Liputan6.com, Jakarta Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat telah memutus bersalah Heru Hidayat melakukan tindak pidana korupsi dan TPPU dalam perkara Asabri. Namun, hakim memvonis nihil Heru Hidayat. Alasannya, terdakwa sudah mendapatkan putusan maksimal di kasus Jiwasraya.
Menanggapi hal itu, Direktur Solusi dan Advokasi Institut (SA Institut), Prof Suparji Ahmad menegaskan, putusan tersebut aneh, dilihat dari aspek rasa keadilan masyarakat. Ia juga menyebut, putusan tersebut mencederai nalar hukum.
Advertisement
"Putusan ini jauh dari tuntutan pidana dari penuntut umum dan mencederai nalar hukum. Karena orang yang merugikan negara dengan sangat banyak malah tidak diberi pidana penjara,” terang Suparji, Rabu (19/1/2021).
Pakar Hukum Pidana ini mengakui, putusan hakim memang harus dihormati. Namun patut dikritisi. Salah satu yang perlu dieksaminasi adalah pertimbangan hakim yang berkutat pada tidak dimasukkannya Pasal 2 ayat 2 UU Tipikor dalam surat dakwaan, yang kemudian menjadi dasar tidak diberinya sanksi pidana.
"Hakim terkesan terbelenggu pada konsep keadilan prosedural, namun bukan keadilan substantif yang diharapkan oleh masyarakat luas. Hakim seharusnya progresif untuk menemukan hukumnya bukan menyerah pada sifat prosedural hukum dengan menafikan rasa keadilan masyarakat," terang dia.
"Dapat dibayangkan Heru Hidayat dihukum seumur hidup dalam perkara tipikor Asuransi Jiwasraya dengan kerugian negara yang timbul sebesar Rp16,7 triliun. Akan tetapi tanpa menjatuhkan hukuman pidana kepada Heru Hidayat dalam kasus Asabri padahal kerugian yang timbul lebih besar yaitu Rp22,7 triliun," sambungnya.
Suparji juga menilai, Hakim terkesan tidak melihat akibat yang mungkin terjadi apabila Heru Hidayat menggunakan upaya hukum peninjauan kembali atas putusan perkara Jiwasraya yang untuknya dijatuhi hukuman seumur hidup. Dan putusan peninjauan kembali tersebut, umpamanya memutuskan dengan hukuman pidana penjara 10 tahun atau 15 tahun.
“Itu artinya Pengadilan telah memutuskan 2 perkara Jiwasraya dan Asabri dengan total kerugian keuangan negara sekitar Rp39 triliun dengan hukuman pidana yang teramat ringan yaitu 10 tahun atau 15 tahun,” ulasnya.
Dukungan untuk Jaksa
Suparji Ahmad mendukung sikap Jaksa Penuntut Umum yang langsung menyatakan, banding dengan tanpa mengurangi penghormatan atas putusan hakim. Upaya Hukum Banding ini, menurut Suparji merupakan, upaya Jaksa Penuntut Umum untuk menegakkan rasa keadilan masyarakat yang terluka dan menegaskan bahwa hukum itu tajam ke atas dan tumpul ke bawah.
"Kita berharap Putusan Banding nantinya Hakim akan progersif dan mengutamakan keadilan substantive untuk mengobati rasa keadilan masyarakat yang terluka atas putrusan tingkat pertama," ujar dia.
Sebab, jika menilik ketentuan pasal 193 ayat 1 KUHAP, apabila hakim menyatakan terdakwa bersalah maka terdakwa dijatuhi pidana. Putusan a quo nyatakan perbuatan terdakwa terbukti mestinya dipidana bukan nihil. Sesuai pasal 240 KUHAP putusan itu keliru sehingga jaksa harus banding.
"Putusan mati sebenarnya itu paling proporsional dan sesuai tuntutan keadilan mengingat perbuatan terdakwa sangat rugikan negara, masyarakat/nasabah dan berulang. Seandainya hakim tidak sependapat dengan tuntutan Jaksa, mestinya hukuman bersyarat lebih memenuhi ketentuan hukum acara dengan tetap jatuhi hukuman. Bersyarat maksudnya, dihukum seumur hidup dengan syarat tidak perlu dijalani apabila putusan sebelumnya (kasus Jiwasraya) tidak ada pengurangan hukuman. Bila ini ditempuh merupakan bentuk progesivitas putusan hakim," tutup dia.
Alasan Hakim
Majelis Hakim berpandangan karena vonis yang dijatuhkan dalam perkara Korupsi Jiwasraya sudah hukuman maksimal selama seumur hidup. Maka vonis pada perkara korupsi Asabri harus dikesampingkan dan tidak boleh dijatuhi pidana lainnya.
Kecuali, pencabutan hak-hak tertentu dan pengumuman putusan hakim sebagaimana pasal 67 KUHP. Maka menurut majelis hakim ketentuan tersebut mutlak harus dipedomani.
"Berdasarkan pertimbangan tersebut meski terdakwa dinyatakan terbukti bersalah tapi karena terdakwa telah dijatuhi hukuman seumur hidup dalam perkara Jiwasraya maka pidana yang dijatuhkan dalam perkara a quo adalah nihil," jelasnya.
Adapun untuk Heru, karena sedang menjalani pidana dalam perkara lain dan tidak dilakukan penahanan maka tidak diperlukan perintah penahanan terhadap terdakwa.
Kemudian, dalam pertimbangannya majelis hakim turut mempertimbangkan hal yang memberatkan yakni, perbuatan terdakwa merupakan kejahatan extraordinary crime yang artinya korupsi dapat berdampak pada bangsa dan negara.
Lebih lanjut, perbuatan Heru tidak mendukung program pemerintah dalam pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme yang menyebabkan kerugian sebesar Rp22 triliun.
"Sedangkan penyitaan aset hanya Rp2 triliun tidak sebanding dengan perbuatan terdakwa. Terdakwa merupakan terpidana kasus korupsi di PT Asuransi Jiwasraya," kata Hakim Anggota.
Sementara hal yang meringankan, meski dalam persidangan terungkap hal-hal yang meringankan. Namun perbuatan tersebut tidak sebanding dng perbuatan terdakwa, keadaan meringankan patut dikesampingkan.
Dengan demikian karena tuntutan hukuman mati tidak dijatuhi, maka Heru dikenakan vonis berdasarkan Pasal 2 ayat 1 Jo Pasal 18 Undang -Undang No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang No 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana.
Heru juga dikenakan melanggar Pasal 3 UU RI Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).
"Menyatakan terdakwa terdakwa Heru Hidayat terbukti secara bersalah melakukan tindak pidana korupsi berdasarkan dakwaan satu primer dan TPPU dakwaan kedua primer," ujar hakim.
Advertisement