Catatan Perjalanan Penutur Bahasa Sunda di Banyumas dan Faktor yang Memengaruhi Kepunahannya

Kepunahan bahasa Sunda di Jawa Tengah juga disebabkan keharusan bahasa Jawa sebagai bahasa lokal daerah.

oleh Liputan6.com diperbarui 21 Jan 2022, 20:00 WIB
Museum Naladipa, Desa Dermaji, Lumbir, Banyumas, menyediakan Sunda Corner, sebuah tempat khusus untuk mengabadikan jejak budaya Pasundan di desa ini. (Foto: Liputan6.com/Bayu Setyo Nugroho/Muhamad Ridlo)

Liputan6.com, Semarang Jauh hari sebelum wilayah-wilayah terbagi menjadi wilayah administratif, kebudayaan Pasundan hidup dan berkembang di sejumlah desa di Banyumas, Jawa Tengah. Bahkan, 20-30 tahun lampau, beberapa warga di grumbul tertentu masih bertutur dengan bahasa Sunda sebagai bahasa sehari-hari.

Salah satunya Dusun Cijurig. Ci berarti air atau tempat, sedangkan Jurig adalah hantu, demit atau dedemit dalam bahasa Sunda. Dusun Cijurig berada di Desa Dermaji, Kecamatan Lumbir, Kabupaten Banyumas yang sehari-hari berbahasa Jawa Pangiyongan alias Ngapak.

Selain Cijurig, di desa ini juga banyak dusun lain dengan nama berbau Sunda. Di antaranya, Cibrewek, Citunggul, Cireang, Ciposing, Cimencos, dan lain-lain.

Kepala Desa Dermaji, Bayu Setyo Nugroho yang asli kelahiran Dermaji mengingat-ingat, kosakata bahasa Sunda pun banyak digunakan, waktu itu. Sayang, perlahan penuturnya beranjak tua dan akhirnya meninggal dunia.

Adapun generasi sesudahnya, dijejali dengan kenyataan bahwa bahasa lokal adalah bahasa Jawa. Bahasa Jawa diajarkan di sekolah-sekolah, sejak SD hingga menengah atas. Akhirnya, perlahan tapi pasti, bahasa Sunda pun punah.

"Sekarang yang tertinggal adalah nama-nama tempat yang menunjukkan bahwa wilayah ini sempat menjadi tempat berkembangnya budaya pasundan," kata Bayu kepada Liputan6.com, Agustus 2019.

Pakar Toponimi yang juga Guru Besar Linguistik Universitas Padjadjaran (Unpad), Prof DR Cece Sobarna mengatakan, berdasar riset yang telah dilakukannya, Dermaji adalah salah satu desa penutur bahasa Sunda di Banyumas.

Bahkan, sebagian penduduk yang kini telah lanjut usia masih fasih berbahasa Sunda. Sayangnya, generasi sesudahnya tidak tidak lagi paham bahasa Sunda.

Dia menilai kepunahan bahasa Sunda di Jawa Tengah juga disebabkan keharusan bahasa Jawa sebagai bahasa lokal daerah. Karenanya, Perda tersebut akan berguna untuk melindungi bahasa Sunda di Jawa Tengah sebagai salah satu kekayaan lokal.

 

*** Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Simak Video Pilihan di Bawah Ini


Jejak Budaya Pasundan di Jateng

Workshop Topomini, memahami nama-nama tempat berdasar bahasa. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)

"Karena belajar dari kasus di sini, di Dermaji itu dulu tidak diajarkan bahasa Sunda. Jadi lama-lama hilang kan. Jadi untuk mencegah kepunahan bahasa secara luas," dia menerangkan.

Cece mengemukakan, keberadaan bahasa Sunda di Jawa Tengah juga menunjukkan bahwa jejak budaya pasundan tumbuh dan berkembang pada masa lalu. Wilayah administratif kini tak lagi bisa menjadi acuan untuk mengajarkan sebuah budaya atau bahasa.

Penyeragaman pelajaran di sekolah-sekolah dikhawatirkan akan mempercepat kepunahan bahasa Sunda. Kepunahan penutur sebuah bahasa, menurut dia, adalah bencana kemanusiaan.

"Di Kabupaten Cilacap, Daeyuhluhur, itu murni berbahasa Sunda. Memang sudah diajarkan di sana. Tapi di kecamatan-kecamatan lain yang juga penduduknya berbahasa Sunda, belum," dia mengungkapkan.

Menurut Cece, di Jawa tengah ada tiga kabupaten yang sebagian warganya bertutur dalam bahasa Sunda. Tiga kabupaten itu yakni, Cilacap, Banyumas, dan Brebes.

Namun, serupa dengan di Desa Dermaji, penutur bahasa Sunda yang tersebar di tiga kabupaten ini juga terancam punah. Karenanya, ia mengusulkan agar Pemerintah Provinsi Jawa Tengah menerbitkan Peraturan Daerah (Perda) Bahasa Sunda di Jawa Tengah.

