Kerugian Negara dalam Kasus Korupsi Asabri Disebut Harus Faktual

Pakar hukum pidana Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta Mudzakkir menyebut kerugian keuangan negara dalam perkara korupsi haruslah faktual.

oleh Fachrur Rozie diperbarui 06 Jan 2022, 03:15 WIB
PT Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Persero) atau disingkat PT ASABRI (Persero). (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Liputan6.com, Jakarta Pakar hukum pidana Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta Mudzakkir menyebut kerugian keuangan negara dalam perkara korupsi haruslah faktual.

Hal ini menanggapi kerugian keuangan negara dalam perkara dugaan korupsi pengelolaan keuangan dan dana investasi di PT Asabri.

Diketahui, dalam vonis perkara Asabri terjadi dissenting opinion atau perbedaan pendapat hakim terkait perhitungan kerugian keuagan negara.

Hakim Pengadilan Tipikor Mulyono Dwi Purwanto menyebut perhitungan kerugian keuangan negara dalam perkara korupsi Asabri tak tepat.

"Kalau dessenting opinion hakim tersebut menilai dan menyimpulkan bahwa perhitungan BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) tersebut tidak mendasarkan kepada kerugianya faktual atau riil (nyata), dan bisa buktikan kekeliruan metode perhitungan kerugian keuangan negara dalam perkara tipikor, berarti dessenting opinion tersebut dinilai sebagai sikap yang tepat dan sesuai dengan putusan MK," ujar Mudzakkir dalam keterangannya, Rabu (5/1/2022).

Dia memuji sikap Mulyono yang berani berbeda pendapat dengan hakim lainnya. Menurut Mudzakkir, hakim harus berani mengatakan yang benar adalah benar dan yang salah adalah salah termasuk dalam perkara korupsi. Apalagi, independensi hakim dijamin oleh konstitusi.

Yang terpenting, menurut Mudzakkir, hakim harus bisa membuktikan adanya kekeliruan dalam metode perhitungan kerugian keuangan negara dalam perkara tersebut.

"Kalau menilai ada kekeliruan dalam metode perhitungan dan menyuarakan yang benar adalah benar, yang salah adalah salah meskipun perkara korupsi, sikap dan pandangan independensi hakim atau kemerdekaan dalam melaksanakan kekuasaan kehakiman, dalam menjalankan amanat Pasal 24 UUD RI 1945," kata Mudzakir.

Apalagi, kata Mudzakkir, putusan Mahkamah Konstitusi menegaskan kerugian negara dalam perkara korupsi merupakan kerugian negara yang faktual atau nyata, bukan kerugian dalam bentuk potensi.

 


Pengadilan Tipikor

Sebelumnya, Hakim Anggota Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Pusat) Mulyono Dwi Purwanto menilai perhitungan kerugian keuangan negara sebesar Rp 22,788 triliun oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam kasus dugaan korupsi pengelolaan keuangan dan dana investasi di PT Asabri tidak tepat

Hal tersebut disampaikan Mulyono dalam sidang pembacaan vonis dalam perkara ini. Mulyono menyatakan dissenting opinion atau perbedaan pendapat dengan hakim Pengadilan Tipikor lainnya.

"Perhitungan kerugian keuangan negara oleh BPK tidak punya dasar yang jelas dan tidak memenuhi kerugian negara yang nyata dan pasti sehingga (kerugian) Rp 22 triliun tidak berdasar dan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan," ujar Hakim Mulyono saat membacakan dissenting opinion, Selasa (4/1/2022).

Menurut Mulyono, BPK dan ahli tidak konsisten dan tidak tepat ketika melakukan perhitungan kerugian negara dalam kasus Asabri ini. Berdasarkan perhitungan BPK kerugian keuangan negara Rp 22,788 triliun berasal dari jumlah saldo yang dibeli atau diinvestasikan pada efek (saham) setelah dikurangi penjualan atau redemption saldo 31 Desember 2019, sebelum laporan audit selesai 31 Maret 2021.

Mulyono meyakini metode yang dipakai adalah total loss yaitu diakui penerimaan dana sebelum audit selesai. Menurut dia, dana Rp 22,778 triliun adalah saldo dari pembelian rekening efek yang melanggar peraturan yang berlaku dan yang belum dipulihkan kembali per 31 Desember 2019, namun masih memperhitungkan penerimaan dana meski pembelian tidak sesuai dengan peraturan yang belaku.

"Reksadana, surat, dan saham-saham masih ada dan menjadi milik PT Asabri dan memiliki nilai atau harga tapi tidak diperhitungkan oleh auditor atau ahli yang dihadirkan di persidangan sehingga tidak konsisten dengan penerimaan atas likuidasi saham setelah 31 Desember 2019, bahkan sampai audit pemeriksaan pada 31 Maret 2021 meski tidak diperhitungkan penjualan sesudah masa akhir pemeriksaan tersebut," jelas Hakim Mulyono.

Mulyono menilai, dengan metode penghitungan ahli itu maka saham atau efek tersebut masih memiliki nilai bila dijual atau dilikuidasi reksadananya. Menurutnya, walau pembelian menyimpang tetapi masih menghasilkan dana kas bagi PT Asabri.

Dana kas tersebut memang tidak pasti karena harganya fluktuasi. Karenanya, Hakim Mulyono menilai lebih fair untuk menghitung dana kas dalam kerugian negara tersebut.

"Auditor tidak memperhitungkan itu tapi hanya efek surat berharga yang tidak terjual kembali sebelum 31 Desember 2019 tapi memperhitungkan penerimaan setelah 31 Desember 2018. Hal itu menyebabkan perhitungan kerugian negara menjadi tidak tepat, tidak nyata atau tidak pasti nilainya karena tidak dihitung secara riil pembelian yang menyimpang namun mengesahkan penerimaan dananya dari penjualan atau redempt atau likuidasi efek tersebut sampai waktu tertentu," kata Mulyono.

Mulyono mengatakan metode audit yang digunakan untuk menghitung kerugian negara adalah total loss dengan modifikasi yaitu menghitung selisih uang yang dikeluarkan PT Asabri dengan pembelian instrumen investasi berdasarkan aturan hukum yang berlaku dikurangi dengan dana yang kembali dari investasi yang kembali per 31 Desember 2019.

"Sejatinya, menurut standar akuntansi di tanggal tertentu, posisi laba atau rugi bersifat unrealized karena belum riil terjual berdasarkan harga perolehan. Sehingga masih potensi," kata Hakim Mulyono.

Tag Terkait

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya