Liputan6.com, Jakarta Pemerintah tengah mengkaji kenaikan tarif KRL untuk diberlakukann pada April 2022. Langkah ini memunculkan berbagai tanggapan dari masyarakat, termasuk pengamat transportasi.
Pengamat Transportasi Djoko Setijowarno mengatakan dengan tarif KRL naik, seharusnya penerapannya bisa diterapkan secara berbeda. Artinya, jika mengacu pada pendapatan rata-rata masyarakat, penerapan tarif bisa berbeda tiap golongan masyarakat.
Advertisement
Misalnya, untuk masyarakat dengan penghasilan sebesar Upah Minimum Provinsi (UMP) DKI Jakarta, bisa menggunakan tarif baru yang ditetapkan nanti.
"Sementara yang di bawah UMP bisa pakai tarif KRL yang lama, jadi ada perbedaan pengenaan tarif," katanya kepada Liputan6.com, ditulis Minggu (16/1/2022).
Bahkan, Djoko menaksir, untuk kalangan tertentu seperti lansia atau pedagang dengan penghasilan tak pasti, layanan KRL bisa digratiskan. Artinya, ada subsidi yang terarah untuk kelompok yang membutuhkan.
"Bagi yang mampu dia bisa juga tetap disubsidi karena telah berani beralih menggunakan angkutan umum. Namun angkanya tidak lebih besar dari subsidi ke yang lansia atau orang tak mampu," katanya.
Ia menyontohkan, berapa kelompok yang bisa mendapatkan subsidi diantaranya pedagang asongan atau kecil, lansia, dan buruh angkut di pasar-pasar. Skema-nya bisa menggunakan Nomor Induk Kependudukan (NIK).
"Karena semua kan punya NIK dan bisa ditambah data soal pekerjaan dan penghasilan, yang penting jujur dan saya rasa operator bisa lakukan itu," terangnya.
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Naik Jadi Rp 5.000
Diketahui, Pemerintah akan mengkaji mengenai kenaikan tarif Kereta Rel Listrik (KRL) menjadi Rp 5.000 untuk 25 km pertama pada April 2022 mendatang. Salah satunya yang jadi dukungannya, terkait survei kemampuan bayar dan keinginan bayar dari masyarakat di Jabodetabek.
Terkait kenaikan tarif, Kementerian Perhubungan menyampaikan dari survei yang dilakukan di lingkup Jabodetabek, rata-rata kemampuan membayar masyarakat sebesar Rp 8.486 untuk ongkos KRL. Sementara kesediaan membayar masyarakat pada moda Commuter Line sebesar Rp 4.625.
Total responden yang berasal dari semua lintas KRL seperti Bogor, Bekasi, Serpong dan Tanggerang sebanyak 6.841 orang. Terdiri dari responden pria 51 persen (3.577 orang) dan Wanita sebesar 49 persen (3.364 orang).
Sedangkan komposisi responden adalah pekerja sebesar 53 persen, produktif lain (sektor informal) 23 persen, serta pengguna untuk wisata dan rekreasi sebanyak 8 persen, dan 18 persen untuk keperluan lain.
Advertisement
Setuju Naik
Lebih lanjut, Djoko mengaku setuju kita pemerintah menaikkan tarif KRL tersebut. Namun, ia juga memberikan catatan agar ada subsidi yang cukup setara di transportasi umum jenis lainnya seperti bus kota.
"Saya setuju Kemenhub melakukan penyeduaian tarif, karena sebelumnya sudah dari 2018 juga sudah ada kajian sial kenaikan," katanya.
"Sementara di seluruh dunia juga sebetulnya ada subsidi (angkutan umum), jadi bisa juga diberikan subsidi ke angkutan bus perkotaan, ini biar gak terjadi kesenjangan," imbuh dia.
Ia menyontohkan, misalnya, di Kota Bogor, telah dioperasikan Biskita Transpakuan yang merupakan subsidi dari pemerintah yang sebelumnya belum ada. Dengan adanya ini, akses transportasi umum dinilai lenih mudah dicapai.
"Terus dapat yang murah juga, tinggal nanti ada integrasi pembayaran, jadi bisa naik satu kali, dan bayar cukup satu kali," kata dia.