Liputan6.com, Semarang- Jamu untuk obat kuat menjadi konsumsi raja-raja di Jawa. Bukan tanpa alasan mereka mengonsumsi jamu untuk obat kuat, para raja yang memiliki banyak istri tentu membutuhkan stamina yang baik dan fisik yang prima untuk melayani istri-istrinya di ranjang.
Dihimpun dari berbagai sumber, kebiasaan raja Jawa mengonsumsi obat kuat atau jamu kuat ini juga tercatat dalam Serat Centhini.
Perihal jamu diulas pada bagian XIII dalam tiga bab, yakni bab 251 samai 253. Bab-bab tersebut juga menjadi tembang dalam 78 bait Sekar Lonthang, 36 bait tembang Balabak, dan 40 bait tembang Salisir.
Baca Juga
Advertisement
Serat Centhini VII Pupuh Dhandhanggula juga memaparkan ramuan jamu untuk obat kuat. Ramuan terbuat dari campuran akar kakas, merica sunti, serta cabe wungkuk dengan dosis masing-masing tujuh buah. Lalu ditambahkan dengan garam lanang, arang kayu jati, serta seperempat gula aren dan pinet. Semua bahan ditumbuk hingga halus.
Selain itu ada juga ramuan dari getah pohon pisang benggala, kunyit lanang, lemak daging, garam lanang, minyak wijen. Bahan -bahan dicampur dengan air jeruk lalu diminum.
Tidak hanya itu, jamu untuk obat kuat bisa juga dengan campuran daun Jakatuwa dan kajar angjrik, atau cuncung beluk, adas pulosari, temulawak dikeringkan, diseduh dengan air hangat atau panas. Bisa juga dengan campuran cabe dan lempuyang yang dikeringkan dan diseduh air panas.
Saksikan video pilihan berikut ini:
Salah Kaprah
Sementara, pegiat budaya Jawa Hangno Hartono, mengungkapkan, naskah dalam Serat Centhini yang berbicara tentang herbal (termasuk di dalamnya jamu untuk obat kuat atau keperkasaan) adalah pengetahuan umum.
Pada masa lampau, pengetahuan herbal akrab dengan pengobatan sehari-hari, sehingga jamu untuk obat kuat juga tidak didominasi oleh raja-raja Jawa atau keraton.
“Hampir semua masyarakat tradisi jawa mengetahuinya dan ini bisa dilacak di penjual jamu pinggir jalan yang hampir semuanya punya ramuan sehat lelaki,” ujarnya, Selasa (18/1/2022).
Menurut Hangno, orang kerap melihat raja beristri banyak sehingga dikaitkan dengan keberadaan obat kuat yang didominasi kerajaan. Mengutip Ben Anderson dalam The Idea Of Power In Javanese Culture, raja memiliki banyak istri sebagai konsep sakti di Jawa. Seorang raja harus subur dan kesuburan seksualitas dianggap sebagai faktor penting dalam kekuasaan.
Advertisement