Perda itu akan menjadi payung hukum untuk melindungi bahasa Sunda yang kini sudah mengalami gejala kepunahan. Berdasar riset yang ia lakukan, penutur bahasa Sunda masih cukup banyak dijumpai di wilayah ini.

"Saya ke gubernur baru menyurati. Tapi belum ada respons. Coba lah diakomodasi, ya melalui Perda. Karena selama ini kan, Sunda dan Banyumasan. Tapi kan ada Sunda juga di situ. Nah, dengan adanya perda itu, gejala kepunahan bahasa bisa diantisipasi," katanya, dalam Diskusi dan Workshop memahami Toponimi di Desa Dermaji, Jumat, 30 Agustus 2019.


Penutur Bahasa Sunda Brebes Tinggal 14 Persen

Perbatasan Cilacap dengan Kabupaten Brebes. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)

Gejala kepunahan penutur bahasa yang hidup bukan di wilayah administratifnya juga terekam dari riset yang dilakukan Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed), Purwokerto, Siti Junawaroh di Brebes, Jawa Tengah. Ia meneliti sikap penutur bahasa Sunda di kabupaten paling barat sisi utara Jawa Tengah ini.

Hasil mengejutkan diperoleh dari penelitian ini. Ternyata, sebagian penutur bahasa Sunda malu, atau lebih tepatnya tak percaya diri menggunakan bahasa Sunda jika berhadapan dengan orang di luar lingkungannya.

Pengguna Bahasa Sunda di Kabupaten Brebes juga semakin menyusut. Kini, satu-satunya kecamatan yang mayoritas warganya masih menggunakan bahasa Sunda hanya Kecamatan Salem.

Siti mengatakan riset sikap penutur bahasa Sunda di Kabupaten Brebes menunjukkan tren positif lemah. Artinya, pengguna bahasa Sunda tetap menggunakan bahasa tersebut, namun sudah merasa malu jika menggunakan bahasa Sunda di kalangan umum.

Menurut dia, bahasa Sunda kini cenderung hanya digunakan sebagai bahasa sehari-hari di lingkungan keluarga atau berkomunikasi dengan tetangga. Bahasa ini sudah sangat jarang digunakan di masyarakat umum, terlebih lembaga pendidikan, perusahaan, maupun kantor pemerintahan.

"Sudah tidak digunakan lagi di sekolah-sekolah, di kantor kecamatan atau kantor pemerintahan lainnya," kata Siti.

Dia menerangkan, penutur bahasa Sunda di Brebes sekitar 14 persen dari keseluruhan jumlah penduduk Brebes. Pusat penutur bahasa Sunda adalah Kecamatan Salem.

"Di kecamatan lainnya sudah mulai jarang," dia mengungkapkan.


'Sunda Corner' di Museum Naladipa Dermaji Banyumas

Anak-anak Desa Dermaji, mengenal sebuah tempat dengan QR Code. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)

Menurut dia, kini warga lebih percaya diri menggunakan bahasa Indonesia. Ini terlepas dari penggunaan bahasa Jawa yang memang masih mayoritas di Kabupaten Brebes.

"Riset saya di Brebes ini seperti mengumpulkan remahan-remahan. Nanti akan dilakukan juga penelitian di Cilacap. Semoga sudah bisa menunjukkan hasil utuh," imbuhnya.

Terkait perlindungan bahasa Sunda, terobosan menarik dilakukan oleh Pemerintah Desa Dermaji, Lumbir, Banyumas. Pemdes bertekad melindungi bahasa Sunda sebagai salah satu kekayaan budaya desanya.

"Kita launching Sunda Corner. Jadi sehubungan dengan Desa Dermaji ini, pada masa yang lalu, pernah menjadi bahasa tutur, masyarakat di sini," ucap Bayu Setyo Nugroho, Kepala Desa Dermaji.

Di Sunda Corner tersebut, bakal ditempatkan peta desa dengan nama-nama grumbul atau tempat berbahasa Sunda. Kemudian, nama-nama itu akan dipasang Q-R Code sehingga ketika dipindai pengunjung bisa langsung membaca asal-usul atau sejarah penamaan tempat ini.

"Dan itu diperkuat oleh riset Profesor Cece Sobarna, bahwa nama-nama itu mengandung bahasa Sunda. Dan ketika itu dikuatkan, maka akan memilki informasi yang bernilai sejarah," dia menerangkan.

Menurut Bayu, bahasa Sunda punah karena anak-anak tidak lagi bertutur dengan bahasa Sunda. Di sekolah pun yang diajarkan adalah bahasa Jawa. Akhirnya, bahasa Sunda benar-benar hilang dari Desa Dermaji.

Untuk mengenalkan bahasa Sunda ke anak-anak dan generasi muda, Museum Naladipa juga menyediakan berbagai bahan bacaan tentang bahasa Sunda, atau buku berbahasa Sunda. Dengan begitu, generasi muda di Dermaji tidak lupa sejarahnya sendiri.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya