Liputan6.com, Jakarta - Penerapan konsep keberlanjutan di sebuah destinasi wisata salah satunya diwujudkan dalam pengelolaan sampah. Upaya ramah lingkungan ini pula yang turut ditempuh kebun botani, Kebun Raya Bogor.
"Kita sudah memilah sampah, dari organik dan non-organik. Kita ada dua tempat pilah di lapangan, ada titik pengumpulan dan di sana akan dipilah kembali," kata Mar'atus Sholikhah selaku Supervisor Kebersihan dan Kompos Kebun Raya Bogor, saat dihubungi Liputan6.com, Rabu, 29 Desember 2021.
Atus, sapaan akrabnya, melanjutkan tim pengelolaan sampah juga dibagi dua, yakni yang mengangkut maupun memilah sampah. Petugas yang mengangkut sampah akan berkeliling area Kebun Raya Bogor setiap harinya.
"Setiap titik langsung dipilah, mana yang organik dan non-organik. Yang non-organik kita ada tempatkan tersendiri," tambahnya.
Baca Juga
Advertisement
Setelah pengangkutan, sampah akan dikumpulkan di area yang disebut kompos. Dikatakan Atus, di sana ada tim pemilah lain.
"Untuk pengolahan non-organik, kita bermitra dengan Bank Sampah Induk Kota Bogor atau BASIBA Kota Bogor. Setelah itu, sampah non-organik kita pilah. Ada botol, kaleng, beling, dan kotak bekas makanan. Itu masih ada nilai dan kita pisahkan setiap seminggu sekali," terang Atus.
Pengolahan sampah anorganik tersebut nantinya akan dilakukan BASIBA. Atus juga menjelaskan mengenai nasib dari residu.
"Untuk yang residu, ada yang bisa dijual dan bernilai ekonomi, yang tidak, ada nilai kita melibatkan pihak ketiga untuk pembuangan ke TPA setiap bulan. Tetap ada pembuangan residu, jadi di dalam Kebun Raya Bogor sudah tidak ada lagi penimbunan sampah," lanjutnya.
Sedangkan sampah organik akan diolah menjadi pupuk kompos. Sampah organik ini sendiri biasanya terdiri atas daun kering, hasil pangkasan rumput, ranting, batang bambu, dan batang pohon.
"Persentase organik lebih banyak antara 70 banding 30 (dengan yang non-organik)," kata Atus.
Pupuk kompos olahan tim Kebun Raya Bogor lantas dijual melalui toko resmi merchandise mereka, Olive Store. "Pupuk Olive dijual di Olive Store Rp25 ribu per kilogram," kata Atus.
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Desa Wisata Sukunan, Yogyakarta
Sebelum menyandang status sebagai desa wisata, Desa Sukunan, Yogyakarta telah cukup lama memulai langkah keberlanjutan. Aksi hijau ini tidak lepas dari peran besar penggagasnya, Iswanto, yang punya fokus pada kesehatan lingkungan.
Iswanto menjelaskan, terlahirnya upaya pengelolaan sampah ini bermulai dari pemasalahan sampah yang ada di desa yang terletak di Kecamatan Gamping, Kabupaten Sleman, Yogyakarta ini. Pada 1997, ia dan keluarganya pindah dari Kota Yogyakarta ke Desa Sukunan.
"Biasanya wilayah pinggiran kota belum terjamah sistem pelayanan sampah dari pemerintah, sampah diselesaikan sendiri oleh warga. Yang punya pekarangan luas biasanya menempatkan dengan tanah, yang di pinggir sungai buang ke sungai, dibakar. Kami tidak punya lahan pekarangan sehingga bingung mengelola sampah di situasi itu," kata Iswanto saat dihubungi Liputan6.com, Rabu, 29 Desember 2021.
Berkecimpung di bidang kesehatan lingkungan, dosen Poltekkes Kemenkes Yogyakarta ini melihat situasi penanganan sampah yang tidak sesuai, seperti pembakaran, bertentangan dengan kesehatan. Begitu pula dengan sampah rumah tangga dan limbah bahan beracun berbahaya (B3) yang dapat menyebabkan pencemaran tanah.
Ia pun berinisiatif untuk menciptakan sistem pengelolaan sampah secara mandiri. Iswanto mengelola sampah secara produktif, sehingga dapat menghasilkan pemasukan bagi masyarakat, serta ramah lingkungan.
"Saya belajar ke pemulung, mencari tahu jenis sampah apa yang laku dan tidak laku jual. Akhirnya mengidentifikasi banyak sekali sampah anorganik yang laku jual, seperti semua kertas, kaleng-kaleng logam, sebagian plastik, hanya plastik kemasan yang berlapis aluminium foil yang tidak bisa dijual," terangnya.
Tantangan lain yang dihadapi Iswanto adalah sampah organik. Ia menyampaikan, kunci dari pengelolaan sampah adalah pemilahan.
Iswanto lantas berdiskusi dengan pengepul dan pembeli sampah, apakah bersedia membeli sampah jika Sukunan memilah sampah. Ternyata, respons dari mereka sangat baik, mengingat ada kualitas sampah akan lebih baik dibanding yang sudah bercampur baru dipilah.
"Sampah lalu dikelompokkan menjadi tiga golongan, yakni kertas, plastik, dan logam kaca. Sampah yang tidak laku jual, seperti kemasan kopi, susu yang ada aluminium foil, dimanfaatkan istri saya dijadikan kerajinan tangan dengan dijahit, akhirnya bisa produksi, itu pada 2002--2003," jelasnya.
