HEADLINE: Wali Kota Bekasi Rahmat Effendi Ditangkap, OTT KPK Tak Bikin Koruptor Kapok?

Kali ini lembaga anti rasuah menangkap Wali Kota Bekasi Rahmat Effendi pada Rabu 5 Januari 2021.

oleh Delvira HutabaratFachrur RozieYopi Makdori diperbarui 07 Jan 2022, 10:40 WIB
Tersangka Wali Kota Bekasi Effendi usai menjalani pemeriksaan di Gedung KPK, Jakarta, Kamis (6/1/2022). Sebanyak 9 tersangka dihadirkan termasuk Wali Kota Bekasi, Rahmat Effendi usai Operasi Tangkap Tangan (OTT). (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Liputan6.com, Jakarta Bekasi kembali lagi didatangi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kali ini lembaga anti rasuah menangkap Wali Kota Bekasi Rahmat Effendi pada Rabu 5 Januari 2021. Sebelumya, pada 2018 KPK menangkap Bupati Bekasi Nenang Hasanah terkait pengurusan perizinan proyek pembangunan Central Business District (CBD) Meikarta, di Cikarang. Jauh sebelumnya, Wali Kota Mochtar Mohammad juga tersandung korupsi pada 2012.

Selang satu hari dari penangkapan, Rehmat Effendi yang merupakan politikus Golkar itu ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan suap pengadaan barang dan jasa serta jual beli jabatan di Pemerintahan Kota (Pemkot) Bekasi, Jawa Barat.

"KPK meningkatkan status penanganan perkara ke penyidikan dengan menetapkan RE, Wali Kota Bekasi sebagai tersangka," ujar Ketua KPK Firli Bahuri dalam jumpa pers di Gedung KPK, Kuningan, Jakarta Selatan, Kamis (6/1/2022).

Selain Rahmat Effendi, KPK juga menjerat tersangka lainnya dalam OTT kali ini. Mereka adalah Camat Rawa Lumbu Makhfud Saifudin (MA), Direktur PT MAM Energindo Ali Amril (AA), Lai Bui Min alias Anen (LBM), Direktur PT Kota Bintang Rayatri (KBR) Suryadi (SY). Mereka dijerat sebagai pihak pemberi.

Kemudian Sekretaris Dinas Penanaman Modal dan PTSP M. Bunyamin (MB), Lurah Kati Sari Mulyadi (MY), Camat Jatisampurna Wahyudin (WY), dan Kepala Dinas Perumahan, Kawasan Permukiman dan Pertahanan Kota Bekasi Jumhana Lutfi (JL). Mereka dijerat sebagai pihak penerima bersama Rahmat Effendi.

Tersangka pemberi dijerat dengan Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf b atau Pasal 13 UU Tipikor Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.

Tersangka penerima disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 dan pasal 12 huruf f serta Pasal 12B UU Tipikor Jo Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP.

Tim penindakan KPK pun menyita uang sekitar Rp 5 miliar. "Seluruh bukti uang yang diamankan dalam kegiatan tangkap ini sekitar Rp 3 miliar (tunai) dan buku rekening bank dengan jumlah uang sekitar Rp 2 miliar," ujar Firli.

Rahmat Effendi ditahan usai ditetapkan sebagai tersangka. KPK juga menahan delapan tersangka lainnya dalam kasus ini.

Firli menyayangkan pejabat Kota Bekasi terlibat kasus korupsi lagi. Menurut dia, gejala seperti ini maka pemberantasan korupsi tak cukup hanya dengan tiga cara yang selama ini digalakkan.

 

"Tak cukup dengan penindakan, tak cukup pencegahan, tak cukup pendidikan. Tapi tiga strategi itu harus kita terapkan. Karenanya, pada hari anti korupsi sedunia kami sampaikan dengan membawa formula baru yaitu orkestrasi pemberantasan korupsi. Kita akan kolaborasikan tiga hal tadi," jelas Firli.

"Boleh saja kita hari ini melakukan penangkapan, tapi esok kita turunkan deputi pencegehan untuk perbaikan sistem agar tak terjadi lagi kasus korupsi," sambungnya.

Dia menyebut, korupsi pada pengadaan barang dan jasa menjadi modus klasik yang melibatkan banyak pihak, dari rangkaian perencanaan-pelaksanaan-hingga pengawasannya. Di mana dampakakhirnya adalah penurunan kualitas barang dan jasa yang dihasilkan sebagai produk pembangunan yang dirasakan langsung oleh masyarakat.

"KPK mengingatkan, tanggung jawab seorang kepala daerah atas amanah rakyat adalah untuk menyelenggarakan pemerintahan dan pembangunan yang mensejahterakan masyarakatnya. Bukan justru mengambil keuntungan pribadi dengan menyalahgunakan kewenanganannya," kata Firli.

"Demikian halnya, pelaku usaha juga harus punya komitmen yang sama dalam upaya membangun budaya antikorupsi, melalui praktik bisnis jujur, berintegritas, dan menghindari praktip suap," sambungnya.

Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Feri Amsari mengatakan, OTT sebenarnya efektif jika dibarengi dengan sanksi yang efektif.

"OTT itu hanya bisa maksimal jika terhadap pelaku dijatuhkan sanksi pencabutan hak politik untuk dipilih dan memilih serta pemiskinan," kata dia kepada Liputan6.com, Kamis (6/1/2022).

Menurut Feri hukuman penjara tak semata-mata membuat pelaku jera. "Jadi tidak bisa penjara semata-mata jika setelah keluar masih bisa dipilih dan tetap kaya," jelas dia.

Feri juga memandang, perlu pembenahan terhadap sistem partai politik dan kepemiluan kita yang dipandang bermasalah. Proses kandidasi yang terlebih menggunakan uang mahar harus segera disudahi.

Menurut dia, sebenarnya menggunakan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, sudah cukup sebenarnya untuk membuat efek jera bagi para kepala daerah yang mencoba membandel.

Dirinya memandang ini efektif daripada menunggu Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset untuk bisa diketok dan dijadikan hukum positif di Indonesia.

"Kalau seluruh kejahatan korupsi digunakan pasal TPPU maka upaya memiskinkan koruptor akan jadi kenyataaan dan akan memberikan penjeraan yang kuat," ungkap Feri.

Dia pun menepis bahwa menerapkan hukuman mati bagi pelaku koruptor bukan langkah solutif. Karena berpotensi untuk pencitraan penguasa atau kepentingan politik.

"Ketimbang hukuman mati yang berpotensi menyingkirkan lawan politik atau hanya sekedar basa-basi, yang hanya diperuntukan bagi koruptor yang bukan orang partai tertentu," jelas Feri.

 

Infografis Wali Kota Bekasi Rahmat Effendi Kena OTT KPK (Liputan6.com/Triyasni)

Biaya Politik Tinggi

Pakar psikologi politik Hamdi Muluk menduga, masih banyaknya kepala daerah yang tak kapok melakukan korupsi lantaran harus mengembalikan ongkos politik yang besar saat maju.

"Saya kira kita harus memikir ulang sistem pilkada langsung yang high cost, cenderung tidak masuk akal. Dulu kalau enggak salah ada kajian berapa orang keluar keluar duit waktu maju jadi kepala daerah. Mahal sekali. Jadi itu imbasnya, setelah terpilih harus balas budi atau ya kayak jual beli jabatan gitu," kata dia kepada Liputan6.com, Kamis (6/1/2021).

"Atau terima uang dari para penyogok, kebanyakan penguasa hitam yang sebelumnya ikut biayaain selama kampanye," sambungnya.

Mungkin, sambung Hamdi, memikirkan pikir ulang sistem pilkada langsung apakah masih layak dipakai atau tidak.

Dia juga memandang, bukan hanya itu masalahnya. Konsekuensi dari terlalu banyak partai, kemudian tak mengakar di masyarakat membuat kader partai sulit diterima publik.

"Kalau kurang dikenal, tidak punya jejak konstituensi yang mapan, sehingga kalau maju ke kontestasi politik perlu banyak biaya memperkenalkannya," kata Hamdi.

Dia pun mendorong agar perlu penyederhanaan partai, jadi hanya tinggal empat atau lima. Kemudian pembiayaan kampanye bisa lewat APBN tak dibebankan ke kandidat.

"Kalau partai sudah sedikit dan punya akar kuat di masyarakat dan kader berakar, dia enggak butuh biaya banyak memperkenalkan diri selama proses pemilu. Kalau udah sampai ke tahap itu, baru akar korupsi hilang. Selagi itu belum jalan, korupsi sulit diberantas," jelas Hamdi.

 


Masalah yang Sudah Mengakar

Banner Infografis Catatan dan Mimpi Buruk OTT KPK untuk Wali Kota Bekasi Rahmat Effendi (Liputan6.com/Triyasni)

Pengamat politik Aisah Putri Budiarti mengatakan, kondisi sekarang sebenarnya menunjukkan ada masalah yang mengakar terkait perilaku korupsi para pejabat.

Menurut dia, salah satu faktor utama adalah biaya politik tinggi. Dirinya menjelaskan, skema pemilihan langsung yg seharusnya menjadikan masyarakat sebagai pemilih rasional, di mana mereka memilih berdasarkan track record dan kinerja, termasuk bersih dari korupsi, nampaknya belum mengakar dalam pikiran pemilih saat ini, meski tentu tetap ada pemilih rasional ini, utamanya di wilayah urban.

"Dampaknya, politik uang masih menghantui praktik pemilu dan keterpilihan kandidat dalam pemilu. Diluar itu, sistem pemilu secara umum, untuk pemilihan eksekutif atau pileg berdampak pada biaya politik yang tinggi, misalnya dapil yang luas dalam pileg atau pilkada berbasis pada partai sebagai kendaraan politik utama," kata Putri kepada Liputan6.com, Kamis (6/1/2022).

Diluar itu, ada problem tentang etika politik yang tidak secara kuat tertanam dan dibangun oleh partai politik.

"Sepatutnya, partai politik memiliki sebuah kode etik yg menjadi pegangan kuat dan jelas bagi seluruh kadernya. Kode etik menjadi hal utama yang selalu ada dalam langkah kaderisasi partai, dan ada pengawasan yang ketat oleh partai terkaut etik bagi semua kadernya," jelas Putri.

Selain itu, partai sudah sepatutnya menjalankan rekrutmen dan kaderisasi secara optimal berbasis track record dan kinerja kader dan anggotanya.

"Pemilihan calon dalam pemilu didasari proses rekrutmen dan kaderisasi berjenjang, di mana salah satu dasar utama pemilihan adalah bersih dari tindak korupsi," kata Putri.

Selain itu, lanjut dia, langkah pemerintah untuk penegakan anti korupsi pun semakin dipertanyakan oleh publik, terutama setelah adanya revisi pada UU KPK.

"Hal-hal itu masih problematis saat ini dan semuanya berkelindan memicu persoalan korupsi menjadi tak berkesudahan," kata Putri.

 


OTT Bukan Satu-satunya Cara

Anggota Komisi III DPR RI Sarifuddin Sudding menilai banyaknya pejabat yang terciduk OTT bukan berarti teknik operasi tersebut gagal membuat pejabat kapok korupsi.

"Bukan persoalan kapok tidak kapok, tapi penegakan hukum. Bahwa KPK melakukan penindakan OTT saya kira itu salah satu upaya KPK menindak koruptor, hanya salah satu cara," kata dia saat dikonfirmasi, Kamis (6/1/2022).

Sudding mengingatkan KPK menjaring koruptor dengan berbagai cara, OTT hanya salah satunya. "Tidak hanya sebatas OTT, ada juga pengumpulan barang bukti dan lewat lidik dan sidik. Jadi sama saja, adanya banyak cara yang KPK lakukan OTT salah satunya," kata dia.

Politikus PAN itu menyebut adanya anggapan KPK hanya melakukan OTT saja disebabkan publikasi media.

"Kemudian yang muncul memang banyak OTT ya karena yang dipublikasikan memang OTT. Tapi yang dilaporkan KPK banyak kok penanganan lewat lidik dan sidik dan lewat laporan masyarakat," kata Sudding.

Bahkan dia menilai tak ada hal urgen yang perlu dibenahi dalam OTT KPK. Menurutnya tak perlu menghapus OTT.

"Sepanjang tidak menyalahi SOP, didukung bukti permulaan yang cukup. Kalau kemudian ada wacana menghilangkan OTT ya ubah dulu UU-nya. Karena KPK memang diberi kewenangan untuk OTT," kata Sudding.

Sementara itu, Wakil Ketua Komisi III DPR RI Ahmad Sahroni menuturkan, sulit membuat orang kapok akan korupsi.

"(OTT) bikin sedikit gentar, namun tidak sampai kapok," jelas dia.

Menurutnya, yang harus diperkuat adalah sistem pencegahannya. "Sebenarnya sekarang yang harus diperkuat adalah sistem pencegahan, bagaimana bikin korupsi susah dilakukan. Transparasi, pengawasan, itu yang utama," kata Sahroni.

Politikus NasDem ini pun menampik bahwa ini karena biaya politik yang tinggi. Ini semata-mata karena perilaku orangnya. "Itu manusianya saja yang berpikir pendek," kata Sahroni.

Infografis Catatan Buruk dan Mimpi Buruk OTT KPK (Liputan6.com/Triyasni)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya