Liputan6.com, Jakarta Keputusan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menaikkan besaran persentase upah minimum provinsi DKI Jakarta 2022 dari sekitar 1,09 persen atau sekitar Rp 38 ribu menjadi menjadi 5,1 persen, atau sebesar kurang lebih Rp 225 ribu menuai polemik berbagai kalangan, mulai dari pemerintah pusat, pengusaha hingga pengamat ekonomi.
Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) tetap bersikeras dan kembali mengimbau para Gubernur untuk mengacu pada PP Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan dalam menetapkan Upah Minimum Provinsi (UMP) maupun Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) di daerahnya.
Advertisement
"Tidak sesuai dengan formula PP Nomor 36 Tahun 2021, Menaker telah menyurati masing-masing Gubernur dimaksud agar menyesuaikan penetapan Upah Minimum tahun 2022 dengan ketentuan peraturan perundangan-undangan yang berlaku," papar Dirjen PHI dan Jamsos Kemenaker, Indah Anggoro Putri, melalui Siaran Pers Biro Humas Kemenaker, Sabtu, 1 Januari 2022.
Putri menjelaskan, berdasarkan hasil monitoring Kemenaker pada 31 Desember 2021, dari 34 provinsi yang telah menetapkan UMP tahun 2022, terdapat 29 provinsi yang menetapkan UMP sesuai formula PP Nomor 36 Tahun 2021. Selain itu, terdapat 27 provinsi yang memiliki UMK di 252 kabupaten/kota.
"Dari jumlah tersebut, sebanyak 236 UMK telah ditetapkan sesuai PP Nomor 36 Tahun 2021," katanya.
Putri menegaskan, PP Nomor 36 Tahun 2021 merupakan aturan turunan dari UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, yang mengamanatkan bahwa penetapan upah minimum merupakan bagian dari program strategis nasional.
Sikap berbeda disampaikan dari Menteri Perencanaan dan Pembangunan Nasional (PPN)/ Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Suharso Monoarfa, yang mendukung langkah yang akan menaikkan UMP DKI 2022 menjadi Rp 4.641.854,-. Suharso menilai, keputusan Anies itu bisa menggenjot pertumbuhan ekonomi.
Menurut Suharso, besaran kenaikan UMP DKI 2022 itu dapat mendorong konsumsi masyarakat hingga sebesar Rp 180 triliun per tahun. Hal itu pada akhirnya yang diuntungkan adalah pengusaha.
"Kami di Bappenas menghitung kalau naiknya saja rata-rata bisa 5 persen itu akan memompa disposal pengeluaran dari menambah konsumsi itu kira-kira sama dengan Rp180 triliun per tahun," jelas Suharso melalui keterangan pers di Jakarta, Rabu, 22 Desember 2021.
Itu artinya, sambung Suharso, akan memberikan bantalan pertumbuhan konsumsi setidaknya 5,2 persen. Menurutnya hal itu perlu karena sifatnya resiprokal alias ada efek membalik, sehingga pada akhirnya produk-produk bertambah dan menggerakkan permintaan.
"Jadi kalau 56 persen saja dari produk domestik bruto (PDB) kita itu adalah konsumsi kenaikan itu saja 2,3 persen sudah ada di tangan,” ungkap Suharso
Suharso menilai kenaikan UMP 2022 sesungguhnya tidak bisa hanya 1,09 persen seperti menggunakan formula di Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan. Dia mengatakan, hal itu juga dirasakan oleh salah satu pengusaha di Jakarta yang pernah berdiskusi dengannya.
"Saya sangat respek dengan beliau (pengusaha). Beliau mengatakan kepada saya enggak mungkin Pak Harso kenaikan UMR itu, UMP itu cuma 1 persen, enggak mungkin, rumusnya itu memang seperti itu berdasarkan PP dan sebagainya. Tapi itu memang enggak mungkin,” katanya.
Dukungan terhadap Gubernur Anies juga datang dari Peneliti The Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Rizal Taufiqurrahman, yang menilai kenaikan UMP DKI Jakarta tersebut dapat berdampak positif karena bisa meningkatkan daya beli masyarakat. Apalagi kontribusi perekonomian DKI Jakarta kepada nasional mencapai 17 persen.
"Setidaknya ini akan meningkatkan daya beli masyarakat karena kenaikannya sekitar Rp 200 ribuan dan DKI punya kontribusi 17 persen terhadap ekonomi nasional," kata Rizal dalam diskusi bertema “Bagaimana Nasib Ekonomi Indonesia di Tahun 2022?” di Jakarta, Jumat (24/12/21).
Rizal menjelaskan bahwa kenaikan UMP tersebut berpeluang untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi. Khususnya dari sektor konsumsi masyarakat, mengingat 65 persen perekonomian Indonesia ditopang oleh konsumsi rumah tangga.
"Ini sudah berpeluang besar untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi, termasuk sinyal perbaikan ekonomi di DKI Jakarta maupun secara nasional. Setidaknya bisa memberikan perbaikan ekonomi yang lebih baik" kata dia.
