Liputan6.com, Jakarta Selain Bitcoin, aset kripto dengan kapitalisasi pasar atau market cap terbesar adalah Ethereum (ETH).
CEO Indodax Oscar Darmawan dalam siaran persnya, dikutip Senin (3/1/2022) mengatakan, Ethereum saat ini sudah berevolusi menjadi Ethereum 2.0.
Advertisement
Menurut Oscar, dengan evolusi ini, kecepatan, efisiensi, dan skalabilitas jaringan Ethereum bakal semakin meningkat sehingga bisa memproses lebih banyak transaksi dan mengurangi kemacetan.
"Secara teknologi, harga, dan ekosistem sebenarnya Ethereum sudah mengungguli Bitcoin. Ethereum itu bagus ekosistemnya juga luar biasa dan dipakai di dunia institusi juga," kata Oscar.
Meski begitu, Oscar mengatakan, yang jadi masalah apakah Ethereum akan bisa scale up lagi atau tidak, untuk menurunkan biaya transaksinya, karena biaya gas dari Ethereum ini adalah kuncinya.
"Jika pada 2022 pengembang dari Ethereum ini bisa menurunkan gas fee-nya, saya kira ada kemungkinkan bahwa Ethereum bisa meng-off lap Bitcoin," kata Oscar.
Data Indodax di penghujung Desember lalu, pada tanggal 28, Ethereum menyentuh kisaran angka Rp 58 juta per 1 ETH. Di awal Januari 2021, harganya 1 ETH hanya berkisar Rp 10 juta.
Sehingga, dapat disimpulkan terdapat kenaikan sekitar 480 persen. Performa kripto ini pun dinilai sangat baik di 2021, bahkan sempat menyentuh all time high di angka 68 juta pada November 2021.
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Performa Aset Kripto di 2022
Oscar sendiri berharap agar pada 2022, performa aset kripto bakal lebih baik dengan adanya ekosistem terbaru.
Oscar memprediksi, di 2022 akan ada suatu ekosistem baru setelah pada 2020 ada DeFi, sementara pada 2021 ada hype NFT dan metaverse. Menurutnya ekosistem ini belum akan ditinggalkan meski ada yang baru.
Tidak hanya soal ekosistem, setelah adanya pergerakan dari negara El Salvador yang menjadikan Bitcoin sebagai alat pembayaran yang sah, tentu akan ada negara lainnya yang menyusul.
Pada 2021, Bitcoin juga dianggap sudah semakin mainstream. Banyak orang awam yang awalnya tidak tahu, mulai mendengar dan aware soal mata uang kripto ini.
Bitcoin pun juga sudah digunakan sebagai devisa negara dan juga masuknya institusi investor. Menurut Oscar, dulu negara belum pernah sama sekali mempertimbangkan Bitcoin sebagai devisa.
"Namun di tahun ini, negara El Salvador yang kabarnya nantinya juga akan diikuti oleh negara Amerika Selatan lainnya yang selama ini terikat dengan Dollar USD mempertimbangkan Bitcoin sebagai devisa negaranya."
Advertisement
Bitcoin di 2022
Oscar merasa di 2022, pasar sudah lebih kebal. Ini terkait dengan IMF yang cukup banyak memberikan pendapat menentang Bitcoin. Menurutnya, pendapat ini bukan sesuatu yang benar-benar bisa menggerakkan pasar.
"Bitcoin sudah sering dinyatakan mati dari sejak kemunculannya. Saya kira statement IMF yang bertentangan dengan eksistensi kripto tidak akan begitu pengaruh," kata Oscar.
"Yang akan cukup berpengaruh adalah bagaimana negara akan membuat bitcoin sebagai devisa atau tidak. Kita juga bisa melihat bahwa institusi juga sudah terjun dan gelombangnya cukup besar," imbuhnya.
Oscar menyebut, jika harga turun, maka institusi akan memborong. Jika hal ini dilakukan terus menerus, lama lama supply bitcoin akan terus menipis.
Pada bulan Januari 2021, Bitcoin berada di angka 500 juta rupiah sementara berdasarkan catatan market Indodax pada 28 Desember 2021, Bitcoin sudah menyentuh angka 737 juta.
Bitcoin sudah naik sekitar 47.4 persen bahkan pernah menyentuh harga all time high di bulan November dengan harga hampir Rp 1 miliar per 1 Bitcoin.
(Dio/Isk)
INFOGRAFIS: 10 Mata Uang Kripto dengan Valuasi Terbesar
Advertisement