Liputan6.com, Bandung Bel berbunyi menandakan berakhirnya pelajaran tatap muka SMA BPI 1 Bandung, Senin (17/1/2022) siang. Sudah berbulan-bulan bahkan hitungan tahun lamanya bel berdering itu tak lagi terdengar di sekolah yang beralamat di Jalan Burangrang itu.
Suasana sekolah yang selama ini sepi, kini mulai ramai kembali dengan kehadiran siswa-siswi yang hadir ke ruangan kelas. Setelah bel tanda pelajaran berakhir berbunyi, Muhammad Rangga Dwi Agustian (16) meninggalkan kelas dengan riang.
Advertisement
Meski pembelajaran hanya berlangsung maksimal lima jam, bagi Rangga rasa rindu akan suasana sekolahnya akhirnya terobati. Salah satu tempat yang dirindukan adalah ruangan ekstrakurikuler kesenian.
Di SMA BPI 1 Bandung, kegiatan ekstrakurikuler alias ekskul bidang kesenian menjadi bagian kehidupan siswa selain kegiatan intrakurikuler ketika belajar di ruang kelas.
Di ruangan yang berada di salah satu pojok sekolah ini, terdapat sejumlah instrumen musik tradisi dan elektrik yang tersusun rapi. Mulai dari angklung, gamelan, suling, kendang, kecapi gong hingga peralatan band seperti gitar listrik, bass, dan drum semuanya serba ada.
Rangga bertemu Kayla Putri Nafisa (17), teman seangkatan kelas XI yang juga aktif di ekskul Paranada Voice. Ekskul ini merupakan salah satu ekskul cabang musik yang ada di SMA BPI 1 Bandung. Kegiatan yang dilakukan Paranada Voice yaitu pembelajaran teknik dasar olah vokal berkelompok ataupun solo.
Tidak ada rasa canggung antara Rangga dan Kayla ketika berlatih vokal. Keduanya hanya memanfaatkan waktu selama 15 menit untuk berlatih karena masih dalam kondisi pandemi Covid-19.
"Selama pandemi kita memang latihan secara daring. Sebetulnya kurang merasa nyaman karena berbeda kalau latihan langsung di sekolah," ucap Rangga.
Hal serupa juga dirasakan Kayla. Perempuan berjilbab putih ini bersyukur dan mulai lega karena sudah ada ruang gerak untuk mereka kembali menemukan semangat yang pernah hilang.
"Selama di sekolah kita harus tetap perhatikan protokol kesehatan. Kegiatan dalam waktu lama apalagi sampai berkerumun belum diperbolehkan karena masih dalam suasana pandemi," ujarnya.
Simak Video Pilihan di Bawah Ini
Berawal dari Lomba
Paranada Voice sendiri sejauh ini telah menjuarai berbagai lomba grup vokal dan solo vokal. Teranyar, pelajar SMA BPI 1 Bandung ini menjuarai lomba bertajuk Cipta Lagu Keroncong Remaja 2021, Mari Berbahasa Santun yang diselenggarakan Universitas Pendidikan Indonesia pada awal September lalu.
Rangga dan Kayla berhasil menyabet juara dua dalam lomba tersebut. Karya lagu kedua pelajar ini mengangkat tema ajakan untuk menghentikan perundungan atau bullying.
Sepasang remaja kreatif di SMA BPI 1 Bandung ini membuat lagu berjudul Kebablasan. Rangga dan Kayla berpikir korban dan pelaku tidak menyadari tindakan tersebut termasuk dalam kategori tindak perundungan, sehingga kasus perundungan terasa sepele dan terlewatkan begitu saja.
Budaya yang penuh santun, halus dan mengupayakan tidak menyinggung perasaan sesama, tampak tercermin dalam lagu ini.
Awas kebablasan bercanda kelewatan
Niat hanya guyonan tak jaga perasaan
Awas kebablasan lupa menjaga lisan
Menghina secara fisik itu pemberian Tuhan
Awas kebablasan bercanda kelewatan
Jaga persaudaraan jangan jadi musuhan
Awas kebablasan bercanda kelewatan
Lupa menjaga lisan sampai kehilangan teman
Demikian penggalan lirik lagu yang yang berjudul Kebablasan yang dibuat Rangga dan Kayla. Melalui lagu berlanggam keroncong ini, keduanya berusaha menyampaikan pesan bahwa bullying tidak keren di sekolah serta menanamkan pemahaman menerima diri kita dan orang lain apa adanya.
