Liputan6.com, Jakarta Dulu, Jakarta bukanlah nama yang akrab di telinga. Batavia adalah nama yang diberikan oleh orang Belanda untuk nama kota yang kini menjadi ibu kota Indonesia itu.
Nama Batavia dipakai sekitar tahun 1621 sampai tahun 1942, ketika Hindia Belanda jatuh ke tangan Jepang. Pada masa kepemimpinan Jepang, nama kota diubah menjadi Jakarta. Perubahan nama itu dilakukan sebagai bagian dari de-Nederlandisasi. Nama Jakarta pun kian populer.
Advertisement
Seperti dikutip dari Kepustakaan Presiden, pengukuhan nama Jakarta baru dilakukan pada 30 Desember 1949 oleh Menteri Penerangan saat itu, Arnold Mononutu. Sejak itu, nama Batavia menghilang.
Pengukuhan nama Jakarta dilakukan pria bernama lengkap Arnoldus Isaac Zacharias Mononutu itu sesudah berlangsungnya Konferensi Meja Bundar di Den Haag, Belanda.
Konferensi itu menghasilkan kesepakatan pembentukan Negara Republik Indonesia Serikat (RIS). Kemudian, bersama Soedibjo Wirjowerdojo, koleganya sesama diplomat, Arnold lah yang pertama kali mengumumkan nama Batavia menjadi Jakarta. Sedangkan Soedibjo Wirjowerdojo mengumumkannya di Belanda.
Jarang ada orang yang mengenal ketokohan Arnold Mononutu. Publik hanya mengetahui jika dia adalah Menteri Penerangan pada era Kabinet Republik Indonesia Serikat (RIS).
Arnold Mononutu, adalah tokoh pergerakan nasional kelahiran Sulawesi Utara. Sekalipun beragama Kristen, ia tidak menjadi bagian dari Parkindo (Partai Kristen Indonesia). Ia salah seorang tokoh PNI.
Selain menjabat menteri, Mononutu pernah jadi anggota Majelis Konstituante (1956-1959) mewakili PNI.
JJ Rizal, peneliti budaya dan sejarah Betawi, menyebutkan nama Jakarta sebenarnya sudah muncul 500 tahun sebelum Jepang datang ke Indonesia. Soekanto dalam buku Dari Djakarta ke Djajakarta mengatakan:
"Pernah kita dengar sendiri, bahwa nama Djakarta dianggap seolah-olah sebagai suatu nama baru, jaitu nama jang diberikan dalam djaman pemerintahan Djepang untuk memasukkan daerah itu dalam lingkungan Asia Timur Raja atau Dai Nippon."
Soekanto menulis, memang nama Jakarta muncul dalam masa Jepang dan diberikan untuk menggantikan nama Batavia yang berbau penjajahan dan bersifat kolonial. Namun, Soekanto menegaskan bukan berarti nama Jakarta itu adalah suatu ciptaan Jepang dalam Perang Dunia ke II.
Setidaknya, kata Soekanto, nama Jakarta dengan berbagai variasinya (Djakerta, Djaketra, Jacatra, Djajakerta, Djajakarta) telah berusia lebih dari empat abad. Nama itu timbul, lenyap, dan timbul lagi dalam perjalanannya dari zaman ke zaman.
Jika ditelusuri berdasarkan catatan sejarah, nama tertua bagi tempat tinggal yang kini disebut Jakarta adalah Sunda Kalapa. Adolf Heuken SJ dalam Sumber-sumber Asli Sejarah Jakarta menyatakan kata Sunda baru muncul di Jawa Barat pada abad ke-10, yaitu pada Prasasti Kebon Kopi II dan Prasasti Cicatih di Cibadak, yang menyebutkan tentang seorang raja maupun Kerajaan Sunda.
Adapun prasasti tertua yang menjadi peninggalan sejarah Jakarta adalah Prasasti Tugu dari abad ke-5. Prasasti ini tertanam hampir 1.400 tahun lamanya di Desa Batu Tumbuh, di dekat Tugu, Jakarta Utara. Prasasti menjelaskan bahwa kehidupan awal di Jakarta sudah tumbuh. Pada saat itu Jakarta berada dalam penguasaan Kerajaan Sunda Pajajaran.
Dari sumber-sumber sejarah dan peta purba yang diteliti Heuken, tampak sudah ada permukiman di sepanjang daratan aluvial Jakarta sejak abad ke-5. Daratan aluvial itu ada di sebelah tenggara Tanjung Priok.
Selain itu, berdasarkan teori J Noorduyn dan H Th Verstappen atas peta topografik, tampak Kali Cakung sengaja dibelokkan persis pada bekas lokasi Prasasti Tugu itu dari arahnya yang lama (ke utara, ke Lagoa), ke arah timur laut, yakni ke Marunda.
Sunda Kalapa sebagai sebuah kota pelabuhan tumbuh dan berkembang dengan pesat. Hal ini termuat dalam sebuah catatan Cina dari Chu Fan Chi pada abad ke-11 yang menguraikan soal kota pelabuhan dengan kedalaman 60 kaki dengan laki-laki maupun perempuan yang mengikatkan sepotong kain katun di pinggang.
Pada 1513, kapal Eropa pertama, yakni empat kapal Portugis di bawah pimpinan de Alvin, singgah di Sunda Kelapa. Mereka datang dari Malaka, yang dua tahun sebelumnya ditaklukkan oleh Alfonso d Albuqueque.
Sunda Kelapa adalah pelabuhan yang ramai yang menjadi tempat singgahnya kapal-kapal dari Palembang, Tanjungpura, Malaka, Makassar, dan Madura, bahkan hingga pedagang-pedagang dari India, Tiongkok Selatan, dan Kepulauan Ryuku (Jepang).
Berubah Jadi Jayakarta
Perkembangan Islam di Nusantara mau tidak mau membawa pengaruh bagi Sunda Kalapa. Terjadilah suatu upaya ekspansi dari kaum Muslim untuk menyebarluaskan pengaruh politik, ekonomi, dan keagamaan. Berita dari D Barros mengabarkan bahwa Faletehan datang dari Banten dan merebut Sunda Kelapa.
Siapakah Faletehan? Prof Husein Djajadiningrat dalam Sejarah Jakarta dari Zaman Prasejarah sampai Batavia mengidentifikasikan bahwa Faletehan adalah Syarif Hidayatullah alias Sunan Gunung Jati.
Berdasarkan Purwaka Caruban Negeri, babad Kerajaan Banten, penaklukan Kerajaan Banten terjadi pada 1526 dan penaklukan Sunda Kelapa terjadi pada 1527. Kala itu nama Sunda Kelapa diganti menjadi Jayakarta yang berarti 'membuat kemenangan'.
Prof Husein Djajadiningrat berpendapat perubahan nama itu terjadi pada 17 Desember 1526, suatu pendapat yang berbeda dengan versi Soekanto pada 22 Juni 1527. Djajadiningrat juga menggarisbawahi bahwa pemberitan nama Jayakarta mungkin dihubungkan dengan kemenangan Nabi Muhammad merebut Kota Mekah dari tangan kaum Quraisy.
Selain itu, juga teringat akan firman Allah dalam surat pertama Al-Fath, "Inna fatahna laka mubinan" yang berarti 'sesungguhnya kami telah memberi kemenangan kepadamu kemenangan yang nyata'.
Namun perkembangan Jayakarta di bawah penguasaan Kerajaan Banten justru makin memperlihatkan kemunduran. Berbagai perjanjian dengan Belanda dibuat, termasuk perjanjian antara Pieter Both dengan Pangeran Jakarta Wijayakrama tahun 1610.
Di kemudian hari, Pangeran Jayakarta murka lantaran Belanda berusaha memasuki bentengnya di kota pelabuhan tersebut. Peperangan antara Banten yang dibantu Inggris terhadap Belanda pun dilakukan terbuka sejak 23 Desember 1618. JP Coen berusaha menghimpun kekuatan dan meminta bantuan ke Maluku, sementara di Jayakarta Pieter van den Broecke ditangkap pasukan Pangeran Jayakarta.
JP Coen kemudian datang dengan bala bantuan dari Maluku pada 10 Mei 1619. Tak tanggung-tanggung, ia membawa 16 kapal untuk menyerbu benteng. Berkat persiapan yang matang ditambah sedang adanya kekosongan pimpinan di Jayakarta lantaran ditarik ke Banten, pada 30 Mei 1619 Kota Jayakarta berhasil dikuasai oleh Belanda. Sejak saat itulah lahir nama Batavia.
Soekanto menyebutkan Coen sebenarnya ingin agar Jayakarta dinamakan Nieuw Hoorn, yakni sebagai penghormatan terhadap kota kelahirannya, Hoorn. Namun pemerintah tertinggi VOC di Belanda memerintahkan supaya kota itu dinamai Batavia, sebagai peringatan atas orang yang mula-mula menduduki Belanda, yakni de Bataven.
Sejak saat itulah, melalui JP Coen, Belanda berhasil menguasai Jakarta dan menjadikannya sebagai rendezvous dalam arti ekonomi dan politik kekuasaannya di Indonesia.
Di satu sisi, penetapan ulang tahun Jakarta 22 Juni 1527 ditemukan di tengah semangat besar pembebasan sejarah Indonesia dari sudut pandang kolonial.
"Jauhi penyakit Hollands denken," begitu pesan Wali Kota Sudiro pada awal 1956 ketika menugaskan guru besar sejarah di UI, Prof Dr Sukanto, mencari hari lahir Jakarta.
Advertisement