Liputan6.com, Jakarta Ketentuan Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) yang mengatur ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) kembali diujikan secara materiil ke Mahkamah Konstitusi, Selasa (11/1/2022).
Pasal 222 UU Pemilu menyatakan, "Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua 5 puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya".
Advertisement
Ketentuan tersebut menurut Bustami Zainudin (Pemohon I/Anggota DPD Periode 2019-2024 dari Provinsi Lampung) dan Fachrul Razi (Pemohon II/Anggota DPD RI Periode 2019-2024 dari Provinsi Aceh) bertentangan dengan Pasal 6 ayat (2), Pasal 6A ayat (2), dan Pasal 6A ayat (5) UUD 1945.
Menurut para Pemohon, norma tersebut mengabaikan hak konstitusional para Pemohon untuk mendapatkan pilihan sebanyak-banyaknya calon presiden dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.
Dikutip dari laman mkri.id, sidang Panel perkara yang diregistrasi dengan Nomor 68/PUU-XIX/2021 ini dipimpin oleh Hakim Konstitusi Arief Hidayat didampingi Hakim Konstitusi Manahan M.P. Sitompul dan Hakim Konstitusi Saldi Isra.
Berpedoman pada pertimbangan hukum MK pada Putusan MK 53/PUU-XV/2017 yang menggunakan penafsiran sistematis dalam membaca Pasal 6A UUD 1945, aturan presidential threshold (PT) merupakan aturan yang bersifat open legal policy.
Penafsiran open legal policy ini menurut para Pemohon tidak tepat dimana dalam UUD 1945 telah ditetapkan pembatasan dan syarat pencalonan. Pemohon meyakini, persyaratan tersebut semestinya digolongkan pada close legal policy.
Sementara sesuai preseden Mahkamah, ketentuan tersebut dinyatakan open legal policy karena memenuhi syarat: norma tersebut tidak ditegaskan secara tegas dalam UUD 1945 sehingga didelegasikan untuk diatur lebih lanjut dalam undang-undang.
"Berdasarkan Pemilu 2019 telah mengakibatkan para Pemohon akan kehilangan hak konstitusionalnya untuk mendapatkan banyaknya calon pemimpin bangsa yang dihasilkan partai politik peserta pemilu. Mengingat melalui terhubung langsung dengan kepentingan masyarakat, maka partai politik perlu mempertimbangkan aspirasi rakyat/pemilih dalam mengusung calon presiden/wakil presidennya. Persoalannya, ambang batas pencalonan presiden/wakil presiden ini mengakibatkan tereduksinya fungsi partai politik," kata Salman Darwis selaku kuasa hukum para Pemohon yang hadir dan mengikuti persidangan secara daring.
Kedudukan Hukum Pemohon
Sementara itu, Hakim Konstitusi Saldi Isra menasihati para Pemohon agar mencermati kedudukan hukumnya. Sebab menurut Saldi, kedudukan selaku warga negara perseorangan dan kedudukan selaku anggota DPD berbeda.
Berikutnya, Saldi meminta para Pemohon membaca putusan MK terdahulu untuk perkara serupa. Saldi juga menyarankan agar para Pemohon memperjelas alasan permohonannya mengenai PT tidak terkategori sebagai syarat-syarat untuk menjadi presiden/wakil presiden.
"Perlu penguraian lebih lanjut apa beda syarat-syarat dengan presidential threshold dan para Pemohon mengutip Naskah Komprehensif sehingga perlu melengkapinya dengan pendapat perumus. Sehingga bisa dilacak kutipan yang dinyatakan para Pemohon pada permohonan ini," jelas Saldi.
Sementara itu, Hakim Konstitusi Manahan M.P. Sitompul meminta para Pemohon, khususnya pada bagian kewenangan Mahkamah, agar menyertakan UU MD3 untuk penyempurnaan permohonan. Sedangkan terkait kerugian konstitusional para Pemohon sebagai 'WNI yang memiliki hak untuk memilih' dan sebagai 'anggota DPD RI dan telah dipilih', menurut Manahan akan relevan apabila dihubungkan dengan hak mempersoalkan norma a quo.
"Jadi, harus ada ketegasan, apakah mau menjadi sebagai pemegang hak pilih atau hak untuk dipilih sebagai anggota DPD," kata Manahan.
Berikutnya, Hakim Konstitusi Arief menyampaikan beberapa hal yang perlu menjadi catatan bagi perbaikan permohonan Pemohon. Disampaikan salah satunya, telah banyak putusan MK (terhadap perkara serupa) yang juga telah memuat pengubahan pendirian MK dengan alasan mendasar yang sebaiknya diuraikan secara cermat dan komprehensif serta dengan pandangan baru yang sifatnya sosiologis dan filosofis tentang legal standing yang diberikan MK untuk mengajukan perkara serupa.
"Apakah para Pemohon pada perkara ini tergolong pada pihak yang berhak mengajukan perkara, apakah sebagai anggota DPD atau warga perseorangan," kata Arief.
Advertisement