"Melihat di banyak kasus, bullying bisa dibilang awalnya bercanda tapi lama-lama jadi berlebihan. Dari awal kita bikin lagu memang cari tema yang berhubungan dengan itu untuk mengingatkan bahwa bullying bisa berdampak pada psikologis korban," kata Rangga.
Setuju dengan pendapat temannya, Kayla pun merasakan apa yang dirasakan oleh seorang teman yang sering dijadikan candaan tanpa sadar membuat orang tersebut tidak nyaman. Perasaan itulah yang disampaikan Kayla dalam lirik lagunya.
"Biasanya saya melihat pengalaman dari teman-teman. Contohnya mem-bully karena kurang bergaul. Saya sendiri sudah memperdengarkan lagunya ke teman-teman dan banyak yang terinspirasi karena mengandung unsur semangat anti bullying," ujarnya.
Teguh Maulana, staf kesiswaan dan guru seni SMA BPI 1 Bandung prihatin atas tindak perundungan yang bisa berdampak besar baik dalam kesehatan fisik ataupun kesehatan mental khususnya bagi korban. Siswa yang menjadi korban perundungan kerap murung, tidak percaya pada orang lain, merasa dirinya tidak berguna, pendiam dan memisahkan diri dari teman sebayanya.
"Saya lihat korban bullying di mana siswa saya sendiri begitu parah efeknya, di mana akar masalahnya yaitu terlalu berlebihan dalam bersikap atau berbuat dan berucap," ujarnya.
SMA BPI 1 Bandung termasuk sekolah yang terus menggencarkan kampanye sekolah ramah anak. Oleh karena itu sekolah selalu berupaya melakukan pencegahan terhadap perundungan dan kekerasan terhadap anak.
"Musik itu bisa menjadi kampanye perubahan perilaku. Mudah-mudahan karya lagu ini ke depannya akan dibuat dengan versi pelajar sendiri agar bisa digunakan untuk mengkampanyekan pesan anti bullying. Dengan sering diputar di sekolah diharapkan terjadi perubahan perilaku," ujar Teguh.
Advertisement
Laporan Korban Perundungan di Sekolah
Peristiwa perundungan oleh siswa sekolah di Kota Bandung terjadi pada 4 Oktober 2021 lalu ketika pembelajaran tatap muka dilaksanakan secara terbatas. Seorang siswi SD menjadi korban bullying bahkan hingga penganiayaan.
Aksi yang terjadi di kawasan Sukajadi itu terekam dalam video, kemudian viral di media sosial. Korban siswi SD diketahui sempat menjalani perawatan di rumah sakit.
Adapun kasus perundungan tersebut telah diselesaikan secara musyawarah di antara dua belah pihak. Kedua pihak pun sudah menandatangani surat pernyataan yang berisi tak akan melakukan perbuatan serupa di kemudian hari.
Kepala UPT Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Mytha Rofiyanti mencatat, ada tiga klien korban perundungan di sekolah yang ditangani pihaknya pada 2021 lalu. Jumlah penanganan itu lebih sedikit dibandingkan tahun lalu di mana ada tujuh klien yang ditangani.
Sedangkan, pada 2019 tidak ada klien yang ditangani terkait kasus perundungan.
"Untuk 2020, korban perundungan fisik 3 klien, non fisik 4. Sedangkan untuk 2021, tiga klein itu perundungan fisik," ujarnya, Senin (17/1/2022).
Berdasarkan penelusuran Liputan6.com, sepanjang 2020 di Kota Bandung, tercatat ada 431 kasus kekerasan terhadap anak yang ditangani oleh Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Pemberdayaan Masyarakat (DP3APM) Kota Bandung. Terjadi penambahan 181 kasus dari jumlah total kasus di tahun sebelumnya yang tercatat sebanyak 250 kasus.
Di tahun pagebluk ini, dari 431 kasus kekerasan terhadap anak di antaranya terdiri dari 155 kasus kekerasan psikis, 69 kasus pelecehan sosial, dan 55 kasus kekerasan fisik.
Sekretaris DP3APM Kota Bandung Irma Nuryani mengatakan, perundungan sangat memberi dampak luar biasa terhadap perkembangan anak. Cara perundungan ini sendiri ada dua bentuk, yaitu fisik dan non fisik.
“Untuk perundungan fisik mungkin bisa kelihatan dengan babak belurnya anak, tapi non fisik itu yang tidak kelihatan, sangat berdampak luar biasa. Itu sama-sama kita hindari supaya anak-anak bisa berkembang sesuai dengan yang kita harapkan,” tuturnya.
