HEADLINE: Sekolah di Wilayah PPKM Level 1-2 Gelar PTM 100 Persen, Amankah?

Meski disambut gembira oleh siswa, namun kebijakan pemerintah ini ditentang oleh para epidemiolog karena dinilai berisiko.

oleh Fitri Haryanti HarsonoAdy AnugrahadiMuhammad Radityo PriyasmoroLizsa EgehamAde Nasihudin Al Ansori diperbarui 04 Jan 2022, 10:45 WIB
Guru mendampingi murid kelas 1 saat mengikuti Pembelajaran Tatap Muka (PTM) Terbatas di SDN Malaka Jaya 07 Pagi, Klender, Jakarta, Senin (30/8/2021). Kegiatan PTM terbatas ini akan berlangsung tiap Senin, Rabu, dan Jumat dengan jatah seminggu sekali per kelas. (merdeka.com/Iqbal S. Nugroho)

Liputan6.com, Jakarta - Ahmad Ilham, siswa kelas VII SMP 182 di Pancoran, Jakarta Selatan mengaku senang ketika pembelajaran tatap muka (PTM) dimulai pada Senin, 3 Januari 2022. Sebab menurutnya, dengan pembelajaran tatap muka dirinya bisa bertemu dengan teman-teman.

"Senang bisa ketemu teman-teman langsung," kata Ilham kepada Liputan6.com di lokasi, Senin (1/1/2022).

Ilham mengaku baru kali ini bertemu dengan teman-teman sekolahnya karena selama 2 tahun belajar hanya dilakukan secara daring.

Sementara Ibnu Adam teman sekelas Ilham mengaku ingin segera dapat bermain bola sepulang sekolah.

"Kalau saya ingin bisa main bola lagi," harap Ibnu.

Berbeda dengan anak-anak, pembelajaran tatap muka 100 persen ini justru dikhawatirkan oleh para orangtua. Ari, seorang ibu yang anaknya bersekolah di SMP 128 Pancoran mengatakan ada rasa khawatir saat mengizinkan anak laki-lakinya yang duduk di bangku kelas VII itu melangsungkan PTM.

"Khawatir pasti ada, karena kan masih pandemi juga, makanya saya jemput tadi pagi juga mengantar," kata dia kepada Liputan6.com di SMPN 182 Jakarta, Pancoran, Senin (3/12/2021).

Meski khawatir, namun Ari mendukung kebijakan pemerintah yang memutuskan menggelar PTM, meskipun sebenarnya belajar secara daring adalah pilihan yang paling baik. 

"Intinya saya mendukung PTM. Walau mending online, soalnya tidak usah kemana-mana, asal tugas selesai," urai Ari.

Sebelumnya, pemerintah melalui empat Kementerian mengeluarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) tentang Panduan Penyelenggaraan Pembelajaran di Masa Pandemi Coronavirus Disease 2019 (Covid-19). Dalam SKB tersebut tertulis pada tahun 2022, mewajibkan sekolah mulai dari anak usia dini hingga perguruan tinggi menggelar PTM.

Meski disambut gembira oleh siswa, namun kebijakan pemerintah ini ditentang oleh para epidemiolog karena dinilai berisiko untuk anak-anak. Terlebih saat ini muncul varian baru Covid-19, Omicron yang penularannya lebih cepat dari varian Delta.

Epidemiolog Universitas Indonesia (UI) Tri Yunis Miko menilai kebijakan pemerintah untuk memberlakukan PTM 100 persen kurang tepat. Menurut Miko, PTM 100 persen bisa dilakukan jika vaksinasi dosis kedua sudah dilakukan 100 persen. 

"Itu vaksinasi belum 100 persen. Tapi kalau sudah 100 persen juga tidak aman," kata Miko kepada Liputan6.com di Jakarta.

Miko mengatakan, sebelum PTM dilakukan 100 persen seharusnya pemerintah memiliki data soal berapan jumlah siswa dan staf sekolah yang sudah divaksin, bagaimana kepatuhannya terhadap protokol kesehatan baik di sekolah maupun di luar lingkungan sekolah.

"Itu bener diuji coba kalau kepatuhannya masih kecil baik sekolah, kendaraan, jalan atau diluar sekolah sudah baik. Karena saya melihatnya sekolah-sekolah yang entah anak SD, SMP jajan pada buka masker. Kalau itu terjadi kalau ada omicron waw," ujar dia.

