Liputan6.com, Jakarta - Paian Siahaan, ayah dari Ucok Siahaan yang merupakan korban penculikan paksa 1997/1998, berharap dapat melakukan audiensi dengan Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa atas pengangkatan Mayor Jenderal (Mayjen) Untung Budiharto sebagai Panglima Kodam (Pangdam) Jaya.
"Kita ingin bertanya maksudnya seperti apa. Kalau memang itu suatu jalan atau strategi penyelesaian kasus, supaya dia bisa, Untung ini bisa membantu untuk menyelesaikan penuntasan penculikan ini ya iya," tutur Paian dalam konferensi pers yang diselenggarakan KontraS secara virtual, Jumat (7/1/2022).
Baca Juga
Advertisement
Menurut Paian, Mayjen Untung merupakan mantan anggota Tim Mawar yang terlibat dalam kasus penculikan paksa 1997/1998. Tentunya rekam jejak dan hasil peradilan militer perlu masuk dalam pertimbangan sebelum memberikan posisi strategis seperti Pangdam Jaya.
"Kalau pun Pak Untung ini diangkat dengan menjadi Panglima Kodam Jaya, artinya tapi dengan persyaratan atau dengan harapan atau dengan strategi untuk itu (penyelesaian kasus penculikan) menurut saya ya itu yang perlu kita tanyakan kalau misalnya kesempatan audiensi kepada Panglima TNI," jelas dia.
Paian mengaku akan menanyakan hal serupa kepada Presiden Joko Widodo atau Jokowi apabila kembali mendapat kesempatan bertemu. Sebab, Jokowi sempat menyatakan dan menjanjikan penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu.
"Apakah bagian pengangkatannya dalam hal apakah itu bagian daripada penyelesaian kasus penghilangan paksa, itu yang perlu kita pertanyakan. Jadi saya sangat senang kalau ada kesempatan ketemu, beraudiensi pada kedua tokoh ini," Paian menandaskan.
KontraS Kecam Pengangkatan Untung Budiharto sebagai Pangdam Jaya
Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS) mengecam tindakan Panglima TNI yang memberikan promosi jabatan kepada Mayor Jenderal (Mayjen) Untung Budiharto sebagai Panglima Kodam (Pangdam) Jaya menggantikan Mayjen Mulyo Aji.
Promosi ini tertuang dalam Keputusan Panglima Tentara Nasional Indonesia Nomor Kep/5/I/2022 tentang Pemberhentian dari dan Pengangkatan dalam Jabatan di Lingkungan Tentara Nasional Indonesia. Surat Keputusan (SKep) tersebut telah ditandatangani oleh Kepala Setum TNI Brigjen Edy Rochmatullah pada Selasa (4/1/2022).
Menurut KontraS, Untung Budiharto termasuk dalam daftar anggota Tim Mawar bentukan Mayjen Prabowo Subianto yang namanya telah disebut dalam laporan investigasi Komnas HAM terkait kasus penghilangan paksa tahun 1997/1998.
Pengangkatan Untung Budiharto menambah bukti bahwa negara tidak melihat rekam jejak seseorang dalam menduduki jabatan tertentu. Sebelumnya, dua anggota eks Tim Mawar juga sudah masuk ke dalam kementerian.
"Kami khawatir ini sebatas balas budi atau bentuk relasi semata sebab mengabaikan rekam jejak. Bagaimanapun juga, TNI, terkhusus Pangdam Jaya, memiliki peran untuk melindungi hak asasi manusia," ujar Kepala Divisi Pemantauan Impunitas KontraS, Tioria Pretty dalam keterangan tertulis yang dikutip Jumat (7/1/2022).
KontraS juga menilai tindakan pengangkatan Untung Budiharto sebagai Panglima Kodam (Pangdam) Jaya ini menjadi bukti tidak adanya penghormatan TNI terhadap proses pengadilan dan putusan hakim dalam proses hukum terhadap Tim Mawar.
Dalam putusan pengadilan, ada 11 orang yang dinyatakan sebagai terdakwa dan 5 orang dikenakan sanksi pidana dan pemecatan, termasuk Untung Budiharto. Namun sejak putusan ini dikeluarkan, Untung Budiharto justru melenggang bebas dan tidak menaati putusan pengadilan yang ada.
Bahkan, di era Pemerintahan Joko Widodo Untung selalu diberikan posisi strategis seperti Sekretaris Utama (Sestama) Badan Nasional Penanggulangan Terorisme pada 2020-2021, Direktur Operasi dan Latihan Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan (Basarnas) pada 2020, Kepala Staf (Kasdam) I/Bukit Barisan pada 2019-2020, dan Wakil Asisten Operasi KSAD pada 2017-2019.
Advertisement
Pengangkatan Dinilai Menyakiti Korban
KontraS memandang pengangkatan Untung Budiarto sebagai Pangdam Jaya bukan saja menunjukkan ketidakadilan kepada keluarga korban yg sudah berjuang selama 24 tahun, tetapi sudah dengan sengaja menyakiti seluruh keluarga korban penghilangan paksa 1997/1998.
Tioria Pretty juga menganggap pemerintah sengaja mempertontonkan kepada rakyat betapa Presiden Jokowi mengingkari janji kepada Keluarga korban penghilangan paksa 1997/1998 yang telah bertemu di Istana Presiden dua kali dan satu kali bertemu dengan Moeldoko selaku kepala Kantor Staf Presiden yang telah ditunjuk Presiden untuk menuntaskan kasus penculikan.
Dari sini menurutnya tampak semakin jelas, negara kembali memberikan karpet merah dan kekebalan hukum bagi pelaku pelanggar HAM di Indonesia dengan menempatkan pelaku di posisi strategis pemerintahan.
Sementara itu, Koordinator KontraS, Fatia Maulidiyanti, menyebut bahwa dengan kasus itu semakin tidak dapat dimungkiri bahwa pemerintahan Joko Widodo beserta jajarannya gagal dalam menghormati, melindungi, dan memenuhi hak asasi manusia khususnya hak korban yang telah lama menanti keadilan.
"Seharusnya, yang dilakukan pemerintah adalah mencari orang-orang hilang dan meratifikasi Konvensi Internasional Anti Penghilangan Orang Secara Paksa (ICPPED), bukan terus memberikan ruang aman bagi para terduga pelaku pelanggaran HAM berat," tegasnya.