Liputan6.com, Jakarta - Sejumlah sekolah telah menggelar pembelajaran tatap muka (PTM) 100 persen. Hal ini menyusul diterbitkannya SKB 4 Menteri pada 21 Desember 2021 yang mewajibkan pembelajaran di kelas.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Retno Listyarti menyebut pelaksanaan PTM 100 persen membuat para siswa sulit menjaga jarak.
Advertisement
"Saat berkeliling dari satu kelas ke kelas lainnya, terlihat para peserta didik sulit jaga jarak. Ukuran ruangan kelas yang kecil dengan peserta didik antara 32-40 orang membuat jaga jarak yang ideal antara satu siswa dengan siswa lainnya di masa pandemi menjadi sulit dilakukan," katanya dalam keterangan tulis, Kamis (6/1/2022).
Padahal mereka cukup lama berada di sekolah ketimbang pada aturan sebelumnya. Itu berarti, puluhan anak lebih lama berada di dalam ruangan bersama gurunya dalam jumlah cukup banyak.
Kesulitan untuk menjaga jarak juga ditemui pada SDN 5 Bukit Duri, Tebet, Jakarta Selatan. Pantun Liputan6.com di lokasi para siswa terpaksa menempati ruang kelas yang penuh. Buntutnya bangku yang disusun tak memenuhi standar jaga jarak paling tidak satu meter.
Di dalam kelas, mereka duduk di bangku yang jarak antarbangku kurang dari satu meter. Kendati begitu pihak sekolah telah menyiapkan PTM semaksimal mungkin. Misalnya dengan menyediakan tempat mencuci tangan di setiap depan ruang kelas dan sekitar gerbang sekolah.
Ruang kelas juga sengaja dibuka selama proses pembelajaran berlangsung guna melancarkan sirkulasi udara di dalamnya.
Retno mengaku telah melakukan pengawasan PTM 100 persen di tiga SD dan satu SMP di DKI Jakarta. Kendati begitu, dia melihat secara umum empat sekolah yang diawasi memiliki kesiapan yang cukup tinggi, termasuk capaian vaksinasi guru dan peserta didik.
Untuk DKI Jakarta, vaksinasi anak usia 12-17 tahun yang tinggi, yaitu lebih dari 95 persen dan sudah dua dosis. Sedangkan vaksinasi anak usia 6-11 tahun capaian juga cukup tinggi, hanya saja baru dosis pertama.
"Kesiapan PTM yang tinggi juga dilakukan mulai dari penyiapan infrastruktur Adaptasi Kebiasaan Baru (AKB), SOP, kerjasama dengan Puskesmas terdekat, bahkan ada pendamping dari para pengawas sekolah dan Kasatlak di masing-masing kecamatan dimana sekolah berada," katanya.
Sosialisasi kepada pendidik maupun kepada orangtua peserta didik juga dilakukan melalui zoom meeting sebelum PTM 100 persen, dan saat pengambilan hasil belajar semester ganjil di sekolah. Para orangtua peserta didik juga menyambut baik PTM, meskipun agak kaget ketika PTM nya 100 persen dan lima hari dalam seminggu.
Minta Pemerintah Evaluasi PTM 100 Persen
Retno melihat SOP kedatangan siswa juga disiapkan dan dilaksanakan dengan baik, mulai dari cek barcode PeduliLindungi, ukur suhu badan, cuci tangan, memakai masker dan pengaturan menuju kelas. Antrean cuci tangan juga diatur agar tidak terjadi penumpukan. Namun, begitu memasuki kelas, maka ketentuan untuk jaga jarak 1 meter sulit diterapkan.
Tak lupa, SOP kepulangan siswa juga disiapkan dengan baik, agar saat kepulangan tidak terjadi kerumunan, sehingga dibuat tiap kelas pulangnya di jeda waktunya sehingga tidak berbarengan, hal ini untuk menghindari penumpukan. Namun, dalam praktiknya, dari hasil pengawasan masih ada penumpukan, karena para orang tua siswa terlambat menjemput anak-anaknya. Akibatnya anak-anak yang menunggu dekat pintu gerbang menjadi menumpuk.
“Sekolah sudah berusaha maksimal, namun para orangtua yang terlambat menjemput menjadi kendala dalam menghindari penumpukan”, ujar Retno.
Karena sejumlah hal itu, Retno mendesak pemerintah untuk kembali mengevaluasi penerapan PTM 100 persen. Hal itu karena saat ini dunia masih dihantui bayang-bayang amukan varian Covid-19 jenis Omicron.
"Hal ini dengan mempertimbangkan meningkatnya kasus omicron di Indonesia dan masyarakat baru usai liburan natal dan tahun baru, setidaknya tunggulah minimal sampai 14 hari usai liburan akhir tahun," ujarnya.
Advertisement