Advertisement
Pengembangan Pengolahan Sampah
Iswanto juga menyebut sampah organik harus selesai di rumah dengan pengomposan. Ia mencoba membuat desain komposter yang murah menggunakan gerabah dan dicoba dengan dua gentong.
"Setelah penuh jadi kompos. Konsep ini diimplementasi di rumah selama empat bulan, bisa memilah sampah dengan baik, istri produksi kerajinan daur ulang, hasilkan kompos, berbekal pengalaman itu kami coba menyampaikan gagasan yang berbasis evidence (bukti) ke kelompok ronda. Ternyata dari 24 orang, yang tertarik gagasan saya hanya empat orang," ungkap Iswanto.
Kendati demikian, ia tetap merasa senang gagasannya diterima. Mereka berlima akhirnya mencoba mengangkat gagasan itu, diimplementasikan di tingkat desa.
Pada 19 Januari 2001, Iswanto dan keempat rekannya memaparkan gagasan dan sudah menghadirkan pengepul sampah, membawa kompos dari hasil eksperimen, dan menghasilkan produk daur ulang. Kepada ketua RW setempat, mereka mengusulkan gagasan itu dijadikan program desa.
"Kami bentuk tim pengolah sampah Sukunan, terjadi pengorganisasian, ada sosialisasi masyarakat, sarana prasarana, semua bergerak dengan berbagai macam pendekatan. Akhirnya, April 2004, program ini dilaksanakan. Masyarakat mulai memilah sampah dan mengumpulkan sampah pada tempat yang disediakan," jelasnya.
"Kami panen sampah yang dijual dan pemasukan untuk kas kampung. Istri saya melatih teman-temannya membuat kerajinan daur ulang dan menghasilkan produk yang laku jual," kata Iswanto.
Ia menambahkan, pada 2005, sudah banyak orang yang berkunjung ke Desa Sukunan untuk belajar mengompos, membuat kerajinan daur ulang, dan memilah sampah. Setelah gaung konsep hijau desa ini kian tersebar, di 2008, mereka membuat visi baru menjadi desa wisata lingkungan.
"Di-launching Bupati Sleman pada 2009 dan akhirnya berkembang tidak hanya mengelola sampah, tetapi bagaimana mengatasi air limbah, membuat biogas dari kotoran sapi dan sebagainya. Ini menjadi paket-paket wisata di Desa Sukunan," kata Iswanto.
Jadi Paket Wisata
Iswanto menjelaskan, "Pada prinsipnya, secara garis besar sampah pilahan di Sukunan yang laku dijual nanti disedekahkan atau ditabung di bank sampah. Untuk konsep sedekah sampah ini ditangani oleh Dasa Wisma, masing-masing mengumpulkan sampah dari anggota Dasa Wisma, hasil penjualan sampah masuk ke kas Dasa Wisma."
Ia menyebut, dari kas Dasa Wisma tersebut ada yang dikembangkan menjadi simpan pinjam, seperti koperasi. Sementara mereka membentuk unit-unit usaha guna mengolah sampah yang bisa dimanfaatkan.
"Jadi ada kelompok-kelompok pengolah sampah, unit pengompos, unit kerajinan plastik, unit kerajinan kertas, unit pengolah sampah stirofoam dan kaca, kerajinan kain perca, kulit telur, kelompok ternak pembuat kompos, dan kelompok IPAL komunal. Itu semua merupakan paket-paket wisata yang ada di Sukunan," terangnya.
Adapun paket wisata di Desa Wisata Sukunan ada yang sifatnya kunjungan, pelatihan, dan magang dengan tinggal di desa selama beberapa waktu. Lalu, ada tiga kategori sampah yang laku dijual, dikumpulkan dan dijual, dan sampah yang dimanfaatkan lalu diolah oleh unit-unit yang ada.
"Yang tidak bisa dijual dan diolah, diminimalkan dengan konsep 3R, reduce-reuse-recycle. Sampah yang residu yang tidak bisa diapa-apakan lagi, programnya meminimalkan, nanti diangkut ke TPS atau TPA dengan membayar iuran sampah," tutur Iswanto.
Program desa hijau di Desa Sukunan terus berkembang. "Upaya membatasi sampah dengan memproduksi pembalut wanita yang reusable yang dicuci, jemur, dan pakai, termasuk popok," tambahnya.
Iswanto juga menjelaskan ia dan warga Desa Sukunan menciptakan water heater dengan teknologi sederhana. Juga, membuat kulkas alami untuk menyimpan sayur dan buah yang terbuat dari gerabah.
"Kalau paket kunjungan itu kunjungan saja, itu biaya per kelompok, ada tarif 25 wisatawan bayar Rp400 ribu itu satu kelompok. Setiap penambahan 25 (orang) ditambah Rp100 ribu. Tergantung apakah mereka menginginkan snack atau makan, nanti ada paketnya sendiri," tambahnya.
Sementara untuk paket pelatihan, seperti pelatihan kompos, Rp500 ribu per satu kelompok. Jika ada yang ingin menginap, desa wisata ini juga menyediakan homestay.
"Kalau hanya paket kunjungan kurang dari lima orang itu sosial, tidak usah membayar tidak apa-apa. Sifatnya sukarela, tidak semuanya dihitung dengan uang. Semakin banyak orang yang peduli lingkungan, mudah-mudahan kita akan semakin bermanfaat hidup kita," kata Iswanto.
Advertisement