China Perketat Regulasi IPO di Luar Negeri

Regulator China menambahkan perusahaan akan diminta untuk melepaskan beberapa aset menghindari dampak penerbitan serta pencatatan di luar negeri .

oleh Liputan6.com diperbarui 01 Jan 2022, 15:12 WIB
Seorang wanita berjalan melewati layar monitor yang menunjukkan indeks bursa saham Nikkei 225 Jepang dan lainnya di sebuah perusahaan sekuritas di Tokyo, Senin (10/2/2020). Pasar saham Asia turun pada Senin setelah China melaporkan kenaikan dalam kasus wabah virus corona. (AP Photo/Eugene Hoshiko)

Liputan6.com, Hong Kong - China berencana memperketat pembatasan untuk perusahaan yang akan listing atau catatkan saham di bursa luar negeri tetapi regulator tidak melarang melakukan perdagangan dengan investor luar negeri.

Pada Jumat, 24 Desember 2021, regulator sekuritas China mengusulkan setiap perusahaan yang ingin go public di negara lain harus mendaftar ke agensi terlebih dahulu. Selanjutnya perusahaan diminta umtuk memenuhi serangkaian persyaratan yang ditetapkan oleh pejabat pemerintah.

"Perusahaan dalam negeri yang menerbitkan dan mencatatkan saham di luar negeri harus secara ketat mematuhi undang-undang, peraturan, dan ketentuan terkait keamanan nasional. Mulai dari investasi asing, keamanan siber, keamanan data, dan berkomitmen tinggi memenuhi kewajiban perlindungan keamanan nasional," ujar China Securities Regulatory Commission, dilansir dari laman CNN, ditulis Sabtu (1/1/2022).

Sebuah entitas dapat diblokir dari penawaran umum perdana asing jika pihak berwenang menganggapnya sebagai ancaman terhadap keamanan nasional.

Regulator China menambahkan perusahaan kemungkinan diminta untuk melepaskan beberapa aset guna menghilangkan atau menghindari dampak penerbitan serta pencatatan di luar negeri yang berkaitan dengan keamanan nasional.

Draft aturan terbuka atas berbagai umpan balik dari publik hingga akhir Januari 2022. Selama berminggu-minggu muncul spekulasi terkait kapan dan bagaimana Beijing akan memperketat pengawasannya atas IPO.

Washington juga memberlakukan aturan audit yang dapat memengaruhi perusahaan-perusahaan China. Hal ini mengisyaratkan ketegangan yang berlanjut antara Amerika Serikat dan China.

 

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.


Adu Regulasi

Seorang wanita berjalan melewati layar monitor yang menunjukkan indeks bursa saham Nikkei 225 Jepang dan lainnya di sebuah perusahaan sekuritas di Tokyo, Senin (10/2/2020). Pasar saham Asia turun pada Senin setelah China melaporkan kenaikan dalam kasus wabah virus corona. (AP Photo/Eugene Hoshiko)

Awal bulan ini, Financial Times melaporkan China sangat membatasi kemampuan perusahaan yang menggunakan struktur yang disebut entitas bunga variabel, atau VIE  dalam mengumpulkan dana dari investor asing.

VIE melibatkan pembuatan perusahaan induk di luar negeri yang memungkinkan investor memiliki saham di perusahaan China. Jika tidak demikian akan sulit bagi perusahana memperoleh dana tambahan mengingat pembatasan ketat di negara tirai bambu ini.

Perusahaan seperti raksasa ride-hailing China Didi Global dan perusahaan e-commerce sekaligus teknologi Alibaba ( BABA ) , Pinduoduo ( PDD ) dan JD.com ( JD ) justru memperoleh kebermanfaatan dari sistem ini.

Rancangan aturan tidak menyinggug terkait VIE tetapi Juru Bicara regulator mengatakan perusahaan yang menggunakan struktur semacam itu masih akan diizinkan untuk mendaftar di luar negeri.

Selama entitas mematuhi peraturan pemerintah dan mendaftar ke regulator. Pengumuman ini terdapat dalam pernyataan yang dipublikasikan pada Jumat (24/12/2021).

Tatkala Beijing tidak menutup pintu untuk listing di luar negeri sepenuhnya, pemerintah telah mengambil beberapa langkah tahun ini demi mencegah perusahaan-perusahaan China berdagang di pasar luar negeri. Pasalnya negara itu mengkhawatirkan akan potensi risiko bagi keamanan nasional.


Imbas Tindakan Keras Beijing

Orang-orang berjalan melewati sebuah indikator saham elektronik sebuah perusahaan sekuritas di Tokyo (29/8). Bursa saham Asia turun setelah Korea Utara (Korut) melepaskan rudalnya ke Samudera Pasifik. (AP Photo/Shizuo Kambayashi)

Didi Global merupakan salah satu korban dari tindakan keras Beijing ke sektor teknologi awal tahun ini. Tepatnya saat China melarang perusahaan toko aplikasi hanya beberapa hari setelah IPO pada Juni di New York Stock Exchange.

Saat itu, pihak berwenang menduga Didi melanggar undang-undang privasi sehinga menimbulkan risiko keamanan siber. Secara luas, tindakan pemerintah Beijing dilihat sebagai hukuman atas keputusan perusahaan untuk go public di luar negeri, bukan di China.

Setelah beberapa minggu IPO, Beijing mengusulkan agar Didi Global yang mempunyai lebih dari 1 juta pengguna meminta persetujuan sebelum listing di luar negeri.

Kenyataannya tekanan tidak hanya datang dari Beijing. Awal bulan ini, US Securities and Exchange Commission menyelesaikan regulasi yang memungkinkannya menghapus perusahaan asing yang menolak membuka pembukuan entitas kepada regulator AS.

China telah bertahun-tahun menolak audit AS terhadap perusahaannya dengan alasan masalah keamanan nasional.

Ketidakpastian tampaknya membebani beberapa perusahaan. Pada Desember, Didi mengumumkan segera memulai proses delisting dari New York Stock Exchange dan pivot ke Hong Kong.

Beberapa perusahaan lain yang terdaftar di AS, termasuk Baidu (BIDU), NetEase (NTES) dan JD.com. Dimana ketiganya juga sekarang berdagang di Hong Kong. Meskipun nama-nama besar perusahaan telah melantai di bursa Hong Kong tidak menunjukkan itikad Didi keluar dari New York sepenuhnya.

 

Reporter: Ayesha Puri

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya