Liputan6.com, Jakarta - Jika harga batu bara untuk sektor kelistrikan dalam negeri naik maka akan berdampak ke harga listrik. Saat ini harga batu bara naik untuk sektor kelistrikan dipatokn USD 70 per ton. Jika harga batu bara naik jadi USD 80-90 per ton diprediksi akan terjadi kenaikan tarif listrik 5 persen.
“Kenaikan minimal 5 persen per Kwh itu sangat besar. Jika itu dilakukan maka akan menjadi beban bagi konsumen Indonesia,” kata Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi, kepada Liputan6.com, Senin (3/1/2022).
Oleh karena itu, YLKI menolak jika ada rencana revisi harga batu bara untuk kelistrikan menjadi sebesar USD 80-90 per ton. “Itu kalau sampai dilakukan maka akan terjadi kenaikan tarif listrik yang sangat besar,” tegasnya.
Tidak hanya itu, YLKI juga menolak jika pemerintah merevisi porsi batu bara untuk Domestic Market Obligation (DMO) sebesar 25 persen. Menurutnya, jangan sampai DMO 25 persen untuk kepentingan dalam negeri direvisi.
“Jangan sampai direvisi, harus kita tolak. Yang harus direvisi justru keperluan ekspor batu bara. Jadi YLKI mendesak agar ekspor batu bara itu direvisi secara signifikan,” ucapnya.
Sebab, kebutuhan listrik bukan hanya untuk 1 bulan, kita semua butuh listrik, baik untuk keperluan rumah tangga maupun industri membutuhkan listrik yang berkelanjutan. Dengan demikian, jika terjadi gangguan pasokan batu bara untuk listrik, maka akan menyebabkan chaos ekonomi.
“Dan merugikan kita semua termasuk pengusaha batu bara karena tidak menggunakan listrik. Kalau mempertimbangkan pasar internasional jauh lebih menguntungkan, tapi apakah pengusaha batu bara tidak mikir bahwa batu bara dan tambang itu untuk kepentingan nasional,” jelas Tulus.
Baca Juga
Advertisement
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Pemerintah Larang Ekspor Batu Bara
Melalui salinan surat nomor B-1605/MB.05/DJB.B/2021 yang dikeluarkan pada 31 Desember 2021 lalu, Direktur Jenderal Minerba Kementerian ESDM Ridwan Djamaluddin melarang pelaku usaha untuk melakukan penjualan ke luar negeri atau ekspor batu bara mulai 1 Januari sampai 31 Januari 2022.
Kebijakan ini dilakukan akibat defisit pasokan batu bara untuk sektor kelistrikan.
Hal ini dialami PT PLN (Persero), yang hingga 31 Desember 2021 masih mengalami krisis pasokan batu bara.
"Persediaan batubara pada PLTU Grup PLN dan Independent Power Producer (IPP) saat ini kritis dan sangat rendah. Sehingga akan mengganggu operasional PLTU yang berdampak pada sistem kelistrikan nasional," ujar Ridwan dalam surat tersebut, dikutip Sabtu (1/1/2022).
Oleh karenanya, Kementerian ESDM menginstruksikan kepada seluruh pemegang Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B), Izin Usaha Pertambangan (IUP) Operasi Produksi, Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) Operasi Produksi, dan IUPK sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian agar tidak melakukan ekspor batu bara.
"Para pemilik kontrak dilarang melakukan penjualan batu bara ke luar negeri sejak tanggal 1 sampai dengan 31 Januari 2022," tegas Ridwan.
Advertisement