Liputan6.com, Jakarta Guru Besar Hukum Pidana Universitas Airlangga Nur Basuki Minarno menyoroti adanya dissenting opinion (DO) atau perbedaan pendapat dari Majelis Hakim Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat dalam kasus dugaan korupsi di PT Asabri.
Menurut Nur, perbedaan pendapat dari Anggota Hakim Mulyono Dwi Purwanto tepat dari segi undang-undang. Pasalnya, kerugian keuangan negara dalam kasus korupsi termasuk kasus Asabri harus kerugian nyata dan pasti, tidak boleh potensial kerugian karena akan menjadi beban bagi terpidana.
Menurut Nur, dissenting opinion Hakim Mulyono ini penting karena akan menjadi catatan bagi pengadilan di atasnya, yakni pengadilan banding dan pengadilan kasasi.
"Kalau argumentasinya (dissenting opinion Hakim Mulyono) seperti itu (perhitungan kerugian keuangan negara harus nyata dan pasti), dari sisi aturannya itu benar. Dissenting opinion ini penting untuk menjadi catatan bagi pengadilan di atasnya," ujar Nur dalam keterangannya, Kamis (6/1/2022).
Baca Juga
Advertisement
Nur menjelaskan, frasa ‘dapat’ dalam kalimat 'dapat merugikan keuangan negara’ dalam Pasal 2 dan 3 UU Tipikor telah dinyatakan tidak berlaku oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Sehingga kerugian negara dalam kasus korupsi haruslah kerugian keuangan negara yang riil, nyata, dan pasti.
“Jadi, kerugian negara itu harus riil terjadi, harus nyata dan pasti, tidak boleh hanya potensial kerugian, itu sebetulnya sama maknanya dalam Pasal 1 angka 22 dari UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara yang menyebutkan kerugian negara atau daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai," kata Nur.
Menurut Nur, Hakim Mulyono memberikan dissenting opinion karena menilai perhitungan kerugian keuangan negara dalam kasus Asabri oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tidak konsisten. Apalagi, menurut dia, BPK mendasarkan perhitungan pada pembelian dana investasi oleh Asabri yang tidak sesuai prosedur dan di lain pihak.
Selain ini, menurutnya, BPK juga tetap menggunakan pengembalian efek diterima dari reksadana yang dibeli secara tidak sah dalam perhitungan kerugian keuangan negara.
"Artinya di sini, BPK itu menggunakan dua parameter yang berbeda. Jadi, BPK mengatakan pembelian dana investasi tidak sesuai dengan prosedur, akan tetapi di dalam perhitungannya itu menggunakan pengembalian efek yang diterima dari reksadana yang dibeli secara tidak sah. Sehingga Anggota Majelis Hakim Mulyono menilai itu belum menunjukkan kerugian negara yang secara nyata ada, tetapi itu hanya menunjukkan potensial loss saja," kata Nur.
Nur sendiri enggan masuk terlalu jauh ke dalam proses dan mekanisme perhitungan kerugian negara dalam kasus Asabri. Pasalnya, dirinya bukan akuntan dan tidak paham bagaimana melakukan perhitungan kerugian keuangan negara dalam kasus Asabri.
Namun, Nur hanya memastikan bahwa kerugian negara dalam kasus korupsi termasuk kasus Asabri haruslah kerugian negara yang nyata dan pasti sebagaimana disoroti dan ditekankan oleh Hakim Mulyono.
"Saya tidak mengerti bagaimana cara menghitung kerugian keuangan negara, karena saya bukan akuntan. Tetapi saya menggarisbawahi sebagaimana pendapat Hakim Mulyono itu, karena di dalam pembuktian Pasal 2 dan 3 UU Tipikor itu harus ada kerugian negara secara nyata dan pasti, akan tetapi perhitungan yang dilakukan BPK itu, itu menggunakan total loss. Itu yang disoroti Hakim Mulyono," kata dia.
Nur mengatakan kerugian keuangan negara dalam kasus korupsi harus nyata demi memberikan kepastian hukum dan keadilan kepada terpidana. Pasalnya, terpidana yang nantinya menanggung beban kerugian keuangan negara tersebut untuk dikembalikan dalam bentuk ganti rugi.
"Kerugian keuangan negara tidak boleh potensial loss, karena itu nantinya akan menjadi beban bagi terpidana untuk mengembalikan ganti kerugian kepada negara. Jadi, harus nyata dan pasti, jangan sampai kerugian negara yang nyata hanya Rp 5 miliar, lalu jadi Rp 5 triliun," kata Nur.
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Bagian Tak Terpisahkan dari Putusan
Terkait dissenting opinion Hakim Mulyono, menurut Nur nantinya akan dilampirkan dan menjadi bagian tak terpisahkan daripada putusan. Menurut dia, dissenting opinion tersebut menjadi catatan untuk pengadilan tingkat banding maupun pengadilan kasasi.
"Dissenting opinion itu dilampirkan dalam putusan karena merupakan bagian yang tidak terpisahkan. Pendapat hakim lainnya itu yang mengikat, tetapi paling tidak ada catatan bagi pengadilan yang ada di atasnya, pengadilan banding, kemudian pengadilan kasasi. Soal benar tidaknya pendapat Hakim Mulyono, saya tidak boleh memberikan komentar karena ini juga belum inkrah, tetapi kalau argumentasinya seperi itu, dari sisi aturannya itu benar," kata Nur.
Sebelumnya, Hakim Anggota Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Pusat) Mulyono Dwi Purwanto menilai perhitungan kerugian keuangan negara sebesar Rp 22,788 triliun oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam kasus dugaan korupsi pengelolaan keuangan dan dana investasi di PT Asabri tidak tepat
Hal tersebut disampaikan Mulyono dalam sidang pembacaan vonis dalam perkara ini. Mulyono menyatakan dissenting opinion atau perbedaan pendapat dengan hakim Pengadilan Tipikor lainnya.
"Perhitungan kerugian keuangan negara oleh BPK tidak punya dasar yang jelas dan tidak memenuhi kerugian negara yang nyata dan pasti sehingga (kerugian) Rp 22 triliun tidak berdasar dan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan," ujar Hakim Mulyono saat membacakan dissenting opinion, Selasa (4/1/2022).
Advertisement