Liputan6.com, Jakarta - Sebuah laporan menyebut, scammer mata uang kripto dan penjahat siber dilaporkan sukses menggondol crypto hingga senilai USD 7,7 miliar (sekitar Rp 109 triliun) dari korban-korbannya di tahun 2021.
Chainalysis, perusahaan analisis blockchain melaporkan, angka tersebut berarti terdapat kenaikan kerugian hingga 81 persen dibandingkan tahun 2020.
Advertisement
Dilansir ZDNet, Senin (27/12/2021), sekitar USD 1 miliar dari seluruh kerugian crypto tersebut, terkait dengan satu skema yang diduga menargetkan Rusia dan Ukraina.
"Sebagai bentuk kejahatan berbasis mata uang kripto terbesar dan secara unik ditargetkan ke pengguna baru, scamming adalah salah satu ancaman terbesar bagi adopsi cryptocurrency yang berkelanjutan," kata mereka.
Di satu sisi, Chainalysis juga melaporkan, jumlah setoran ke alamat penipuan menurun dari hanya di bawah 10,7 juta menjadi 4,1 juta.
Mereka mengatakan, ini bisa diartikan ada lebih sedikit korban penipuan secara individu, tetapi mereka kehilangan lebih banyak.
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Sumber Utama Kerugian
Menurut Chainalysis, sumber utama meningkatnya kerugian mata uang kripto di 2021 adalah "rug pulls", di mana pengembang mata uang digital baru menghilang dan membawa dana pendukung bersama mereka.
Rug pulls menyumbang 37 persen dari semua pendapatan penipuan mata uang kripto pada tahun 2021, dengan total US$ 2,8 miliar, atau naik dari hanya 1 persen di 2020.
Chainalysis juga menyebutkan, ada perubahan karakteristik jaringan penipuan investasi.
Mereka menyebut, jumlah penipuan keuangan aktif meningkat dari 2.052 di 2020 menjadi 3.300, sementara masa hidup individual mereka menurun dari lebih dari 500 hari di 2016 menjadi 291 di 2020, dan 70 hari di 2021.
Menurut laporan tersebut, sebelumnya, penipuan ini mungkin bisa terus beroperasi lebih lama.
"Ketika scammers menyadari tindakan ini, mereka mungkin merasakan lebih banyak tekanan untuk menutup toko sebelum menarik perhatian regulator dan penegak hukum," kata Chainalysis.
Advertisement
Audit Kode
Chainalysis pun mencatat, yang terpenting adalah menghindari token baru yang belum menjalani audit kode.
Audit kode adalah proses di mana perusahaan pihak ketiga menganalisis kode kontrak pintar di balik token baru atau proyek DeFi lainnya.
Ini secara terbuka menegaskan bahwa aturan tata kelola kontrak itu ketat dan tidak mengandung mekanisme yang memungkinkan pengembang untuk mengambil keuntungan dari dana investor.
Investor juga diminta mewaspadai token yang tidak memiliki materi publik yang diharapkan dari proyek yang sah, seperti situs web atau buku putih, serta token yang dibuat oleh individu yang tidak menggunakan nama asli mereka.
(Dio/Ysl)
INFOGRAFIS: 10 Mata Uang Kripto dengan Valuasi Terbesar
Advertisement