasal dari dalam Afghanistan. Sebagian besar dari mereka berasal dari suku bangsa Pashtun.
Secara ideologis, Taliban anti-barat dan anti-liberalisme. Sehingga, mereka terbentuk dengan tujuan untuk melawan ideologi dari luar dan membentuk negara Islam. Usahanya berhasil, tetapi tidak bertahan lama. Taliban jatuh di tangan Amerika Serikat.
Pengambilalihan kembali Afghanistan oleh Taliban setelah 20 tahun sontak menggemparkan dunia. Disusul dengan perginya Presiden Ashraf Ghani dan tentara AS membuat negara di Asia Selatan itu kian rumit.
Pergerakannya begitu cepat. Seratus hari lebih berkuasa, Taliban menggila. Menghilangkan nyawa seseorang, merenggut hak manusia, dan membuat aturan yang tidak masuk akal menjadi pertanyaan yang tak pernah terjawab hingga saat ini.
Jubir Kemlu RI, Teuku Faizasyah melontarkan opininya, mengatakan alasan Taliban menguasai Afghanistan karena adanya defisit kepercayaan masyarakat terhadap pemerintahan Afghanistan pada saat itu, berdasarkan bacaan yang ia baca.
“Di sisi lain, adanya komitmen Amerika Serikat untuk menarik pasukannya dari Afghanistan. Hal ini menyebabkan pemerintah tidak memiliki cukup kemampuan untuk mempertahankan wilayah mereka dari Taliban,” katanya ketika diwawancara pada 2 November 2021.
Suku Hazara termasuk Rateq sering menjadi sasaran Taliban. Ia juga tidak mengetahui apa yang menjadi latar belakang Taliban membunuh banyak orang.
Memeluk kepercayaan yang sama, Ia pun sempat menantang Taliban untuk memberitahu ayat dalam Al-Qur’an mana yang boleh membunuh anak-anak, wanita, bahkan bayi. Sekalipun mereka orang kafir, “tidak ada alasan untuk membunuh orang lain,” kata Rateq.
Sekarang Taliban sibuk mencari pengakuan internasional. Entah bagaimana kehidupan mendatang Afghanistan di tangan Taliban. Namun, tidak dapat dipastikan bahwa Taliban akan dapat kepercayaan dunia.
Menurut pandangan pengamat Dinna, Taliban sulit mendapat pengakuan internasional karena masih adanya penolakan yang mengakui Taliban sebagai penguasa.
“Arah Afghanistan sebagai suatu bangsa yang "dipaksa" oleh Taliban menjadi sebuah emirat dengan bendera yang diganti dan konstitusi yang dicabut meninggalkan pertanyaan fundamental dari kalangan internasional tentang dasar alasan negara lain mengakui Taliban.”
Sulit membayangkan Taliban mendapat pengakuan internasional, juga sulit membayangkan Taliban mundur dari Afghanistan. Sekalipun Taliban kekurangan dana, kemungkinan yang akan terjadi menurut Dinna adalah menggiatkan kegiatan ekonomi ilegal.
Harapan yang Tak Kunjung Sampai
Hingga kini ia dan pengungsi lainnya belum mendapat kepastian untuk dapat dipindahkan ke negara ketiga (resettlement countries).
Mengelus dada sudah menjadi makanan sehari-hari untuknya. Entah sampai kapan, ia dan pengungsi lain harus menanti. Meskipun begitu, semangatnya tak pernah goyah. Tekadnya tetap sama untuk menyuarakan hak-hak para pengungsi.
“Saya memimpin banyak aksi protes, banyak demo, sekali pada 13 Juli 2020, kami pergi dari sini [Gedung eks Kodim] ke Kebon Sirih berjalan kaki, semua bayi, wanita, orang tua, semua berjalan kaki,” kata Rateq.
“Sekarang juga, saya tidak akan berhenti. Saya akan terus memperjuangkan hak kami.”
UNHCR mengerti keinginan para pengungsi, tidak hanya pengungsi asal Afghanistan. Namun, “penempatan di negara ketiga itu tidak diputuskan oleh Indonesia, tidak diputuskan oleh UNHCR, tetapi diputuskan oleh negara yang mau menerima,” kata Mitra dari pihak UNHCR.
Jubir Kemlu Faizasyah juga mengatakan bahwa permasalahannya bukan pada Indonesia yang tidak mau mengirimkan mereka ke negara ketiga. Menambahkan walaupun Indonesia tidak menandatangani Konvensi 1951 dan Protokol 1967, Indonesia mau menampung para pengungsi.
“Ini menjadi tanggung jawab negara-negara yang dituju, yang seharusnya sesuai komitmen mereka sebagai anggota yang merativikasi konvensi untuk pengungsi,” ucap Faizasyah.
Pengamat Dinna juga mengatakan sejak adanya pandemi, negara-negara penandatangan Konvensi Pengungsi cenderung lebih selektif menerima pengungsi.
Saat ini, yang bisa dilakukan Indonesia adalah menampung para pengungsi dibawah naungan UNHCR dan memperlakukan mereka secara manusiawi.
Perdamaian di Afghanistan tentunya menjadi keinginan setiap individu di dunia, “Kami hanya berharap perdamaian akan datang ke Afghanistan, dan kami ingin seluruh dunia memiliki kehidupan yang damai, di mana saja,” kata Rateq.
Perjuangan pengungsi masih panjang. Keinginan sederhananya itu terasa sulit terpenuhi. Bagaimanapun, pemindahan ke negara ketiga bukan hanya persoalan individu, banyak pihak terkait yang Rateq sendiri pun sulit untuk menerimanya.
Reporter: Cindy Damara / Universitas Multimedia Nusantara
Advertisement