Liputan6.com, New York - Goldman Sachs menyerukan kepada setiap karyawan untuk meminta setiap orang yang datang ke kantor bank Amerika Serikat (AS) ini menunjukkan bukti vaksinasi COVID-19.
Regulasi terkait suntikan booster baik untuk karyawan dan pengunjung mulai berlaku per 1 Februari 2022. Pemerintah Amerika Serikat (AS) memberlakukan kebijakan ini mengingat kasus COVID-19 varian omicron menghambat proses kembalinya para pekerja ke kantor di New York dan seluruh AS.
Advertisement
Selain mewajibkan melakukan suntikan vaksin booster bagi karyawan yang telah memenuhi syarat, Goldman Sachs berencana menggandakan tes wajib bebas COVID-19 menjadi dua kali dalam seminggu bagi pekerja yang memasuki kantor. Kebijakan ini akan berlangsung pada 10 Januari 2022.
Informasi terkait kebijakan kesehatan pertama kali dikonfirmasi oleh Juru Bicara Goldman Sachs, demikian mengutip dari laman CNN, ditulis Minggu (2/1/2022).
Mantan Penasihat Penanggulangan COVID-19 Presiden Joe Biden, Andy Slavitt mengatakan CEO sepakat meminta karyawan untuk mendapatkan booster lantaran tingkat penyebaran varian omicron sangat cepat daripada varian COVID-19 sebelumnya.
“Tingkatkan (imun) semua orang. Jika semua orang memperoleh vaksin maka itu sebagai cara terbaik sehingga semua dapat orang kembali ke kantor," tambah Slavitt menanggapi bagaimana para pemimpin bisnis harus mendekati rencana kembali ke kantor.
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Goldman Sachs Sebut Investasi di China Kian Lebih Menantang
Sebelumnya, Chief Asia-Pacific Equity Strategist sekaligus Co-Head of Asia Macro Research Goldman Sachs, Timothy Moe mengatakan, banyak peluang di pasar saham China. Namun, berbagai krisis yang terjadi membuat investasi semakin menantang.
"Tentu ada sejumlah tantangan yang dihadapi China sekarang ini. Meskipun begitu, kami menolak dengan keras pernyataan tentang China yang tidak bisa lagi jadi tempat investasi,” ujar Chief Asia-Pacific Equity Strategist sekaligus Co-Head of Asia Macro Research Goldman Sachs, Timothy Moe dikutip dari laman CNBC ditulis Selasa, 26 Oktober 2021.
Moe manambahkan hal tersebut sifatnya menyeluruh dan diperlukan kekhususan untuk berinvestasi di China. Narasi tersebut tidak serta merta menunjukkan ada perluasan ke seluruh pasar China.
Kebijakan dalam beberapa kasus berfungsi sebagai penarik bagi beberapa sektor. Dia mencontohkan masalah tentang “hard technology areas” seperti semikonduktor. Beijing dengan jelas mengisyaratkan upaya kemandiriannya.
Pada Maret, pembuat chip terbesar dan terpenting di China, Semiconductor Manufacturing International Corporation mengumumkan sedang membangun pabrik senilai USD 2,35 miliar atau Rp 33,2 triliun (estimasi kurs Rp 14.169 per dolar AS) di Shenzhen. Seperti yang diketahui, Shenzhen adalah pusat teknologi utama di negeri tirai bambu.
Dari kebijakan itu, sektor energi terbaharukan ikut merasakan dampak positifnya. Hal ini didukung pula dalam rencana lima tahunan Beijing.
Tahun lalu, Presiden China Xi Jinping mengumumkan rencana penurunan emisi karbon pada 2030. Ditargetkan dapat mencapai netralitas karbon pada 2060.
"Jika Anda melihat setiap bagian di pasar China, mereka (pemerintah China) telah melakukannya dengan sangat baik tahun ini. Meskipun lingkungan investasi di China “menjadi lebih menantang,”” tutur Moe.
Kekhawatiran atas tindakan keras peraturan yang sedang berlangsung oleh Beijing sangat membebani saham China pada 2021.
Indeks CSI 300, melacak saham-saham yang terdaftar turun hampir 5 persen pada penutupan Jumat, 22 Oktober 2021 Sebagai perbandingan, indeks regional utama lainnya seperti Nikkei 225 Jepang melonjak sekitar 5 persen pada periode yang sama.
Di Wall Street, Dow Jones Industrial Average dan S&P 500 juga telah menuju ke rekor tertinggi dalam beberapa hari terakhir. Ditambah sokongan pendapatan perusahaan yang kuat.
Reporter: Ayesha Puri
Advertisement