Untuk itu, Miko mengatakan pemerintah harus melakukan mitigasi penyebaran Covid-19 bukan kepada siswa, tetapi juga keluarga dan lingkungannya. Apalagi, varian Omicron menyebar begitu cepat.  

Hal yang sama juga dikatakan oleh Epidemiolog dari Griffith University Dicky Budiman. Dia mengaku khawatir timbul klaster Omicron di sekolah jika pemerintah nekat memberlakukan PTM 100 persen.

"Kluster Omicron bakal terjadi kalau mitigasinya lemah," kata Dicky kepada Liputan6.com di Jakarta, 3 Januari 2021. 

Dicky meminta pemerintah harus berhati-hati dengan adanya varian Omicron. Dia menyarankan agar pembelajaran tatap muka tetap dilakukan terbatas. Sehingga dapat diberlakukan protokol kesehatan di ruang kelas. Misalnya masing-masing anak memiliki jarak 4 meter persegi.

"Harus ada pembatasan kapasitas, maksimal 20 orang. Kalau kapasitas kelas itu tidak bisa 4 meter persegi perorang, sebaiknya ditambah ruang kelasnya, atau outdoor," kata Dicky. 

Dicky menilai, kebijakan untuk menggelar PTM 100 persen tidak dapat diterapkan di setiap sekolah karena memiliki kapasitas dan fasilitas yang berbeda-beda. 

"Ini tidak bisa digeneralisasi, ada sekolah yang mempunyai kapasitas ruangan dengan ventiliasi sirkuliasi yang baik," katanya. 

Dicky mengatakan jika vaksinasi dan kapasitas sekolah tak memenuhi syarat, maka pembelajaran tatap muka harus dilakukan terbatas. 

"Kalau belum siap meskipun sekolah tersebut berada di level 1, kapasitas 100 persen jangan dipaksanakan," tandas dia.

Selain pembatasan kapasitas, kata Dicky, siswa, guru dan staf sekolah wajib sudah divaksin 2 kali.

"Syarat vaksinasi lengkap sifatnya wajib," ujar dia.

Kekhawatiran PTM 100 persen ini juga dirasakan oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Untuk itu, KPAI meminta pemerintah untuk mempercepat pelaksanaan vaksinasi Covid-19 untuk anak usia 12-17 tahun dan usia 6-11 tahun.

"Ketika pemerintah memutuskan menggelar PTM 100 persen, maka pemerintah harus melakukan percepatan dan pemerataan vaksinasi anak usia 12-17 tahun maupun vaksinasi anak uisa 6-11 tahun," kata Komisioner KPAI Retno Listyarti di Jakarta.

Menurut dia, tingkat vaksinasi harus mencapai minimal 70 persen dari populasi di sekolah. Hal ini agar terbentuk herd immunity atau kekebalan kelompok di lingkungan sekolah.

"Kalau hanya guru yang divaksinasi, maka kekebalan komunitas belum terbentuk, karena jumlah guru hanya sekitar 10 persen dari jumlah siswa," ujarnya.

Selain itu, KPAI meminta pemerintah pusat memastikan penyediaan vaksin untuk anak merata di seluruh Indonesia. Survei singkat KPAI pada Agustus lalu menemukan bahwa vaksinasi anak didominasi oleh Pulau Jawa.

"Itupun hanya menyasar anak-anak di perkotaan," ucap Retno.

KPAI juga mendorong pemerintah daerah melakukan testing, tracing, serta treatment (3T) terkait Covid-19 secara berkala dan acak apabila PTM digelar secara serentak mulai tahun 2022. Terlebih, Retno menyebut saat ini muncul Covid-19 varian Omicron di Indonesia.

"Penguatan 3T menjadi sangat penting dalam upaya melindungi warga sekolah, mengingat Omicron juga sudah masuk ke Indonesia," tutur Retno.

KPAI menyebut baru 79,17 persen sekolah yang siap menggelar PTM terbatas. Hasil tersebut merupakan evaluasi KPAI sepanjang 2021. KPAI melakukan Pengawasan PTM terbatas pada 8 Provinsi, yaitu DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Kepulauan Riau, dan Kalimantan Barat.

"Sekolah yang sudah menyelenggaraan PTM terbatas dengan kesiapan pada kategori cukup, baik dan sangat baik mencapai 79,17 persen," beber Komisioner KPAI Bidang Pendidikan, Retno Listyarti melalui pernyataan tertulis yang diterima Health Liputan6.com, Senin (3/1/2022).

"Sedang sisanya, yaitu kategori kurang dan sangat kurang mencapai 20,83 persen. Artinya, dengan kondisi belum siap, ternyata sekolah tetap menggelar tatap muka. Meskipun ketidaksiapan itu di antaranya, belum dibuatnya SOP (Standar Operasional Prosedur) dalam berbagai layanan saat PTM terbatas yang penilaiannya mencapai 30 persen dari total nilai."

Persentase 79,17 persen diperoleh dari pengawasan kesiapan infrastruktur PTM di sekolah. Secara rinci, pencapaian kategori sangat baik (91-100) ada 11 sekolah, yaitu di jenjang pendidikan SMA ada 5 sekolah, jenjang SMK ada 1 dan jenjang SMP ada 5 sekolah.

Namun, tidak ada jenjang SD yang mencapai skor nilai 91-100 (sangat baik). Jika ditotal keseluruhan sekolah yang diawasi, maka yang memiiki skor kategori sangat baik hanya sekitar 15,28 persen. 

Kategori baik (81-90) dari hasil pengawasan infrastruktur PTM terbatas, KPAI menemukan, ada 10 sekolah di jenjang SMA, 10 sekolah di jenjang SMK, 7 sekolah dijenjang SMP; dan 5 sekolah di jenjang SD. Jika ditotal secara keseluruhan, maka kesiapan infrastruktur untuk kategori baik dari total sekolah yang diawasi adalah 44,44 persen.

"Sedangkan untuk kategori cukup (71-80), ada 5 sekolah untuk jenjang pendidikan SMA, tidak ada untuk jenjang SMK, 6 sekolah untuk SMP dan 3 sekolah untuk jenjang SD. Jika ditotal secara keseluruhan, maka kesiapan infrastruktur untuk kategori cukup dari total sekolah yang diawasi adalah 19,44 persen," Retno Listyarti memaparkan.

"Untuk kategori kurang (61-70), ada 5 sekolah pada jenjang SMA, tidak ada untuk jenjang SMK, 2 sekolah untuk jenjang SMP, dan 3 sekolah untuk jenjnag SD. Jika ditotal secara keseluruhan, kesiapan infrastruktur untuk kategori kurang dari total sekolah yang diawasi adalah 11,12 persen."

Retno melanjutkan, untuk kategori sangat kurang (51-60), ada 1 sekolah di jenjang SMA, 1 sekolah di jenjang SMK, 3 sekolah dijenjang SMP dan 2 sekolah di jenjang SD.

"Jika ditotal secara keseluruhan maka kesiapan infrastruktur untuk kategori sangat kurang dari total sekolah yang diawasi adalah 9,72 persen," katanya.

Infografis Sekolah Gelar PTM Terbatas 100 Persen, Kriteria dan Persyaratannya. (Liputan6.com/Abdillah)

Prokes Tidak Bisa Diterapkan Maksimal

Sementara menurut Dewan Pakar Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI), Hermawan Saputra dengan adanya penerapan PTM 100 persen maka protokol kesehatan tidak bisa dilaksanakan secara maksimal.

Hermawan mengingatkan bahwa protokol kesehatan yang paling mendasar mencakup memakai masker, menjaga jarak, dan mencuci tangan (3M). Dengan adanya protokol menjaga jarak, otomatis akan ada rekayasa lingkungan, pengaturan, volume kegiatan, dan hal lain yang menyangkut sirkulasi hingga pengelolaan sekolah. Ini yang membedakan jika PTM dilakukan dengan kapasitas penuh atau 100 persen.

“Kami tetap mengimbau agar penyelenggaraan PTM harus dengan ‘PTM’ juga, yaitu Prokes Tetap Maksimal,” kata Hermawan kepada Liputan6.com melalui sambungan telepon, Senin (3/1/2022).

Hermawan menambahkan, jika ingin mengendalikan COVID-19 maka perlu memprediksi varian dari penyebab COVID-19.

“Nah sekarang kita menghadapi Omicron yang di negara lain terbukti lebih dahsyat ketimbang Delta. Di Eropa dan Amerika sudah terjadi kasus yang luar biasa yang dikarenakan varian Omicron.”

Pemerintah Indonesia sendiri telah melaporkan adanya transmisi lokal varian Omicron. Maka dari itu, Hermawan berpendapat jika PTM 100 persen diterapkan maka terkesan meremehkan.

“PTM itu boleh, tapi tetap kewaspadaan tinggi dan prokes tetap maksimal," kata dia.

Jika PTM 100 persen diterapkan, maka potensi penularan Omicron di sekolah dapat terjadi, lanjut Hermawan.

“Ya jelas, itu sebabnya kita harus waspada. Sekarang Omicron kecenderungannya tiap hari kasus probable-nya tinggi terus dan bahkan sudah terjadi transmisi lokal," lanjutnya.

“Di sekolah kan bukan hanya tenaga pendidik tapi juga ada siswa, petugas parkir, kantin, sekuriti yang semuanya itu membutuhkan adaptasi baik dari kemampuan mereka untuk tetap taat protokol kesehatan, maupun pada cakupan vaksinasi.”

Hal-hal tersebut dirasa belum 100 persen sehingga kecepatan Omicron yang sudah ada di Indonesia harus mampu diantisipasi dengan protokol yang tetap maksimal.

“Kita berharap pemerintah tetap bijaksana, tetap aware dengan keadaan dan fakta tentang Omicron dan sekaligus kita semua juga bersabar agar tetap berperilaku bersih dan sehat serta menerapkan protokol kesehatan minimal 3M,” tutup Hermawan.

Saksikan video pilihan di bawah ini:


Bagaimana Rekomendasi IDAI?

SMP 182 Jakarta menggelar pembelajaran tatap muka (PTM) dengan kapasitas siswa 100 persen mulai hari ini, Senin (3/1/2022). (Liputan6.com/Muhammad Radityo Priyasmoro)

Sementara Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) mengeluarkan rekomendasi syarat pelaksanaan PTM 100 persen di tengah ancaman Omicron. 

Dalam rekomendasi IDAI, PTM 100 persen dapat digelar hanya menyasar kepada anak usia 12-18 tahun. Sementara itu, anak sekolah usia 6-11 tahun dilakukan secara hybrid (50 persen luring, 50 persen daring).

Untuk anak usia di bawah 6 tahun, belum dianjurkan PTM sampai dinyatakan tidak ada kasus baru COVID-19 atau tidak ada peningkatan kasus baru. Syarat PTM 100 persen untuk 12-18 tahun, sebagai berikut:

  • Tidak adanya peningkatan kasus COVID-19 di daerah
  • Tidak adanya transmisi lokal Omicron di daerah

IDAI juga menekankan, sekolah tetap harus patuh pada protokol kesehatan, terutama fokus pada penggunaan masker wajib untuk semua orang yang ada di lingkungan sekolah, ketersediaan fasilitas cuci tangan, menjaga jarak, dan tidak makan bersamaan.

Anak dengan komorbiditas dapat berkonsultasi terlebih dahulu dengan dokter spesialis anak sebelum PTM dilakukan. Komorbiditas anak meliputi penyakit seperti keganasan, diabetes melitus, penyakit ginjal kronik, penyakit autoimun, penyakit paru kronis, obesitas, hipertensi, dan lainnya.

Ketua Umum IDAI Piprim Basarah Yanuarso menyampaikan, rekomendasi terkait PTM ini mempertimbangkan beberapa hal, di antaranya, berdasarkan pengalaman yang terjadi sebelumnya, setiap habis libur, maka kasus COVID-19 akan meningkat.

"Jadi, tidak hanya pada dewasa, namun juga pada anak. Selain itu, sudah ditemukan varian Omicron di Indonesia, ditambah data di negara lain seperti Amerika Serikat, negara-negara Eropa dan Afrika terkait peningkatan kasus COVID-19 pada anak dalam beberapa minggu terakhir," ujarnya.

"Sebagian besar kasus anak yang sakit adalah anak yang belum mendapat imunisasi COVID-19," sambungnya.

Sekjen IDAI Hikari Ambara Sjakti menambahkan, rekomendasi IDAI juga mempertimbangkan pentingnya proses pendidikan anak usia sekolah dan sudah diaplikasikannya beberapa inovasi metode pembelajaran oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI.

“IDAI mendukung pelaksanaan pembelajaran tatap muka, tapi di waktu dan tempat yang tepat. Karena keselamatan dan kesehatan anak adalah yang utama,” tambahnya.

 

Infografis Rekomendasi IDAI & Ancaman Varian Omicron. (Liputan6.com/Abdillah)

Melihat Pelaksanaan PTM 100 Persen di Sekolah

Guru memeriksa suhu tubuh murid sebelum memasuki ruang kelas saat pembelajaran tatap muka (PTM) terbatas di SDN Pisangan Baru 05 Pagi, Jakarta, Senin (8/11/2021). Pembekalan pemahaman protokol kesehatan dilakukan seiring penambahan jumlah sekolah tatap muka terbatas. (merdeka com/Iqbal S. Nugroho)

Seluruh sekolah saat ini menggelar pembelajaran tatap muka dengan kapasitas 100 persen. Tim Liputan6.com melihat secara langsung pelaksanaan PTM 100 persen Sekolah Menengah Pertama (SMP) 182 Jakarta pada Senin (3/1/2022).

Disekolah tersebut terlihat scan bardcode aplikasi PeduliLindungi yang terpasang di area gerbang masuk sekolah.

Selain itu, tempat cuci tangan dan hand sanitizer juga disiapkan sebagai syarat wajib sebelum masuk ke dalam ruang kelas.

"Murid-murid juga masuknya berbaris berjarak satu per satu, masuk pukul 06.30 WIB," kata Kepala Tata Usaha SMP 182 Jakarta, Nur Syaidah saat berbincang dengan Liputan6.com di lokasi, Senin (3/1/2022).

Sesampainya di ruang kelas, pelajar dan guru tidak diperkenankan melepas masker. Pembelajaran pun berlangsung dengan duduk berjarak sesuai protokol kesehatan.

Kendati jika ditemukan murid yang kurang sehat, sekolah menyediakan ruang isolasi lengkap dengan ranjangnya.

Nur Syaidah menjelaskan, murid masuk di SMP 182 hari ini sudah 100 persen, artinya mulai dari kelas VII sampai kelas IX semua melakukan pembelajaran tatap muka.

"Total tiga angkatan SMP 182 ada 900 murid, per kelasnya ada 36 siswa, Alhamdulillah berjalan lancar," kata Nur Syaidah.

Pada jam istirahat, para murid tidak diperkenankan jajan di luar. Memang untuk sementara ini, kantin belum dioperasikan pihak sekolah untuk berjualan.

"Anak-anak diminta membawa bekal dari rumah untuk dimakan di jam istirahat," ungkap Nur Syaidah.

Nur Syaidah menjelaskan, jam belajar diterapkan pada PTM penuh kali ini masih dibatasi hingga pukul 11.00 WIB. Nantinya secara serentak para murid akan dipersilakan pulang ke rumah masing-masing.

"Biasanya full day itu sampai lewat jam 12, tapi sekarang masih sampai jam 11 dulu mengikuti aturannya. Tapi sepulangnya tidak ada lagi belajar daring, selesai semua hari ini sampai jam 11, paling dikasih tugas di rumah," kata Nur Syaidah menandasi.

Sementara pelaksanaan PTM di Sekolah Dasar Negeri (SDN) Pondok Bambu 02, Duren Sawit, Jakarta Timur, juga dengan penerapan protokol kesehatan ketat.

Wakil Kepala SDN Pondok Bambu 02, Ary Lestari mengatakan, siswa yang mengikuti PTM di sekolah wajib memakai masker, siswa juga melakukan cek suhu tubuh sebelum masuk ruang kelas dan mencuci tangan dengan sabun di wastafel yang tersedia.

"Cek suhu untuk yang darurat suhunya 37 ke atas itu menjadi perhatian, dan nanti kalau memang ada siswa bersuhu tinggi kami bisa amankan di ruang isolasi terlebih dahulu," kata Ary Lestari di Jakarta, Senin, 3 Januari 2021.

Ary mengatakan, pelaksanaan PTM ini dilakukan dari kelas 1 hingga 6 dan menerapkan jarak satu meter untuk tempat duduk siswa.

"Kami mempunyai ruang kelas yang bisa menampung jarak seperti itu. Kemudian siswa sudah masuk 100 persen dan rata-rata siswa per kelasnya di SDN Pondok Bambu 02 sekitar 30-32 siswa maksimalnya," ujar Ary seperti dikutip dari Antara.

Sementara, untuk kegiatan belajar dimulai dari pukul 07.00 WIB hingga 10.30 WIB. 

Ary mengatakan, capaian vaksinasi dosis dua untuk guru dan tenaga kependidikan di atas 80 persen sudah terpenuhi.

"Sesuai dengan instruksi dinas, kami telah melakukan sosialisasi tentunya terlebih dulu bersama wali murid dan para siswa. Hari ini adalah hari pertama PTM 100 persen di sekolah kami," tutur Ary.

Infografis Ragam Tanggapan Sekolah Gelar PTM Terbatas 100 Persen. (Liputan6.com/Abdillah)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya