Waspada Mencari Berita di Wilayah Bencana

Meliput wilayah bencana bukan pertama kalinya bagi Bayu. Dia pernah meliput gempa dan tsunami di Palu, dan Banten. Namun, suasana bencana kali ini sedikit berbeda lantaran terjadi di tengah pandemi Covid-19 yang belum mereda.

oleh Ady Anugrahadi diperbarui 30 Des 2021, 13:28 WIB
Tim SAR melakukan evakuasi korban Semeru. (Dian Kurniawan/Liputan6.com)

Liputan6.com, Jakarta Bunyi alarm di ponsel membangunkan Bayu Pradhana, Senin 6 Desember 2021 pagi. Bayu adalah salah satu Reporter di staisun TV. Hari itu, Bayu sedikit santai karena sedang menikmati libur.

Seperti biasa, begitu beranjak dari tempat tidur, Bayu mengecek isi ponsel. Rentetan pesan WhatsApp mengisi layar ponsel. 

"Bayu liputan ke Semeru, ya," demikian isi pesan yang pertama dia buka,  kata Bayu saat berbincang, Minggu (26/12/2021).

Pesan tersebut dikirim dari nomor telepon koordinator liputannya. Koordinator liputan bertugas membuat proyeksi dan mengarahkan peliputan reporter. Penugasan Bayu hari itu adalah menliput bencana alam erupsi Gunung Semeru di Lumajang, Jawa Timur, 4 Desember 2021.

Gunung Semeru mengalami erupsi berupa awan panas guguran dan hujan abu vulkanis. Empat kecamatan di Kabupaten Lumajang, Jawa Timur terkena dampak yaitu Pronojiwo, Senduro, Pasrujambe, dan Candipuro. 

Meliput wilayah bencana bukan pertama kalinya bagi Bayu. Dia pernah meliput gempa dan tsunami di Palu, dan Banten. Namun, suasana bencana kali ini sedikit berbeda lantaran terjadi di tengah pandemi Covid-19 yang belum mereda. Apalagi, bermunculan varian baru berupa Delta dan Omicron.

Bayu mempersiapkan betul keperluan yang dibutuhkan selama berada di Lumajang. Berbagai perlengkapan seperti kacamata safety google, makser anti karbon dan masker menjadi bawaan wajib di samping pakaian ganti. 

"Kita memikirkan betul-betul apa saja yang harus dipersiapkan. ini kan liputan bencana, jadi bagaimana upaya mitigasi yang tepat," ujar Bayu.

Bayu bersama dua orang juru kamera menumpang pesawat komersil dari Bandara Soekarno Hatta pada Rabu 8 Desember 2021 sekira pukul 04.00 WIB.  

 


Protokol Kesehatan Kendor

Warga terdampak letusan gunung Semeru mengungsi di tempat penampungan sementara di desa Sumber Wuluh di Lumajang, Jawa Timur, Senin (6/12/2021) .Tim SAR Gabungan masih terus melakukan proses pencarian warga yang hilang. (Juni Kriswanto/AFP)

Kedatangan Bayu di Bandar Udara Internasional Juanda langsung disambut seorang pengemudi taksi online. Bayu kemudian menempuh perjalanan menggunakan transportasi darat menuju ke Balai Desa Penanggal, Kecamatan Candipuro, Lumajang. Lokasi yang dijadikan sebagai tempat pengungsian bagi korban bencana. 

"Perjalanan kurang lebih memakan waktu 4 jam," ujar Bayu.

Bayu mengamati suasana di Balai Desa Penanggal. Tak sedikit masyarakat yang masih mondar-mandir menenteng barang-barang untuk dipindahkan ke tempat pengungsian. 

Diakuinya, protokol kesehatan agak kendor. Namun dia memakluminya karena berada di daerah bencana. 

"Bicara protokol kesehatan di situ agak susah karena mereka sudah lama tinggal di situ jadi menganggap posko seperti rumah mereka sendiri. Jadi ya tidak mungkin mereka 24 jam harus pakai masker," ujar Bayu.

Bayu berulang kali dilanda rasa khawatir selama tujuh hari berada di Desa Penanggal. Ia takut sewaktu-waktu Gunung Sumeru kembali memuntahkan awan panas dan abu vulkanis.

Apalagi, cuaca kurang bersahabat. Turun material akibat air bah mungkin saja terjadi.

"Ini tantangan, karena di sana memasuki musim penghujan di samping jaga agar tidak tertular Covid-19 kita juga wajib jaga kesehatan agar tetap fit," ujar dia.

Tak seperti Bayu Pradhana, Levie Wardana seorang juru kamera salah satu stasiun TV tak punya persiapan sama sekali untuk meliput letusan Gunung Sumeru. Kata Levie, semua serba mendadak.

Penugasan dari koordinator liputan diberikan pada saat tengah meliput kegiatan di Mabes Polri Senin, 6 Desember 2021. 

Berawal dari pembicaraan dengan salah salah satu pejabat Humas Mabes Polri yang meminta supaya ada perwakilan dari beberapa perusahaan media mengikuti kunjungan kerja Polri ke Semeru.

"Tim humas bilang ke wartawan yang ada di situ untuk memberitahukan ke kantornya meminta perwakilan berangkat ke Semeru," ujar Levie memulai perbicangan, Senin (27/12/2021) malam.

Levie sejak beberapa hari kemarin memang punya keinginan kuat untuk melihat situasi secara langsung di Gunung Sumeru.  Kesempatan itu tak disia-siakan. Dia langsung berkoordinasi dengan koordinator liputan. 

Koordinator liputan  lalumenginstruksikan tim messenger membawa alat-alat peliputan dan masker N95 serta obat-obatan berbagai jenis untuk diberikan kepada Levie yang berada di Mabes Polri.

 

 


Buku Saku Meliput Bencana

"Walau bisa dibilang mendadak tapi dari kantor mengirim masker sekalian dengan alat-alat peliputan," ujar Levie.

Perusahaan tempat Levie bekerja juga mengirimkan uang yang bisa digunakan selama meliput di Gunung Semeru.

Media-media yang bertugas meliput letusan Gunung Semeru, kata Levie memang tak hanya membawa alat-alat liputan tapi juga membekali diri agar tetap aman.

Levie sendiri membeli sepatu both, masker moncong babi, kacamata, dan helmet sebagai alat perlindungan diri. 

"Alat-alat pelindung diri, inisiatif dari pewarta media sendiri. Ada yang niat beli atau pinjam di posko bantuan atau dipinjamkan oleh TNI-Polri.

Levie bersama rombongan dari Mabes Polri berangkat menggunakan pesawat komersil. Ia tiba di Surabaya pada Selasa, 7 Desember 2021.

Setelah itu, ia menempuh perjalanan darat menuju ke Desa Sumberwuluh. Tempat didirikan posko untuk menampung korban bencana.

Selama 12 hari, Levie berjibaku melaporkan situasi terkini di Gunung Semeru supaya bisa dinikmati pemerisa di rumah. Ia turut didampingi relawan dan TNI serta Polri untuk mengingatkan agar selalu peka dan keadaan sekitar, katanya awan panas dan abu vulkanis masih menjadi ancaman.

Selama berada di Candi Puro merasakan dua kali Gunung Semeru mengalami erupsi.  Tak hanya soal erupsi, Levie mengaku kekhawatiran tertular Covid-19 terus-terusan hinggap dibenaknya.

"Kekhawatiran virus Covid-19 ada. Tapi ya bagaimana meminimalkanya dengan tetap jaga prokes di sana," ujar dia.

Bahkan, Levie tak akan pulang ke rumah sebelum memastikan aman dari Covid -19. Sebab, di rumah, Levie tinggal berdama istri dan anak masih berusia balita.

"Satu hari memastikan diri dengan serangkaian tes, setelah itu baru saya siap ketemu keluarga dengan hasil tes swab negatif dan kondisi badan yang fit," ujar dia.

Sementara itu, Ketua Jurnalis Bencana Dana Krisis Indonesia, Ahmad Arif menjelaskan, ada dua yang harus diperhatikan sebelum terjun meliput bencana, baik itu dari jurnalis maupun dari pemilik media.

Ahmad mengatakan, jurnalis harus memahami karakter bencana yang akan diliput, apakah itu rawan erupsi, longsor, banjir bandang, atau gempa dan tsunami.

"Harus paham, bencana gunung api, zona bahayanya termasuk mengenali karakter awan panas. Apa bedanya dengan lahar dan lain-lain. Paham dulu karakteristik ancaman tempat liputannya," kata dia saat dihubungi, Selasa (28/12/2021).

Di sisi lain, pemilik media ikut bertanggungjawab bilamana menugaskan jurnalis meliput di zona bahaya. Di sini pemilik media seharusnya telah memetakan jurnalis yang dinilai siap meliput di daerah bencana. Tak hanya itu, pemilik media juga wajib menyiapkan alat pelindung diri. 

Jurnalis Bencana Dan Krisis Indonesia (JBDKI) mengaku telah membuat buku saku yang bisa menjadi pedoman bagi pemilik media dan wartawan yang meliput daerah bencana. Panduan mencakup bagaumana wartawan meliput di tengah situasi Covid-19.

"Kalau baca buku panduan peliputan bencana dan krisis itu, isinya salah satunya apa yang harus dilakukan dalam peliputan bencana dan peliputan terkait Covid-19," terang dia.

Namun dalam praktiknya, perusahaan media banyak mengabaikan pedoman tersebut atau cenderung mengampangkan.

"Sering kali kadang-kadang jurnalis yang belum memiliki pemahaman atau jurnalis baru kadang-kadang. Itu di tempatkan di zona berisiko. Mereka tak dibekali pengetahuan tadi," ujar dia.

Tak ayal, ini merugikan jurnalis. JBDKI mencatat hingga Juli 2021, 41 jurnalis meninggal akibat terpapar Covid-19. Ahmad menyebut, kasus kematian jurnalis di Indonesia akibat Covid-19 menduduki peringkat nomor 12.

"Sementara kalau di Asia kita tertinggi ketiga di Asia setelah India dan Bangladesh. Itu lah saya bilang tadi ini bukan hanya tanggung jawab jurnalisnya tapi juga pemilik medianya," ujar dia.

Di sisi lain, pekerja media kerap menjadi korban bencana. Hal ini terjadi karena banyak pekerja media tidak memahami risiko dalam peliputannya, sementara perusahaan media juga abai memberikan dukungan yang dibutuhkan.

Misalnya, dalam bencana bumi dan tsunami Aceh tahun 2004, setidaknya 25 pekerja media meninggal dunia atau hilang. Ini merupakan jumlah kematian terbanyak yang dialami pekerja media di Indoensia dalam satu kejadian.

Berikutnya, satu wartawan televisi hilang dan satu lainnya meninggal di rumah sakit karena tenggelam saat meliput evakuasi terbakarnya KM Levina pada 2007. Lalu terdapat satu wartawan meninggal saat meliput letusan Gunung Merapi di Yogyakarta pada tahun 2010. Pada tahun 2014, seorang wartawan meninggal dunia karena erupsi Gunung Sinabung di Sumatera Utara.

Terbaru, dalam peliputan Covid-19, puluhan wartawan telah terinfeksi dan sebagian di antaranya telah meninggal dunia. Situasi ini menunjukkan, wartawan di Indonesia sangat rentan terdampak bencana.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya