Dissenting Ipinion, Satu Hakim Nyatakan Kerugian Negara Kasus Asabri Tak Tepat

Dissenting opinion atau perbedaan pendapat disampaikan saat majelis hakim menggelar sidang vonis kasus dugaan korupsi pada PT Asabri di Pengadilan Tipikor PN Jakpus.

oleh Fachrur Rozie diperbarui 05 Jan 2022, 03:32 WIB
PT Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Persero) atau disingkat PT ASABRI (Persero). (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Liputan6.com, Jakarta - Hakim Anggota Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Mulyono Dwi Purwanto menilai perhitungan kerugian keuangan negara sebesar Rp 22,788 triliun oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam kasus dugaan korupsi pengelolaan keuangan dan dana investasi di PT Asabri, tidak tepat

Hal tersebut disampaikan Mulyono dalam sidang pembacaan vonis dalam perkara kasus korupsi pada PT Asabri. Mulyono menyatakan dissenting opinion atau perbedaan pendapat dengan hakim Pengadilan Tipikor lainnya.

"Perhitungan kerugian keuangan negara oleh BPK tidak punya dasar yang jelas dan tidak memenuhi kerugian negara yang nyata dan pasti, sehingga (kerugian) Rp 22 triliun tidak berdasar dan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan," ujar Hakim Mulyono saat membacakan dissenting opinion, Selasa (4/1/2022).

Menurut Mulyono, BPK dan ahli tidak konsisten dan tidak tepat ketika melakukan perhitungan kerugian negara dalam kasus Asabri ini.

Berdasarkan perhitungan BPK, kerugian keuangan negara Rp 22,788 triliun berasal dari jumlah saldo yang dibeli atau diinvestasikan pada efek (saham) setelah dikurangi penjualan atau redemption saldo 31 Desember 2019, sebelum laporan audit selesai 31 Maret 2021.

Mulyono meyakini metode yang dipakai adalah total loss yaitu diakui penerimaan dana sebelum audit selesai. Menurut dia, dana Rp 22,778 triliun adalah saldo dari pembelian rekening efek yang melanggar peraturan yang berlaku dan yang belum dipulihkan kembali per 31 Desember 2019, namun masih memperhitungkan penerimaan dana meski pembelian tidak sesuai dengan peraturan yang belaku.

"Reksadana, surat, dan saham-saham masih ada dan menjadi milik PT Asabri dan memiliki nilai atau harga tapi tidak diperhitungkan oleh auditor atau ahli yang dihadirkan di persidangan sehingga tidak konsisten dengan penerimaan atas likuidasi saham setelah 31 Desember 2019, bahkan sampai audit pemeriksaan pada 31 Maret 2021 meski tidak diperhitungkan penjualan sesudah masa akhir pemeriksaan tersebut," jelas Hakim Mulyono.

Mulyono menilai, dengan metode penghitungan ahli itu maka saham atau efek tersebut masih memiliki nilai bila dijual atau dilikuidasi reksadananya. Menurutnya, walau pembelian menyimpang tetapi masih menghasilkan dana kas bagi PT Asabri.

Dana kas tersebut memang tidak pasti karena harganya fluktuasi. Karenanya, Hakim Mulyono menilai lebih fair untuk menghitung dana kas dalam kerugian negara tersebut.

"Auditor tidak memperhitungkan itu tapi hanya efek surat berharga yang tidak terjual kembali sebelum 31 Desember 2019 tapi memperhitungkan penerimaan setelah 31 Desember 2018. Hal itu menyebabkan perhitungan kerugian negara menjadi tidak tepat, tidak nyata atau tidak pasti nilainya karena tidak dihitung secara riil pembelian yang menyimpang namun mengesahkan penerimaan dananya dari penjualan atau redempt atau likuidasi efek tersebut sampai waktu tertentu," kata Mulyono.

Mulyono mengatakan metode audit yang digunakan untuk menghitung kerugian negara adalah total loss dengan modifikasi yaitu menghitung selisih uang yang dikeluarkan PT Asabri dengan pembelian instrumen investasi berdasarkan aturan hukum yang berlaku dikurangi dengan dana yang kembali dari investasi yang kembali per 31 Desember 2019.

"Sejatinya, menurut standar akuntansi di tanggal tertentu, posisi laba atau rugi bersifat unrealized karena belum riil terjual berdasarkan harga perolehan. Sehingga masih potensi," kata Hakim Mulyono.


4 Terdakwa Divonis 20 Tahun Bui dan 15 Tahun Bui

Sidang perdana kasus dugaan korupsi pada PT Asabri. (Istimewa)

Sebelumnya, Direktur Utama (Dirut) PT Asabri periode 2012-2016 Mayjen Purn Adam Rachmat Damiri dan Dirut PT Asabri periode 2016-2020 Letjen Purn Sonny Widjaja divonis 20 tahun penjara dalam perkara ini.

Hakim menyatakan mereka terbukti secara bersama-sama melakukan korupsi pengelolaan keuangan dan dana investasi di PT Asabri yang merugikan keuangan negara senilai Rp 22,788 triliun.

Vonis keduanya lebih berat daripada tuntutan jaksa penuntut umum Kejaksaan Agung. Jaksa menuntut hukuman 10 tahun penjara denda Rp 750 juta subsider 6 bulan kurungan terhadap Adam Damiri dan Sonny.

Hakim juga mewajibkan Adam Damiri membayar uang pengganti sebesar Rp 17,972 miliar subsider 5 tahun penjara. Sementara terhadap Sonny, hakim membebankan uang pengganti sebesar Rp 64,5 miliar subsider 5 tahun.

Sementara Kepala Divisi Keuangan dan Investasi PT Asabri periode 2012-2015 Bachtiar Effendi dan Direktur Investasi dan Keuangan PT Asabri periode 2013-2019 Hari Setianto divonis 15 tahun penjara denda Rp 750 juta subsider 6 bulan kurungan.

Vonis terhadap Bachtiar dan Hari lebih tinggi dari tuntutan jaksa pada Kejaksaan Agung (Kejagung). Diketahui jaksa menuntut majelis hakim menjatuhkan vonis terhadap keduanya selama 12 tahun penjara dan 14 tahun penjara.

Hakim juga dalam amarnya mewajibkan Bachtiar membayar uang pengganti sebesar 453.783.950 dengan memperhitungkan barang bukti yang telah disita. Uang pengganti ini sesuai dengan tuntutan jaksa.

Sementara uang pengganti yang dijatuhkan kepada Hari yakni sebesar Rp 378,8 juta dengan memperhitungkan sejumlah barang bukti yang telah disita. Vonis uang pengganti ini lebih rendah dari tuntutan jaksa yang menuntut uang pengganti sebesar Rp 873.835.800 juta.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya