Makna Nama IKN 'Nusantara' dari Kaca Mata Sejarawan

Nusantara menjadi nama Ibu Kota Negara yang baru. Namun, usulan nama itu menjadi pro kontra karena diduga terkesan 'jawasentris'. Sejarawan UGM memberikan penjelasan soal nama "Nusantara".

oleh Yanuar H diperbarui 21 Jan 2022, 00:00 WIB
Ilustrasi Nusantara, Sosial, Indonesia (photo created by tawatchai07 on freepik.com)

Liputan6.com, Yogyakarta - Pemerintah secara resmi menamai calon Ibu Kota Negara (IKN) di Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur dengan nama Nusantara. Menurut Sejarawan UGM Arif Akhyat kata "Nusantara" bukan hanya muncul pada masa Majapahit, tapi sejak masa kerajaan Singasari sudah digunakan untuk merujuk wilayah pulau luar. 

"Konsep nusantara, pada masa Majapahit merupakan konsep geopolitik untuk mengidentifikasi suatu wilayah yang meliputi Bali, Malayu, Madura dan Tanjungpura. Keempat wilayah itu juga termasuk wilayah Singapura, Malaysia. Juga wilayah Sumatera, Borneo, Sulawesi dan Maluku, Lombok, Timor. Bahkan pengaruhnya sampai Champa, Cambodia, Annam dan Siam," kata dosen Departemen Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya (FIB) ini, Rabu (19/1/2021).

"Jadi secara geografis, Nusantara lebih luas dari apa yang sekarang disebut Indonesia. Dengan sedikit ulasan tadi sebenarnya, nusantara, bukan Jawa tetapi justru merujuk luar Jawa," dia menambahkan.

Menurut pandangan Arif Akhyat, kata "Nusantara" untuk penamaan suatu wilayah tidak mengandung perspektif negatif atau positif. Ia hanya sebuah nama untuk menyebut wilayah di luar Jawa. 

 

"Jika diberikan nama itu untuk IKN ya itu soal nama. Tetapi bagaimana tafsir nama itu digunakan sebagai kebijakan politik untuk pemerataan, keseimbangan, keadilan pembangunan," paparnya.

Seperti diketahui, Presiden Sukarno pernah bercita-cita memindahkan IKN dari Jakarta ke Kalimantan. Menurutnya, Sukarno ingin memindahkan IKN saat itu, pasti ada motif yang berbeda dengan sekarang. 

"Jadi  persoalan perpindahan IKN ini bukan sekadar relevan atau tidak, namun seberapa jauh urgensi dan kesiapan berbagai bidang dalam mengatur keseimbangan dan keadilan pembangunan. Lebih jauh lagi, kebijakan makro dalam konteks pembangunan, termasuk perpindahan IKN jangan sampai ahistoris dan bersifat politis," dia menegaskan.

Soal pemilihan nama baru untuk IKN, menurutnya, nama ibu kota negara sebaiknya merujuk pada nama wilayah itu sebelumnya. Sebab, bila terjadi pemilihan nama baru untuk sebuah wilayah biasanya akan menghilangkan aspek historis dan konstruksi sosial budaya masyarakat yang sudah menempati lokasi itu sebelumnya. 

"Dalam kajian sejarah, nama-nama kota, apalagi Ibu Kota, selalu terkait dengan kemegahan kota masa lalu," dia memungkasi.

 

Simak video pilihan berikut ini:

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya