Menakar Dampak Kebijakan The Fed terhadap Pasar Negara Berkembang

Penasihat Menteri Keuangan Bidang Keuangan dan Keuangan Syariah, Halim Alamsyah menyebutkan sejumlah faktor yang pengaruhi penetapan suku bunga.

oleh Pipit Ika Ramadhani diperbarui 12 Jan 2022, 14:26 WIB
Suasana gedung perkantoran di Jakarta, Sabtu (17/10/2020). International Monetary Fund (IMF) memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia 2020 menjadi minus 1,5 persen pada Oktober, lebih rendah dari proyeksi sebelumnya pada Juni sebesar minus 0,3 persen. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Liputan6.com, Jakarta - Awal 2022, ada tiga isu global yang perlu dicermati pelaku pasar, yakni inflasi dunia, ketidakpastian pasar dalam menyikapi kebijakan The Fed, dan perkembangan COVID-19.

Khusus untuk kebijakan The Fed, Penasihat Menteri Keuangan Bidang Keuangan dan Keuangan Syariah, Halim Alamsyah menyebutkan terdapat USD 8,7 triliun dalam neraca bank sentral AS dalam bentuk surat-surat berharga.

“Ini menggelembung luar biasa dibandingkan dengan 5 tahun yang lalu hanya sekitar USD 4,5 triliun. Pasar menyadari likuiditas global; berlimpah akibat QE dari bank-bank sentral negara maju,” kata dia dalam Sinarmas Sekuritas & Sinarmas Asset Management, Rabu (12/1/2022).

Ia menilai, ada sejumlah faktor yang akan mempengaruhi penetapan suku bunga, di antranya termasuk kurs dan country risk. Namun, dua faktor tersebut dikatakan Halim masih sulit untuk diprediksi. Hal itu lantaran ketidakpastian tentang kekuatan ekonomi negara-negara berkembang menghadapi shock trade, capital outflows dan penyesuaian balance sheets sektor swasta yang tidak keberhutangan dan kualitas asetnya buruk.

Dalam situasi tersebut, ada setidaknya dua skenario yang dijabarkan Halim. Pertama, pemilik dana atau investor menjadi konservatif. Artinya, karena investor sulit melakukan prediksi terhadap kurs country risk di negara berkembang, investor meninggalkan negara berkembang dan melihat aset negara maju.

"Ini artinya akan terjadi capital outflow kemudian akan mengakibatkan kurs dollar makin kuat terhadap mata uang negara berkembang dan ini mengakibatkan yield antara aset negara berkembang dengan negara maju itu makin melebar. Artinya akan lebih banyak kenaikan yang terjadi pada yield di aset negara-negara berkembang,” ujar Halim.

"Kenaikan yield, jangan lupa itu artinya adalah harganya itu akan turun sementara di negara berkembang yield akan naik tapi tak secepat neagara bekembang,” imbuhnya.

 

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.


Risiko Perlambatan Ekonomi

Pemandangan gedung-gedung bertingkat di Ibukota Jakarta, Sabtu (14/1). Hal tersebut tercermin dari perbaikan harga komoditas di pasar global. (Liputan6.com/Immanuel Antonius)

Dia menuturkan, jika fundamental suatu negara kurang baik, situasi ini akan menyulitkan neraca korporasi yang hutangnya sudah tinggi lalu kemungkinan investasi juga akan berkurang. Sehingga prospek pertumbuhan ekonominya melemah dan akan menekan kurs makin menjadi lemah.

"Akibatnya, untuk bisa menetralisir terjadinya capital outflow mengurangi tekanan terhadap suku bunga domestik nya harus makin tinggi,” kata Halim.

Skenario kedua, investor akan lebih selektif. Maksudnya, investor tidak serta merta meninggalkan pasar negara berkembang, atau tidak sepenuhnya menghindari negara berkembang. Dengan pertimbangan kondisi fundamental negara  berkembang tersebut kuat dan yield yang diberikan juga menarik. Akibat dari skenario ini, kurs negara berkembang masih akan melemah walau terbatas.

"Kenaikan yield aset negara berkembang juga kemungkinan tidak banyak sepanjang inflasi dalam negeri terkendali. Namun investor akan tetap meminta premium sebagai cerminan naiknya risiko investasi secara global,” kata Halim.

Pada saat bersamaan, akses ke pasar keuangan internasional kemungkinan akan menjadi sedikit lebih mahal sebagai akibat terbatasnya investor yang berminat. Selanjutnya, pertumbuhan prospek negara berkembang ketika banyak terganggu oleh kondisi keuangan dunia seperti ini.

Namun risiko perlambatan ekonomi akan muncul dari struktur perekonomiannya. Seperti seberapa sensitif the eternal trade, fiscal dan monetary policy spaces untuk melakukan countercyclical atau stimulus, proses konsolidasi neraca sektor korporasi pasca pandemi COVID-19.

 

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya