Liputan6.com, Jakarta Industri musik Indonesia kembali jadi sorotan. Aksi Indra Lesmana bersama sejumlah musisi atas nama AMPLI (Aliansi Musisi Pencipta Lagu Indonesia) yang menyampaikan aspirasinya kepada pemerintah pada Senin (20/12/2021), ditanggapi secara kontra oleh Adi Adrian personel Kla Project.
AMPLI yang terdiri dari Indra Lesmana, Endah Widiastuti, Eky Puradiredja, Cholil Mohamad, Once Mekel, Tompi, Eross Chandra dan Yovie Widianto, dalam konferensi pers yang berlangsung secara daring, menyampaikan petisi mengajak musisi di seluruh Indonesia untuk menolak ketentuan-ketentuan dalam PP 56/2021 dan Permenkumham 20/2021.
Advertisement
Namun menurut Adi KLA Project, PP 56 sudah sesuai dengan kebutuhan musisi dan pencipta lagu. Ketidaksempurnaan PP 56/2021 dan Permenkumham 20/2021, tidak lantas membuat keinginan sejumlah musisi dan pencipta lagu ingin membatalkan, apalagi menghapuskannya.
Tak Mewakilkan Semua Musisi
“Mohon maaf, suara AMPLI tidak mewakili suara semua musisi dan pencipta lagi di Indonesia. Menurut saya, PP 56/2021, sudah sesuai dengan kebutuhan untuk kondisi Industri Musik di Indonesia saat ini. Bahwa ada bagian yang belum sempurna, iya harus diAKUI,” jelas Adi Adrian, kibordis dari band legendaris, Kla Project kepada wartawan, belum lama ini.
“Mengubah PP 56/2021 misalnya, akan berdampak pada banyak hal. Ujung-ujungnya akan menghambat pengelolaan royalti yang akhirnya akan merugikan para pencipta dan musisi itu sendiri,” sambung Adi Adrian yang juga anggota PAPPRI (Persatuan Artis Penyanyi Pencipta Lagu dan Pemusik Republik Indonesia).
Advertisement
Menyorot Kritik
Pemain kibord band progresif Makara ini juga menyoroti soal kritik Indra Lesmana dan kawan-kawan atas keterlibatan swasta dalam membangun infrastruktur sistem pengelolaan royalti.
Baginya, keterlibatan swasta dalam bentuk kerjasama BOT sangat relevan. Sama halnya keterlibatan swasta dalam pembangunan infrastruktur di bidang lain.
“Di negara lain dalam membangun dan mengelola sistem royalti, juga dilakukan oleh organisasi atau badan usaha swasta. Tidak ada negara lain di dunia yang pembangunan sistem dan pengelolaan royalti dilakukan oleh negara,” simpul Adi Kla.
Adi juga menjelaskan kembali bahwa PP 56/2021 dan Permenkumhan 20/2022, dibuat untuk seluruh musisi dan pencipta lagu di seluruh pelosok negeri, bukan hanya untuk musisi dan pencipta lagu di Jakarta dan kota besar lainnya.
Aspirasi AMPLI
Aspirasi AMPLI ini disisipkan bersama kritik tanpa mengindahkan regulasi mumpuni yang telah ditetapkan pemerintah bagi kehidupan Industri Musik Indonesia.
“AMPLI menolak ketentuan-ketentuan yang memberikan pihak swasta kewenangan untuk menarik, menghimpun, dan mendistribusikan royalti. Karenanya, AMPLI meminta PP 56/2021 dan Permenkumham 20/2021 dibatalkan,” ujar Indra Lesmana menegaskan sebagai representatif AMPLI.
Indra Lesmana juga mengatakan, AMPLI menolak segala kebijakan pemerintah yang membuka pintu bagi pihak swasta, untuk mengambil alih peran negara, terkait royalti yang mestinya dijalankan melalui LMKN (Lembaga Manajemen Kolektif Nasional).
Bahkan AMPLI juga mendorong pemerintah untuk membangun sendiri Pusat Data Lagu dan Musik (PDLM) serta Sistem Informasi Musik dan Lagu (SILM) Bersama Dirjen Kekayaan Intlektual Kemenkumham selaku regulator pengelolaan hak cipta.
Namun mengingat pernyataan Adi dia atas, aspirasi Indra Lesmana dan AMPLI ini tak sepenuhnya mewakili musisi dan pencipta lagu dari 34 provinsi di Indonesia secara keseluruhan.
Advertisement