Masih adanya kasus yang terjadi di sekolah yang luput karena tidak adanya pelaporan, Irma menyarankan agar orang tua melaporkan ke P2TP2A. Pihak P2TP2A segera melakukan analisa dengan melihat faktor penyebabnya. Termasuk di dalamnya, mempelajari lingkungan tempat anak tersebut tinggal, hubungan anak dan orang tuanya.
"Di sekolah, kita terus sosialisasikan teknik-teknik penanganan di sekolah karena sudah hampir ramah anak. Para guru juga sudah tahu bagaimana menangani anak yang terkena bullying,” ucapnya.
Perundungan Siber
Perundungan tidak hanya terjadi secara langsung atau secara fisik, tetapi juga sudah merambah kepada dunia maya yang disebut dengan cyber bullying atau perundungan siber. Bahkan kasus cyber bullying meningkat seiring anak-anak banyak menghabiskan waktu di sosial media terutama di masa pandemi Covid-19 seperti sekarang ini.
Dosen Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Mulia Sari Dewi menjelaskan, para ahli perundungan adalah tindakan kekerasan atau tindakan agresif yang terjadi berulang-ulang. Itu kemudian membuat para pelakunya merasa senang dengan apa yang dia lakukan kepada korbannya.
“Perundungan ini bukan hanya terjadi dari orang per orang, tapi antar kelompok. Oleh kelompok kecil atau geng melawan satu atau melawan kelompok lain. Perundungan juga bisa terjadi di luar lingkungan sekolah oleh kelompok besar atau kerumunan massa,” kata Mulia dikutip dari webinar bertajuk Setop Perundungan dari kanal Youtube Kemendikbudristek.
Menurut Mulia, perundungan sendiri memiliki beberapa jenis. Di antaranya cyber bullying yang dilakukan melalui komputer, jejaring sosial di dunia maya, telepon seluler dan peralatan elektronik lainnya.
Kemudian ada perundungan fisik, yaitu merupakan tindakan yang mengakibatkan seseorang secara fisik terluka akibat digigit, dipukul, ditendang dan bentuk serangan fisik lainnya.
Selanjutnya, ada jenis perlindungan sosial, yaitu mencakup perilaku seperti menolak, memeras, mempermalukan, menilai karakteristik pribadi, memanipulasi pertemanan dan mengucilkan.
“Yang terakhir ada perundungan verbal, yaitu meliputi perilaku kekerasan melalui intimidasi atau ancaman kekerasan, ejekan atau komentar rasis. Tidak hanya itu, dia juga melakukan bahasa bernada seksual atau menggoda ejekan dengki atau membuat komentar kejam,” ungkapnya.
Lebih jauh Mulia mengungkapkan, ketika mulai melihat ada perilaku anak yang senang melakukan kekerasan, hal tersebut harus diwaspadai sebelum perlindungan terjadi pada orang lain. Dalam perundungan ini ada beberapa pihak yang berkait, yang paling umum terbagi tiga yaitu pelaku orang yang melakukan kekerasan.
"Yang kedua adalah korban yang mendapatkan kekerasan dari pelaku. Yang ketiga adalah orang-orang yang ada di sekitar peristiwa perundungan, baik yang mendukung pelaku maupun yang membela korban,” tuturnya.
Mulia menjelaskan, ada beberapa alasan kenapa korban perundungan tidak ingin melaporkan kejadian-kejadian tersebut. Pertama, mereka takut akan pembalasan dan merasa malu karena tidak bisa membela diri.
"Bisa juga takut tidak percaya, tidak ingin membuat khawatir orang tua, takut nasihat orang tua, takut guru akan memberitahu si pengganggu dan dianggap menjadi pengadu," ucapnya.
Mulia mengatakan, efek pada korban perundungan sangatlah berbahaya. Korban akan mengalami sulit belajar sehingga nilai mungkin terganggu karena perhatiannya teralihkan.
Selain itu, korban juga bisa melakukan sikap ekstrem, di antaranya balas dendam dalam bentuk melawan, membawa senjata ke sekolah atau bahkan bunuh diri.
"Perundungan sangat berbahaya khususnya terhadap dampak psikologis seperti stres secara psikologis maupun fisik, melakukan bunuh diri, disfungsi sosial, kecemasan depresi sehingga mengalami penurunan kesehatan," ujarnya.
Untuk mencegah perundungan, Mulia menyatakan harus melalui metode yang menyeluruh dan komprehensif oleh semua pihak dan pemangku kepentingan. Mereka harus terlibat dan memberikan komitmen yang sama untuk memerangi dan menghilangkan perundungan di sekolah.
Advertisement
Dampak Negatif Perundungan
Di Indonesia, perundungan adalah salah satu isu utama yang berdampak negatif pada kesejahteraan anak-anak. Menurut data UNICEF, 2 dari 3 anak perempuan dan laki-laki berusia 13-17 tahun pernah mengalami setidaknya satu jenis kekerasan dalam hidup mereka.
Tak hanya itu, 41 persen siswa berusia 15 tahun pernah mengalami perundungan lebih dari beberapa kali dalam sebulan. Sementara, 45 persen dari 2.777 anak muda berusia 14-24 yang disurvei melalui platform keterlibatan anak muda UNICEF U-Report mengatakan bahwa mereka pernah mengalami perundungan siber.
Pendiri Yayasan Sejiwa Amini (SEJIWA) Diena Haryana menyatakan, tindakan perundungan tidak hanya dilakukan secara langsung. Tetapi juga dapat terjadi secara daring atau cyber bullying. Tindakan menghina seseorang ini terjadi melalui jejaring sosial, ponsel atau teknologi digital lainnya.
“Berdasarkan laporan-laporan yang kami terima, anak-anak yang mengalami perundungan di sekolah ketika mereka sekolah online pun kembali mendapatkan perundungan secara daring,” ucap Diena.
Dampak dari cyber bullying pada korban tidak kalah luar biasanya dari perundungan langsung. Akibatnya, korban akan merasa tertekan, depresi, hilang segala motivasi, hilang rasa percaya diri, menutup diri sampai bisa melakukan bunuh diri.
“Sedangkan alasan pelaku melakukan cyber bullying karena para pelaku ingin mempermalukan korban, ingin membalas dendam, menarik perhatian, dianggap jagoan dan juga iri hati,” kata Diena.
Diena menyebut, untuk mengurangi dan menghilangkan kasus perundungan banyak hal yang harus dilakukan semua pihak. Di antaranya memberikan pertolongan pada anak korban cyber bullying, memberikan dukungan kepada anak bahwa ia tidak layak menerima perlakuan tersebut.
"Serta mengajak anak untuk memblok pelaku dan melaporkannya dari medsosnya. Lalu untuk membantu bangkit fokuskan anak pada minat dan hobinya dan yakinkan bahwa orang tua akan selalu mendukung mereka,” ujarnya.
Sekolah Tatap Muka dan Potensi Perundungan
Di tengah gencarnya vaksinasi untuk pelajar, kegiatan pembelajaran tatap muka menguat. Seiring dengan penguatan imunisasi bagi anak, perundungan tetap berpotensi dikhawatirkan terjadi.
Kepala Divisi Pengawasan, Monitoring dan Evaluasi Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Jasra Putra mengatakan, sekolah harus mengingat lagi pesan dari Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Makarim atas “tiga dosa sekolah”.
Ketiga hal itu yakni pendidikan intoleran, pendidikan perundungan, dan kejahatan kekerasan seksual, yang seharusnya tidak terjadi atas nama usaha sadar mendidik dari lembaga pendidikan.
Selain itu terkait dengan bullying, ini adalah sebuah fenomena saat anak yang terbiasa menyaksikan cara kekerasan sebagai penyelesaian masalah. Artinya, mereka tidak pernah diajarkan cara menyelesaikan masalah dengan baik, bahkan memandang kekerasan sebagai cara penyelesaian.
“Luka fisik bisa dicari obatnya, namun luka batin sangat tidak mudah dicari obatnya. Bahkan tidak kelihatan. Namun setelah peristiwa terjadi, kita mulai dapat mengukur apa yang terjadi sebelumnya,” katanya, Rabu (3/11/202).
Begitupun fenomena gangguan perilaku anak selama pandemi Covid-19. Dengan gejala ringan sampai berat, pemicunya bisa sangat banyak. Namun agresifitasnya bisa berbahaya bila tidak terkontrol.
Ini juga bisa terjadi pada siapa saja, termasuk anak, guru dan orang tua, karena menjalani dua tahun selama pandemi di rumah.
Untuk itu, perspektif pemulihan jiwa anak harus kuat, sekuat program pemulihan ekonomi yang sedang dijalankan pemerintah apabila masa transisi pendidikan dari pembelajaran jarak jauh ke pembelajaran tatap muka mau berhasil.
“Semoga tidak ada lagi anak anak yang dihakimi di depan umum, karena belum menemukan cara pola belajar. Karena sejatinya anak akan terus belajar karena itu kebutuhan esensialnya dalam bertumbuh dan berkembang,” ujarnya.
Advertisement