Liputan6.com, Jakarta Menteri BUMN Erick Thohir pada Selasa (11/1/2022) kemarin telah melaporkan dugaan korupsi Garuda Indonesia kepada Kejaksaan Agung RI. Kali ini, terkait penyewaan pesawat jenis ATR 72-600.
"Garuda Indonesia ini kan lagi proses restrukturisasi, tapi kita ketahui juga ada data valid. Memang dalam pesawat terbang dan leasing ada indikasi korupsi dengan merek yang berbeda, khususnya hari ini adalah ATR 72-600," ujar Erick Thohir.
Advertisement
Kedatangannya ke Kejaksaan Agung RI juga untuk melengkapi data terkait dugaan korupsi tersebut. Dia pun membantah, tujuan kedatangannya untuk melaporkan personal tertentu.
Kendati begitu, Menteri Erick tak merinci angka kerugian dari kasus dugaan korupsi yang menyangkut pesawat ATR 72-600.
"Ini tentu kami serahkan bukti-bukti audit investigasi. Bukan tuntutan, karena sekarang era-nya bukan saling nuduh," kata dia.
Menimpali Erick Thohir, Jaksa Agung Burhanuddin langsung buka-bukaan soal pengadaan pesawat ATR 72-600 lewat leasing, yang sebetulnya merupakan pengembangan daripada kasus lama. Ini terjadi pada zaman eks Direktur Utama Garuda Indonesia Emirsyah Satar.
"Untuk ATR 72-600 ini zaman ES, dan ES sekarang masih ada di dalam tahanan," terang dia.
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Siapa kah ES?
ES atau Emirsyah Satar merupakan Dirut Garuda Indonesia periode 2005-2014. Yang bersangkuran divonis 8 tahun penjara serta denda R p1 miliar subsider 3 bulan kurungan pada 8 Mei 2020. Dia dinyatakan terbukti melakukan tindak pidana korupsi karena menerima suap dengan nilai puluhan miliar rupiah.
"Mengadili, menyatakan terdakwa Emirsyah Satar terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum bersalah melakukan tindak pidana korupsi yang dilakukan secara bersama-sama," tutur Hakim Ketua Pengadilan Negeri Tipikor Jakarta, saat membacakan amar putusannya kala itu.
Emir juga diwajibkan membayar uang pengganti sekitar 2,12 juta dolar Singapura. Jika ia tidak membayar uang setelah hukum tetap, maka hukuman penjara akan ditambah selama 2 tahun.
Vonis ini lebih ringan dibandingkan dengan tuntutan Jaksa Penuntut Umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang menuntutnya 12 tahun penjara serta denda sebesar Rp 10 miliar subsider 8 bulan kurungan penjara.
Fakta persidangan lain, Emir juga menerima uang sebesar 1,2 juta poundsterling, USD 180 ribu, dan sejumlah barang dengan nilai sekitar USD 2 juta untuk memuluskan pengadaan mesin serta awak pesawat Garuda Indonesia.
Pemberian suap atas pembelian mesin pesawat Garuda dari Airbus, Rolls-Royce, dan ATR dilakukan melalui Soetikno Soedarjo yang merupakan pemilik Connaught International Pte Ltd dan PT Ardhyaparamita Ayuprakarsa. Sedangkan, Bombardier melancarkan aksinya melalui Hollingsworld Management International Ltd Hong Kong dan Summerville Pacific Inc.
Selain suap, Emir juga dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana pencucian uang (TPPU). Praktik haram yang dilakukannya bersama Soetikno Soedarjo dari suap pengadaan pesawat tersebut ditaksir mencapai Rp 87,46 miliar.
Advertisement
Dilanjutkan AA
Tongkat estafet korupsi Garuda Indonesia berlanjut saat dipimpin I Gusti Ngurah Askhara Danadiputra, alias Ari Askhara (AA). Dia hanya 1 tahun menjabat sebagai dirut, namun punya rentetan catatan buruk seperti pemalsuan laporan keuangan, rangkap jabatan, hingga penyelundupan.
AA diketahui pernah memanipulasi laporan keuangan tahun buku 2018 dari rugi menjadi untung. Pemalsuan laporan keuangan ini terungkap dalam Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) yang digelar perseroan pada 24 April 2019.
Dalam rapat itu, Chairal Tanjung dan Dony Oskaria menolak laporan keuangan Garuda Indonesia. Kedua komisaris kubu konglomerat Chairul Tanjung (CT) ini menolak pencatatan pendapatan dari perjanjian kerja sama antara Garuda Indonesia dengan PT Mahata Aero Teknologi.
Pendapatan dari Mahata sebanyak USD 239,94 juta tidak dapat diakui dalam laporan keuangan karena belum direalisasikan. Pencatatan tersebut membuat posisi Garuda Indonesia laba USD 5,01 juta. Namun, akhirnya manajemen Garuda yang dipimpin Ari mengoreksi laporan keuangan 2018 alias restatement.
Dalam kasus ini, Ari dkk hanya dikenakan sanksi denda yang dibagi menjadi tiga bagian, diantaranya denda Rp 100 juta kepada Garuda Indonesia sebagai perusahaan terbuka. Kemudian, denda Rp 100 juta kepada masing-masing direksi. Terakhir, denda Rp 100 juta secara kolektif bagi direksi dan komisaris yang menandatangani laporan keuangan tersebut.
Meski selamat dari jeratan hukum, Ari akhirnya terjungkal dalam kasus penyelundupan motor Harley Davidson dan sepeda Brompton. Kasus ini sekaligus menjadi akhir masa jabatannya sebagai pimpinan Garuda setelah Menteri BUMN Erick Thohir memecatnya dengan tidak hormat.
Setelah resmi ditetapkan sebagai tersangka, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Pengadilan Negeri Tangerang menuntut Ari Askhara dengan 1 tahun kurungan penjara. Tuntutan itu telah dibacakan pada 24 Mei 2021.
Warisan Orde Baru
Jika ditelisik lebih jauh, kasus korupsi di Garuda Indonesia tampaknya sudah mengakar sejak era orde baru. Menteri Pendayagunaan BUMN Tabri Abeng pada 1998 membongkar, Garuda Indonesia sebenarnya bisa menghemat USD 18,27 juta per tahun apabila sejumlah kerja sama operasi (KSO) berbau KKN di tubuh perseroan dihilangkan.
Salah satunya melibatkan Hutomo Mandala Putra alias Tommy Soeharto, yang ikut bermain bersama PT Artasaka Nusaphala saat Garuda Indonesia akan menyewakan pesawat Fokker F-28 kepada anak usahanya, Merpati Nusantara.
Usulan itu lantas ditolak Dirut Merpati Nusantara Ridwan Fataruddin dengan alasan harga sewa terlalu mahal. Adapun harga sewa pesawat tersebut mencapai USD 110 ribu per bulan kala itu.
Kesanggupan Merpati saat itu, menurut Ridwan, hanya 60.000 dollar AS atau maksimum 70.000 dollar AS per bulan.
Karena keberaniannya menampik tawaran-tawaran tersebut, Ridwan Fataruddin harus membayar mahal, ia digeser dari pucuk pimpinan Merpati Nusantara.
Advertisement