Pakar Hukum: Presidential Threshold Bakal Perkuat Sistem Pemerintahan

Menurut I Gde, Presidential Threshold menjadi salah satu hal yang dapat menjamin stabilitas penyelenggaraan pemerintahan dengan menerapkan ketentuan tentang ambang batas pengajuan calon presiden

oleh Nanda Perdana Putra diperbarui 31 Des 2021, 08:09 WIB
Ilustrasi pemilih surat suara.

Liputan6.com, Jakarta Ahli Hukum Administrasi Negara I Gde Pantja Astawa menyampaikan, ketentuan tentang ambang batas pengajuan calon presiden atau Presidential Threshold merupakan kebijakan hukum terbuka. Pengaturannya pun menjadi kewenangan pembentukan undang-undang. 

"Hal itu untuk menguatkan atau pun memperkokoh sistem pemerintahan presidensiil yang digariskan dalam UUD 1945 dengan sistem kepartaian multipartai sederhana," tutur I Gde dalam keterangannya, Jumat (31/12/2021).

Guru Besar Fakultas Universitas Padjadjaran itu mengatakan, struktur UUD 1945 memberikan pengaturan yang dominan terhadap lembaga kepresidenan, baik jumlah pasal maupun kekuasaannya.

Sistem pemerintahan presidensiil didasarkan pada kehendak untuk menjamin suatu kekuasaan pemerintahan yang kuat dan stabil, di bawah Presiden sebagai kepala kekuasaan eksekutif atau pun kepala pemerintahan.

"Kekuasaan pemerintahan yang kuat dan stabil, bukan dalam arti bahwa kekuasaan presiden sebagai kepala kekuasaan eksekutif atau kepala pemerintahan menjadi absolut, tetapi lebih berkonotasi efektif di dalam menjalankan kekuasaannya dan tidak mudah dijatuhkan dalam masa jabatannya, kecuali dengan pranata impeachment vide Pasal 7 A UUD 1945," jelas dia.

Menurut I Gde, Presidential Threshold menjadi salah satu hal yang dapat menjamin stabilitas penyelenggaraan pemerintahan dengan menerapkan ketentuan tentang ambang batas pengajuan calon presiden. Tentunya bertujuan untuk mewujudkan sistem kepartaian multipartai sederhana.

"Sebab, apabila presiden terpilih ternyata tidak didukung oleh partai politik yang memperoleh kursi mayoritas di DPR, tentu dapat dipastikan akan menyulitkan Presiden dalam menjalankan roda pemerintahan," ujarnya.

Lebih lanjut, kata I Gede, dengan ketentuan dan mekanisme Presidential Threshold maka akan mendorong partai-partai yang memiliki visi dan idiologi yang sama untuk saling berkoalisi dalam mencalonkan presiden dan wakil presiden.

"Bila partai-partai yang bergabung atau pun berkoalisi tersebut berhasil dalam kontestasi pilpres, maka ke depan diharapkan akan lahir koalisi permanen sehingga dalam jangka panjang diharapkan akan terjadi penyederhanaan partai secara alamiah tanpa melalui paksaan," I Gede menandaskan.

Sejumlah pihak berkeinginan mengubah presidential threshold atau ambang batas presiden untuk Pemilu 2024 membuat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu diwacanakan revisi.

Terkait hal tersebut, Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad menyatakan lembaganya tidak menutup peluang adanya revisi UU Pemilu, karena selalu siap menyerap aspirasi.

"Jadi kita bukan tidak aspiratif. Tahapan-tahapan panjang proses revisi UU pemilu itu mungkin dilakukan, tapi nanti," kata dia pada wartawan, Selasa (21/12/2021).

Namun, Dasco mengakui revisi UU Pemilu tak mungkin dilakukan dalam waktu dekat. Sebab tahapan Pemilu 2024 sudah mulai berjalan.

"Kita tampung untuk perbaikan-perbaikan ke depan. Karena sekarang sudah masuk proses tahapan pemilu kemudian proses tahapan pemilu yang sudah jalan ini kemudian akan terganggu kalau kemudian kita membuat lagi revisi-revisi yang waktunya juga enggak akan cukup," jelas dia.

 


Tidak Lagi Tergantung DPR

Sebelumnya, Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Khoirunnisa Nur Agustyati mengatakan, tidak adanya ambang batas jelas mempunyai banyak keuntungan. Yang pertama dia menyebut karena hal tesebut tidak sesuai dengan konsep sistem pemerintahan presidensial yang dianut.

"Dalam sistem presidensial yang kita anut, presiden dan DPR masing-masing dipilih oleh rakyat secara langsung. Sehingga institusi yang satu tidak menentukan pencalonan istitusi yang lainnya," kata Khoirunnisa kepada Liputan6.com, Senin (20/12/2021).

Selain itu, yang kedua, ke depan pencalonan presiden tidak lagi ditentukan hasil pemilu DPR yang berjarak jauh. "Sehingga seharusnya pencalonan Presiden tidak bergantung dengan hasil pemilu DPR, apalagi itu hasil pemilu 5 tahun yang lalu," ungkap Khoirunnisa.

Dia juga menyebut, dengan tanpa ambang batas, tidak akan ada lagi gejolak politik yang berlebihan antar satu kandidat dengan yang lain.

"Justru ketika ada ambang batas pencalonan presiden menimbulkan gejolak. Misalnya saat menentukan koalisi partai. Dengan tidak adanya ambang batas pencalonan ini justru partai bisa mencalonkan sendiri," jelas Khoirunnisa.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya