Jeritan Hati Orang Tua Korban Penculikan 1998 Terkait Mayjen Untung Budiharto Jadi Pangdam Jaya

"Kenapa melakukan kejahatan tetapi kok masih bisa diterima sebagai anggota TNI dan mendapat jabatan yang sangat mentereng di dalam negara kita ini," kata Paian.

oleh Nanda Perdana Putra diperbarui 07 Jan 2022, 14:26 WIB
Aktivis HAM menggelar aksi Kamisan di Jakarta, Kamis (6/1/2022). Mereka juga menolak pengangkatan Mayor Jenderal TNI Untung Budiharto menjadi Pangdam Jaya karena rekam jejaknya sebagai anggota Tim Mawar yang menjalankan operasi penculikan para aktivis 1998. (merdeka.com/Imam Buhori)

Liputan6.com, Jakarta - Pengangkatan mantan anggota Tim Mawar, Mayjen Untung Budiharto sebagai Panglima Kodam (Pangdam) Jaya menambah luka dari orang tua korban penculikan paksa yang terjadi pada tahun 1997/1998 lalu.

Paian Siahaan, ayah dari Ucok Siahaan menjadi salah satunya. Dia merasa, memasuki tahun baru 2022 dirinya malah menerima kado pahit dari pemerintahan Presiden Joko Widodo atau Jokowi.

"Ini merupakan kado yang sangat memprihatinkan. Karena saya menganggap tadinya kita dapat berita yang bagus, tetapi ternyata di awal tahun 2022 ini kita malah diberikan semacam sajian yang sangat menyakitkan hati kami selaku keluarga korban penculikan 97/98. Tentu kita sangat terkejut," tutur Paian dalam konferensi pers yang digelar KontraS secara virtual, Jumat (7/1/2022).

Menurut Paian, Mayjen Untung Budiharto menjadi salah satu mantan anggota Tim Mawar yang telah diputus bersalah dalam peradilan militer. Alih-alih pengusutan dilakukan, pemerintah malah memberikan karpet merah posisi strategis menjadi Pandam Jaya.

"Tentunya ini buat kami keluarga korban bukan sudah semakin diinjak-injak harga diri, artinya kami tidak dianggap lagi sebagai warga yang merasakan atau yang seharusnya mendapat perhatian dari seorang Presiden, yang telah pernah memanggil kami ke Istana sampai dua kali dan tiga kali," jelas dia.

Paian kemudian menagih janji Jokowi atas penuntasan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu, khususnya penculikan paksa pada 24 tahun silam. Baginya, status penculikan terus berjalan selama para korban yang hilang belum diketahui keberadaannya.

"Kenapa melakukan kejahatan tetapi kok masih bisa diterima sebagai anggota TNI dan mendapat jabatan yang sangat mentereng di dalam negara kita ini. Saya tidak habis pikir lah, jadi saya sangat-sangat prihatin dan juga sangat menyiksa batin kami keluarga korban dengan pengangkatan dari Untung Budiharto menjadi Panglima di DKI," Paian menandaskan.

Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS) mengecam tindakan Panglima TNI yang memberikan promosi jabatan kepada Mayor Jenderal (Mayjen) Untung Budiharto sebagai Panglima Kodam (Pangdam) Jaya menggantikan Mayjen Mulyo Aji.

Promosi ini tertuang dalam Keputusan Panglima Tentara Nasional Indonesia Nomor Kep/5/I/2022 tentang Pemberhentian dari dan Pengangkatan dalam Jabatan di Lingkungan Tentara Nasional Indonesia. Surat Keputusan (SKep) tersebut telah ditandatangani oleh Kepala Setum TNI Brigjen Edy Rochmatullah pada Selasa (4/1/2022) lalu.

Menurut KontraS, Mayjen Untung Budiharto termasuk dalam daftar anggota Tim Mawar bentukan Mayjen Prabowo Subianto yang namanya telah disebut dalam laporan investigasi Komnas HAM terkait kasus penghilangan paksa tahun 1997/1998.

Pengangkatan Untung Budiharto menambah bukti bahwa negara tidak melihat rekam jejak seseorang dalam menduduki jabatan tertentu. Sebelumnya, dua anggota eks Tim Mawar juga sudah masuk ke dalam kementerian.

"Kami khawatir ini sebatas balas budi atau bentuk relasi semata sebab mengabaikan rekam jejak. Bagaimanapun juga, TNI, terkhusus Pangdam Jaya, memiliki peran untuk melindungi hak asasi manusia," ujar Kepala Divisi Pemantauan Impunitas KontraS, Tioria Pretty dalam keterangan tertulis yang dikutip Jumat (7/1/2022).

KontraS juga menilai tindakan pengangkatan Untung Budiharto sebagai Panglima Kodam (Pangdam) Jaya ini menjadi bukti tidak adanya penghormatan TNI terhadap proses pengadilan dan putusan hakim dalam proses hukum terhadap Tim Mawar.


Karpet Merah Pelanggar HAM

Dalam putusan pengadilan, ada 11 orang yang dinyatakan sebagai terdakwa dan 5 orang dikenakan sanksi pidana dan pemecatan, termasuk Untung Budiharto. Namun sejak putusan ini dikeluarkan, Untung Budiharto justru melenggang bebas dan tidak menaati putusan pengadilan yang ada.

Bahkan, di era Pemerintahan Joko Widodo Untung selalu diberikan posisi strategis seperti Sekretaris Utama (Sestama) Badan Nasional Penanggulangan Terorisme pada 2020-2021, Direktur Operasi dan Latihan Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan (Basarnas) pada 2020, Kepala Staf (Kasdam) I/Bukit Barisan pada 2019-2020, dan Wakil Asisten Operasi KSAD pada 2017-2019.

KontraS memandang pengangkatan Untung Budiarto sebagai Pangdam Jaya bukan saja menunjukkan ketidakadilan kepada keluarga korban yg sudah berjuang selama 24 tahun, tetapi sudah dengan sengaja menyakiti seluruh keluarga korban penghilangan paksa 1997/1998.

Tioria Pretty juga menganggap pemerintah sengaja mempertontonkan kepada rakyat betapa Presiden Jokowi mengingkari janji kepada keluarga korban penghilangan paksa 1997/1998 yang telah bertemu di Istana Presiden dua kali dan satu kali bertemu dengan Moeldoko selaku kepala Kantor Staf Presiden yang telah ditunjuk Presiden untuk menuntaskan kasus penculikan.

Dari sini menurutnya tampak semakin jelas, negara kembali memberikan karpet merah dan kekebalan hukum bagi pelaku pelanggar HAM di Indonesia dengan menempatkan pelaku di posisi strategis pemerintahan.

Sementara itu, Koordinator KontraS, Fatia Maulidiyanti, menyebut bahwa dengan kasus itu semakin tidak dapat dimungkiri bahwa pemerintahan Joko Widodo beserta jajarannya gagal dalam menghormati, melindungi, dan memenuhi hak asasi manusia khususnya hak korban yang telah lama menanti keadilan.

"Seharusnya, yang dilakukan pemerintah adalah mencari orang-orang hilang dan meratifikasi Konvensi Internasional Anti Penghilangan Orang Secara Paksa (ICPPED), bukan terus memberikan ruang aman bagi para terduga pelaku pelanggaran HAM berat," tegasnya.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya