Liputan6.com, Jakarta Pemerintah akan mulai menerapkan pajak karbon mulai 1 April 2022 mendatang. Akibatnya Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang menggunakan batubara akan dikenakan pajak karbon senilai USD 2 atau sekitar Rp 30.000 per ton karbon yang dilepaskan bila melebihi batas ketentuan yang diterapkan.
Adanya kebijakan ini akan berdampak pada tarif listrik. Namun Dirjen Ketenagalistrikan, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Rida Mulyana menilai dampaknya ke tarif listrik tidak akan begitu terasa.
Advertisement
"Dampaknya ke tarif listrik ada, tapi dengan harga trading Rp 30.000 tersebut dampaknya tidak banyak berpengaruh," kata Rida dalam konferensi pers, Jakarta, Selasa (18/1).
Rida menjelaskan dengan tarif yang telah ditentukan pemerintah tersebut dampaknya hanya sekitar Rp 58 per kwh. Sehingga dengan adanya kebijakan ini tidak akan banyak mempengaruhi tarif listrik.
"Sedikit sekali angkanya, hanya 0,58 rupiah (Rp 58) dari kita yang sekarang per kwh Rp 1.400-an. Jadi ini kecil sekali, tidak terasa sebenarnya," ungkap Rida.
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
PLTU Batu Bara
Rida mengatakan kebijakan tersebut juga baru berlaku untuk para PLTU batubara yang menghasilkan listrik di atas 100 megawatt. Sedangkan bagi PLTU dengan kapasitas di bawah 100 megawatt baru dikenakan tarif pajak karbon pada tahun 2023 mendatang.
Menurutnya, dampak pengenaan pajak karbon tidak akan begitu terasa ke masyarakat karena pengenaannya dilakukan secara bertahap. Terlebih sumber energi listrik di Tanah Air tidak semua berasal dari PLTU batubara, ada juga yang menggunakan PLTA, gas bumi, biomassa dan lain-lain.
Reporter: Anisyah Al Faqir
Sumber: Merdeka.com
Advertisement