Liputan6.com, Sumedang Bagi sebagian orang, kehadiran makam pahlawan nasional asal Aceh, Cut Nyak Dien di Sumedang, Jawa Barat merupakan jasa Bupati Sumedang Pangeran Aria Soeria Atmadja atau yang biasa disebut Pangeran Mekah (1882-1883), saat pengasingan pahlawan perempuan itu di sana (1906-1908).
Namun, di balik itu ada sosok KH Sanusi, ulama besar asal kota ‘Buludru’ yang ditugaskan Pangeran Mekah, untuk memenuhi seluruh kebutuhan salah satu wanita berpengaruh dari Aceh tersebut, hingga akhir hayatnya.
Sayang, perannya yang begitu besar, tidak pernah terendus sejarah secara utuh. Nama KH Sanusi, hanya tertulis sebagai sosok guru agama di batu nisan prasasti Cut Nak Dien.
Baca Juga
Advertisement
Namanya seakan tenggelam di bawah kebesaran salah satu wanita 'martil' penduduk pribumi, dalam melawan penjajah Belanda pada era perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia.
Belakangan, nama KH Sanusi kembali muncul tertulis dengan jelas di makam yang jaraknya sekitar 1,5 meter dari makam Cut Nyak Dien, kompleks pemakaman Gunung Puyuh, Desa Sukajaya, Kecamatan Sumedang, lengkap dengan perannya sebagai ulama besar sekaligus imam pertama Masjid Agung Sumedang.
Menurut Raden Asep Gunandar Pengelola Makam Cut Nyak Dien, keberadaan KH Sanusi cukup penting di balik penempatan Cut Nyak Dien saat diasingkan di Sumedang, tetapi perannya seolah terabaikan.
"Tulisan yang tercantum di Batu Prasasti isinya hanya kebohongan terhadap publik," ujar dia beberapa waktu lalu.
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Simak video pilihan berikut ini:
Pembelokan Sejarah
Ia mencontohkan tulisan di prasasti nisan area makam, tertulis Cut Nyak Dien tinggal di Rumah KH Ilyas, padahal dalam kenyataan tidak ada hubungan keluarga antara Cut Nyak Dien dengan KH Ilyas.
"Ia bukan kiai, haji juga belum, sosok Ilyas hanya pembantunya KH Sanusi. Ini alasan saya lakban dan saya ganti dengan nama KH Sanusi," ujar dia.
Kemudian, tulisan Cut Nya Dien tinggal di Rumah Hajah Soleha, padahal sosok itu tidak ada, yang ada adalah sosok Siti Hodijah Bin H Husna Bin KH Sanusi, cucu KH Sanusi dan pemilik tanah yang digunakan sebagai makam Cut Nyak Dien saat ini.
"Nah, Siti Hodijah ini lah yang dijadikan cucu angkat oleh Cut Nyak Dien," ujar dia.
Selanjutnya, tulisan KH Sanusi hanya sebagai guru agama, padahal dalam kenyataannya sosok KH Sanusi merupakan ulama besar rakyat Sumedang, dan berkontribusi pembangunan masjid Agung Sumedang, selain sosok Kiai Mekah dan Yong, etnis Cina pemilik tahu Bong Keng, Sumedang yang ikut membantu.
"Setelah masjid selesai Kiai Mekah Menunjuk KH Sanusi menjadi Imam besar Pertama Masjid Agung Sumedang," kata dia.
Terakhir, soal tulisan prasasti yang menceritakan selama di Sumedang Cut Nyak Dien belajar mengaji. Padahal, sejatinya justru dia memberikan ilmunya bagi masyarakat selama dua tahun di Sumedang.
"Beliau itu seorang hafizah Quran 30 juz, yang mampu mengajarkan Al-Qur'an kepada masyarakat dan mengisi pengajian di masjid Agung Sumedang," kata dia.
Tak ayal dengan segudang jasa besarnya dalam lembaran agama Islam di Sumedang masyarakat kota Tahu menyebutnya dengan ragam sebutan baik bagi Cut Nyak Dien sejak lama.
"Beliau di Sumedang disebut ibu Perbu, ibu Ratu dan ibu suci sebagai penghargaan kepada pejuang asal Aceh dan sebagai guru mengaji,” ujar dia bangga.
Advertisement
Silsilah Makam dan Peninggalan Cut Nyak Dien
Asep menyatakan, saat ini makan Cut Nyak Dien menempati Tanah Wakaf pemakaman milik keluarga keturunan Siti Khodijah dengan catatan akta wakaf :W.5/17/02/KP/11/2021 dari pemberi wakaf keluarga R.A Kosasih, keturunan Siti Khodijah. "Silahkan cek saja bukti autentiknya semuanya ada," ujar dia.
Dengan banyaknya pembelokan fakta sejarah, Asep berharap pemerintah membuka mata, kembali meluruskan sejarah Cut Nyak Dien secara utuh, sebagai warisan sejarah bagi generasi muda.
Ia tidak mengerti apa motif sebenarnya pembelokan fakta sejarah sosok Cut Nyak Dien, termasuk KH Sanusi yang selama ini menjadi penolong bagi sosok perempuan tangguh asal Serambi Mekah tersebut.
"Selama ini saya membangun kebanyakan dari anggaran keluarga dan para penziarah. Dulu pernah ada bantuan dari pemerintahan Aceh tapi sekarang sudah lama, saya tidak menerimanya," kata dia.
Dengan semakin terbukanya informasi, Asep berharap pemerintah mampu meluruskan seluruh sejarah mengenai Cut Nyak Dien, termasuk seluruh peninggalannya.
"Rumah yang dijadikan situs oleh pemda sebagai Rumah Cut Nyak Dien itu bohong besar. Itu bukan rumah Cut Nyak Dien, tapi dulunya rumah terapi pijat," kata dia.
Fakta sesungguhnya, rumah yang ditempati Cut Nyak Dien selama dalam pengasingan, milik cucunynya Siti Khodijah yang tidak jauh dari Masjid Agung Sumedang. "Saat ini rumahnya digunakan penjahit Eka Remaja," dia menandaskan.