Dari Catatan Sejarah, Pernah Terjadi 8 Kali Gempa Merusak di Selat Sunda

Kepala BMKG menjelaskan, berdasarkan catatan sejarah kegempaan, sejak 1851 hingga 2019, telah terjadi beberapa kali gempa bumi di wilayah tersebut.

oleh Rinaldo diperbarui 15 Jan 2022, 05:38 WIB
Pemandangan dari udara kawasan pemukiman nelayan di Kampung Sumur Pesisir, Pandeglang, Banten, Selasa (24/12). Situasi Kampung Sumur gelap gulita karena listrik mati saat tsunami menerjang. (Merdeka.com/Arie Basuki)

Liputan6.com, Jakarta Kepala BMKG Dwikorita Karnawati menjelaskan, berdasarkan catatan sejarah telah terjadi delapan kali gempa yang merusak di sekitar Selat Sunda, Banten, mulai dari periode 1851 hingga Agustus 2019, sebelum gempa 6,6 M mengguncang pada Jumat (14/1/2022).

"Perlu kami sampaikan berdasarkan catatan sejarah kegempaan, sejak 1851 hingga 2019, telah terjadi beberapa kali gempa bumi di wilayah tersebut," ujar Dwikorita dalam konferensi pers yang diikuti dari Jakarta, Jumat petang.

Ia merinci pada Mei 1851 gempa kuat di sekitar Teluk Betung dan Selat Sunda menyebabkan gelombang tsunami setinggi 1,5 meter, namun tidak ada laporan berapa kekuatannya. Kemudian pada 9 Januari 1852, gempa yang juga tidak diketahui kekuatannya menyebabkan tsunami kecil.

Pada 27 Agustus 1883 terjadi tsunami di atas 30 meter akibat letusan Gunung Krakatau. Lalu pada 23 Februari 1903 terjadi gempa magnitudo 7,9 yang berpusat di selatan Selat Sunda dan menyebabkan kerusakan di Banten.

Pada 26 Maret 1928 terjadi tsunami kecil yang teramati di Selat Sunda pascagempa kuat, namun tidak diketahui berapa kekuatan getarannya. Pada 22 April 1958 terjadi gempa kuat di Selat Sunda diiringi dengan kenaikan permukaan air laut/tsunami.

Pada 22 Desember 2018 terjadi longsoran akibat letusan Gunung Anak Krakatau yang menyebabkan tsunami. Terakhir pada 2 Agustus 2019 terjadi gempa magnitudo 7,4 yang merusak di Banten dan terjadi tsunami.

Mengingat wilayah sekitar Banten/Selat Sunda kerap terjadi gempa dengan kekuatan merusak, Dwikorita meminta agar bangunan di sekitar wilayah tersebut dibangun dengan menggunakan konstruksi bangunan tahan gempa bumi guna menghindari dari risiko kerusakan.

"Selain itu juga harus dilengkapi dengan jalur dan tempat evakuasi," kata dia.

 


Mengecek Kondisi Bangunan

Sementara itu, Kepala Pusat Gempabumi dan Tsunami BMKG Bambang Setiyo Prayitno mengatakan bahwa Indonesia merupakan wilayah pertemuan lempeng sehingga rawan terjadi gempa.

Menurut dia, sudah semestinya masyarakat membangun hunian yang tahan gempa. Di samping itu, setelah gempa 6,6 M pada Jumat, masyarakat diminta untuk mengecek kondisi bangunannya dan jika menemukan kerusakan dan berpotensi rusak, untuk mengungsi untuk sementara.

"Gempa bumi ini tidak membunuh tapi yang membunuh itu dampaknya dari bangunan yang kurang kuat dan sebagainya, ini sangat membahayakan jadi tolong diperhatikan dengan baik-baik," kata dia.

 

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya