Liputan6.com, Semarang- Grebeg Sudiro merupakan salah satu rangkaian perayaan Imlek di Kota Solo, Jawa Tengah. Gunungan dari kue keranjang akan diarak sepanjang Jalan Sudiroprajan Solo.
Kemeriahan semakin terasa dengan hadirnya atraksi barongsai, reog ponorogo dan kesenian jawa lainya yang dilengkapi hiasan ratusan lampion. Perayaan ini umumnya diselenggarakan tujuh hari sebelum Imlek.
Dikutip dari berbagai sumber, segala kemeriahan Grebeg Sudiro adalah lambang akulturasi tradisi Tionghoa dan Jawa, yang melebur dalam suasana toleransi. Namun, Grebeg Sudiro bukan sekadar lambing karena ada fungsi lain dari perayaan lintas etnis ini.
Baca Juga
Advertisement
Dulu, komunitas Tionghoa di Solo hadir untuk berdagang bahkan sebelum berdirinya Keraton Kasunanan Solo. Berawal dari ramainya wilayah Benganwan Solo sebagai sentra perdagangan antar etnis pada saat itu, melahirkan Pasar Gedhe Solo.
Rangkaian kejadian tersebut mendorong pertumbuhan komunitas Tionghoa di Solo yang mencoba mengadu peruntungan di kota. Dalam perkembangannya, mereka bertempat tinggal di wilayah Kasunanan, yaitu Ketandan depan Pasar Gedhe, Balong, Mijen, Kepanjen, Samaan, Sudiroprajan, dan Limolasan.
Pada 1998, Balong menjadi lokasi komunitas etnis Tionghoa yang tidak luput dari aksi kekerasan pada Mei 1998. Stigma negatif dan kerusuhan yang terjadi pada 1743, 1911, 1965, 1980, dan 1998 di Solo perlahan dikikis dengan jalur kebudayaan.
Lahirnya Grebeg Sudiro di Solo pun sebagai siasat kebudayaan guna membentengi masyarakat dari konflik sekaligus membasmi benih kebencian.
(Tifani)