Meski begitu Rizal tidak menutup mata, kenaikan UMP yang diumumkan menjelang akhir tahun ini cukup membuat para pengusaha keberatan. Dia menilai keberatan tersebut hanya sebagai respons dari pengusaha yang sudah menyusun penganggaran sebelum akhir tahun. Terlebih kata dia, tidak semua sektor telah mengalami pemulihan bisnis yang sama, sehingga menimbulkan gejolak dari kalangan pengusaha.
"Ini akhir tahun yang biasanya pengusaha ini sudah mempersiapkan dan melihat kinerja selama ini. Ada juga pengusaha yang belum fit atau sehat dari sisi bisnisnya," pungkasnya.
Dewan Pimpinan Provinsi Asosiasi Pengusaha Indonesia (DPP Apindo) DKI Jakarta sendiri telah menyampaikan keberatan mereka atas terbitnya Keputusan Gubernur (Kepgub) DKI Jakarta Nomor 1517 Tahun 2021 tentang UMP DKI Jakarta 2022.
Keluhan Pengusaha
Wakil Ketua Dewan Pimpinan Provinsi (DPP) Apindo DKI Jakarta, Nurjaman menegaskan, pihaknya memiliki beberapa alasan terkait rasa keberatan pada regulasi tersebut. Pertama adalah bahwa kebijakan tersebut dinilai tidak sesuai dengan regulasi yang sebenarnya.
"Tidak sesuai dengan aturan yang semestinya, karena dalam SK Gubernur tersebut tidak mencantumkan konsiderans mengenai PP Nomor 36 tahun 2021,” kata Nurjaman melalui konferensi pers virtual, Kamis (30/12/21).
Nurjaman menegaskan bahwa akibat dari hal tersebut, pihak dunia usaha pun mempertanyakan apa yang menjadi pertimbangan hukum atas upah minimum DKI Jakarta di SK Gub Nomor 1517/2021 itu.
Selanjutnya, sambung Nurjaman, adalah bahwa SK Gubernur Nomor 1517/2021 itu jelas tidak sejalan dengan rekomendasi Dewan Pengupahan DKI Jakarta, berdasarkan hasil sidang tanggal 15 November 2021 yang bertempat di Kantor Balai Kota DKI Jakarta.
Pada sidang yang dihadiri kalangan pengusaha, wakil dari beberapa Serikat Pekerja dan Serikat Buruh serta unsur pemerintah, memastikan bahwa pemerintah dan dunia usaha sudah sepakat untuk mematuhi dan mempergunakan aturan formula upah minimum DKI Jakarta untuk Tahun 2022, dengan memakai formula sesuai dengan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 36 tahun 2021.
"Artinya kalau ditarik kesimpulan dari dua hal tadi dengan SK Gubernur yang sekarang, itu sangat jauh berbeda. Yang pertama jelas konsiderans-nya mengacu pada PP Nomor 36/2021 karena ada aturan dan perintah dari PP tersebut. Tapi sekarang, kalau kami lihat hal itu tidak melihat pada SK Gubernur tersebut. Alasannya kami tidak tahu, mungkin bisa ditanya kepada pemerintah DKI Jakarta," pungkas Nurjaman.
Apresiasi muncul dari ekonom Universitas Indonesia (UI) Ninasapti Triaswati atas kebijakan Gubernur DKI Jakarta itu sebagai upaya keberpihakan terhadap para pekerja. Nina menyebut langkah Anies merupakan hal yang wajar tatkala menggunakan asumsi tertinggi dari kementerian atau lembaga pemerintah pusat sebagai indikator menetapkan besaran UMP.
"Pemda DKI tentu berusaha yang terbaik untuk rakyatnya dengan menggunakan asumsi tertinggi," ujar Nina saat dihubungi Jumat (31/12/21).
Aturan yang Belum Jelas
Nina melihat kontroversi ini terjadi lantaran terdapat area abu-abu dalam PP nomor 36 tahun 2021 terkait persoalan waktu yang belum secara jelas apabila melewati tanggal yang telah ditetapkan.
Nina menyebut perlu ada perbaikan dalam mencari jalan keluar antara pemerintah daerah dan swasta dalam menentukan UMP.
Nina mengatakan pemerintah pusat perlu memberikan ruang revisi dalam penentuan upah yang dinamis dan mengikuti situasi yang tengah terjadi. Menurut Nina, ketentuan upah seharusnya mengikuti pertumbuhan ekonomi dan kondisi yang saat ini terjadi, baik saat negatif maupun positif.
"Dalam PP nomor 36 tahun 2021 tidak ada tertulis apabila lewat tenggat waktu apakah dibatalkan, makanya bisa dibawa ke pengadilan kalau keberatan," ungkap Nina.
Nina menilai para pengusaha saat ini amat bergantung terhadap penanganan pandemi dari sektor kesehatan. Kenaikan kasus yang berimplikasi pada pembatasan aktivitas akan membuat kondisi perusahaan kembali tertekan yang berdampak pada kesejahteraan pekerja.
"Ini jadi momentum perbaikan dalam peraturan, harus ada ruang untuk revisi sesuai dengan kondisi aktual. Kalau kasus (Covid-19) naik, toko atau pabrik pada tutup, perlu direvisi, kalau tidak pengusaha akan mengambil opsi merumahkan para pekerja karena tak sanggup membayar upah," pungkas Nina.
Advertisement