2 Pemicu Utama Ekspor UMKM Indonesia Jauh Tertinggal dari Malaysia

Porsi ekspor produk UMKM masih di angka 14 persen. Angka tersebut sangat jauh di bawah porsi ekspor UMKM negara-negara di kawasan ASEAN lainnya.

oleh Liputan6.com diperbarui 07 Jan 2022, 12:37 WIB
Perajin menyelesaikan kerajinan dari bahan rotan di Jakarta, Senin (13/9/2021). UMKM akan menjadi sektor dunia usaha yang memagang peranan penting dalam pemulihan ekonomi karena telah berkontribusi sebagai penyumbang terbesar Produk Domestik Bruto (PDB) dalam negeri. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta Ekspor produk Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) di Indonesia masih jauh tertinggal jika dibanding ekspor UMKM beberapa negara lain di Asia Tenggara (ASEAN). Hal tersebut diungkap oleh Staf Ahli Menteri Koperasi dan UKM bidang Produktivitas dan Daya Saing, Yulius.

"Kita masih kalah ekspornya dengan Thailand, dengan Malaysia, dan apalagi kalau kita lihat ekspor UMKM. Waduh itu lebih rendah lagi," jelas Yulius dalam Dialog Kolaborasi Ekspor Menuju Digital Export 2022 di Jakarta, Kamis (7/1/2021).

Porsi ekspor produk UMKM masih di angka 14 persen. Angka tersebut sangat jauh di bawah porsi ekspor UMKM negara-negara di kawasan ASEAN lainnya.

"Kalau kita lihat (ekspor UMKM Indonesia) itu sampai 12 persen, 14 persen. Sedangkan, kalau kita bandingkan Thailand, Malaysia, lainnya itu jauh sekali," bebernya.

Yulius menyebut, rendahnya ekspor produk UMKM Indonesia diakibatkan oleh dua faktor. Pertama, rendahnya kemampuan pelaku UMKM akan kegiatan ekspor.

"Ternyata cara ekspor tidak bisa. Kualitas ekspor tidak ada, sertifikasi tidak kuat, cara mengekspor kita tidak tau. Itu persoalan pertama," terangnya.

Persoalan kedua ialah terkait market intelligence atau kemampuan dalam pemasaran. Akibatnya, pasar ekspor produk UMKM Indonesia masih terbatas di negara-negara tertentu.

"Karena kita masih mengekspor ke tempat destinasi yang konvensional. Belum mencari daerah-daerah lain yang sebenarnya potensi luar biasa," bebernya.

Maka dari itu, dia berharap, program Sekolah Ekspor bisa menjadi jawaban untuk meningkatkan ekspor produk UMKM Indonesia di masa depan. Mengingat, program ini hasil sinergi antara pemerintah, pelaku usaha ekspor, dan stakeholders terkait lainnya.

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.


Rasio Kewirausahaan RI Baru 3,47 Persen

Perajin menyelesaikan kerajinan dari bahan rotan di Jakarta, Senin (13/9/2021). UMKM akan menjadi sektor dunia usaha memagang peranan penting dalam pemulihan ekonomi Indonesia karena telah berkontribusi sebagai penyumbang terbesar Produk Domestik Bruto (PDB) dalam negeri. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Sebelumnya, Kementerian Koperasi dan UKM menjalin kolaborasi dengan Universitas Katolik Parahyangan dalam rangka pemberdayaan masyarakat. Perwakilan, Sekretaris Kementerian Koperasi dan UKM Arif Rahman Hakim telah menandatangani MoU dalam bidang Pendidikan, Penelitian dan Pengabdian terhadap Masyarakat dengan Rektor UNPAR Mangadar Situmorang.

"Karena kita punya 64 juta UMKM tetapi rasio kewirausahaan hanya 3,47 persen atau tergolong rendah jika dibandingkan negara lain," ucap Arif di Bandung, Selasa (21/12).

SesKemenkopUKM Arif Rahman Hakim berharap lewat kerja sama itu, sinergi antara pemerintah dengan akademisi dan mahasiswa bisa berjalan efektif dalam mencapai peningkatan rasio kewirausahaan, khususnya di kalangan milenial, serta menyiapkan generasi muda untuk pembangunan ekonomi negeri.

Dia meyakini peluang pengembangan wirausaha kedepan ada di tangan anak muda. Merujuk pada Sensus Penduduk oleh Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2020 lalu, sebanyak 64,69 persen atau 173,48 juta populasi di Indonesia merupakan generasi milenial, generasi Z, dan generasi alpha. Di sisi lain, Research Institute SMERU mencatat 73 persen pemuda Indonesia punya minat untuk menjadi wirausaha.

Menurutnya, untuk memulai menjadi wirausaha, harus dilakukan by design. Artinya, harus ada pelatihan secara berkelanjutan. Belajar dari Amerika Serikat, pelatihan atau peningkatan SDM itu wajib dilakukan oleh ahlinya, bukan pekerja sambilan.

"Pemateri juga harusnya dilakukan oleh pelaku usaha langsung atau praktisi, seperti lawyer, ahli marketing dari perusahaan, dan lain-lain," ucap Arif.

Reporter: Sulaeman

Sumber: Merdeka.com

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya