Resensi Film Cinta Pertama Kedua & Ketiga: Memaknai Lagi Kasih Sayang Keluarga dan Waktu yang Tersisa

Cinta Pertama Kedua & Ketiga karya sineas Gina S. Noer dirilis di bioskop mulai Kamis (6/1/2022). Berikut resensi filmnya.

oleh Wayan Diananto diperbarui 09 Jan 2022, 06:00 WIB
Poster Cinta Pertama Kedua, dan Ketiga. (Foto: Dok. Instagram @starvisionplus)

Liputan6.com, Jakarta Cinta Pertama Kedua & Ketiga adalah karya kedua Gina S. Noer, yang melambung tiga tahun silam lewat debut penyutradaraan Dua Garis Biru. Film tersebut meraih dua Piala Citra dan menyerap 2,5 juta penonton lebih.

Kini Gina S. Noer kembali ke layar lebar berbekal naskah yang terinspirasi dari kehidupan pribadinya. Jelas ini terasa lebih personal. Masih dibintangi Angga Yunanda. Bedanya, lawan main sang aktor adalah Putri Marino.

Dirilis di bioskop mulai Kamis (6/1/2022), Cinta Pertama Kedua & Ketiga mengumpulkan 27 ribuan penonton pada hari pertama penayangan. Berikut review film Cinta Pertama Kedua & Ketiga.

 

Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

 


Raja dan Asia

Putri Marino sebagai Asia dalam Cinta Pertama Kedua & Ketiga. (Foto: Dok. Starvision Plus)

Raja (Angga Yunanda) bungsu dari tiga bersaudara. Dua kakaknya, Suri (Ersa Mayori) dan Ratu (Widi Mulia), sudah berumah tangga. Raja tinggal bersama ayah, Dewa (Slamet Rahardjo) dan nenek (Elly D. Lutan) yang pikun. Ia bekerja sebagai sopir taksi daring.

Belakangan, ia mengantar Dewa menjalani pemeriksaan di rumah sakit karena memperlihatkan gejala serupa neneknya dulu, yang demensia. Suatu hari, Dewa bertemu Linda (Ira Wibowo) di rumah sakit. Linda yang divonis kanker payudara merasa tak lengkap lagi sebagai wanita.

Dewa mencoba membesarkan hatinya. Linda punya anak perempuan bernama Asia (Putri Marino) yang tak sengaja bertemu Raja. Asia seniman, tepatnya penari. Hidup memaksanya bekerja keras karena ayahnya pergi. Kehadiran Raja membuat Asia jatuh hati.

Masalahnya, Dewa dan Linda pun saling cinta. Ditinggal mati istri sejak lama, baru Linda yang diajak Dewa ke rumah. Keputusan ini ditanggapi sinis Suri dan Ratu. Dalam hati, Asia terjebak dilema. Mengizinkan Linda bahagia atau memberi waktu kepada diri sendiri untuk bahagia.

 


Bikin Penasaran

Salah satu adegan dalam Cinta Pertama Kedua & Ketiga. (Foto: Dok. Starvision Plus)

Mendengar judulnya saja, film ini sudah bikin penasaran. Seperti apa definisi cinta pertama, kedua, dan ketiga? Siapa pelaku dan yang dicintai? Lalu, siapa yang berhak mendapat prioritas pertama?

Rupanya cinta dalam film ini tidak merujuk hubungan dua remaja dimabuk kepayang, melainkan pemaknaan kasih lintas generasi dalam keluarga. Gina lantas mendefinisikan problem-problem dalam dunia Raja dan Asia yang sempit.

Problem ini bisa jadi muncul dalam keluarga Anda kelak atau bahkan saat ini. Yang menarik dari film ini, penokohan berlatar pekerjaan unik. Dewa PNS. Anaknya diarahkan menjadi PNS pula. Profesi ini dianggap simbol kemapanan dan kestabilan.


Di Samping Isu Sosial

Salah satu adegan dalam Cinta Pertama Kedua & Ketiga. (Foto: Dok. Starvision Plus)

Di sisi lain, ada Asia yang nasibnya seperti yang dikhawatirkan Dewa. Seniman hidupnya repot. Profesi ini salah satu yang “tidak diakui” di formulir pengajuan kartu kredit. Penari selama ini tak dianggap sebagai seniman kelas A.

Kalau pun muncul di televisi, cuma sebentar karena yang disorot tentu penyanyi. Rentang kariernya pun pendek. Benturan-benturan ini dirajut Gina di bawah payung tema keluarga. Di titik ini, Gina menyodorkan beragam kondisi untuk disikapi penonton.

Ada yang pensiun lalu daya ingatnya tumpul. Ada yang terpaksa pensiun lalu kualitas hidup menurun. Di samping isu sosial ada satu pertanyaan penting: saat itu terjadi, siapkah kita sebagai anak menghadapi? Sabarkah kita meladeni kondisi yang entah kapan berakhir?


Chemistry Alami Angga-Putri

Angga Yunanda sebagai Raja dalam Cinta Pertama Kedua & Ketiga. (Foto: Dok. Starvision Plus)

Raja perlu belajar karena gap usia dengan generasi sebelumnya terlampau jauh. Lain dengan Asia yang luwes menempatkan diri sebagai anak, sahabat, dan mau tak mau tulang punggung keluarga. Di luar chemistry Angga dan Putri yang alami, ada Slamet Rahardjo sang scene stealer.

Porsinya di atas kertas memang pemeran pendukung, namun dalam banyak aspek ia layak digelari pemeran utama. Ia penggerak cerita. Sepintas biang masalah. Jika mau sedikit sabar, Anda akan tahu bahwa Dewa poros sekaligus jantung naskah.

Dan Slamet, pilihan terbaik untuk menghidupkannya. Di tangan sang aktor, Dewa tidak lantas jadi objek penderitaan atau orangtua yang menyusahkan kalau tidak boleh dibilang menyebalkan.

 


Performa Slamet Rahardjo

Slamet Rahardjo sebagai Dewa dalam Cinta Pertama Kedua & Ketiga. (Foto: Dok. Starvision Plus)

Paruh pertama, Slamet mempresentasikan Dewa sebagai orangtua yang perhatian, dekat dengan anak, ulahnya kadang terasa rock n roll. Paruh kedua, masalah muncul namun kita melihat benang merah yang tak terputus bernama kasih sayang.

Di babak akhir, ia makin rapuh. Namun cintanya untuk keluarga sebaliknya. Raja mungkin berubah. Di mata Dewa, ia tak pernah menyusahkan (sebagai anak). Tak pernah jadi beban. Maka, kita tahu apa yang hendak disampaikan Gina, soal pertalian ayah dan anak, kehadiran anggota keluarga baru, hingga bagaimana merespons perubahan di circle terkecil dalam hidup.

Menyaksikan Slamet Rahardjo dalam Cinta Pertama Kedua & Ketiga mengingatkan kami pada kebesaran Robert Duvall di The Judge. Dalam film itu ia diganjar nomine Pemeran Pendukung Pria Terbaik Oscar 2015. Atau Anthony Hopkins dalam The Father, mungkin.


Jantung Berdesir

Salah satu adegan dalam Cinta Pertama Kedua & Ketiga. (Foto: Dok. Starvision Plus)

Setelah menyaksikan Cinta Pertama Kedua & Ketiga, sudut pandang kita terhadap orangtua akan berubah. Ini tipe film yang berfungsi sebagai pengingat bahwa orangtua terus menua. Belum tentu pula mereka yang akan mangkat duluan.

Pertanyaannya, berapa sisa waktu yang kita punya untuk membahagiakan mereka? Penuturan Cinta Pertama Kedua & Ketiga tak semulus Dua Garis Biru. Cenderung pelan. Di babak kedua, penyuntingan gambar agak kurang smooth dan berdampak pada tempo cerita.

Beruntung sejumlah adegan kocak membuatnya terasa menyenangkan. Oh, ya. Film ini memperlihatkan cara unik mengetahui nasib seseorang. Ada satu adegan berlatar malam, saat Linda melihat seseorang yang ia kenal melenggang di depan rumah. Bukannya bahagia, matanya berkaca. Serius, adegan ini bikin jantung berdesir dan kepikiran. Tak disangka.

 

 

Pemain: Angga Yunanda, Putri Marino, Slamet Rahardjo, Ira Wibowo, Ersa Mayori, Widi Mulia, Elly D. Luthan

Produser: Chand Parwez Servia, Gina S. Noer

Sutradara: Gina S. Noer

Penulis: Gina S. Noer

Produksi: Starvision Plus, Wahana Kreator

Durasi: 1 jam, 45 menit

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya