Liputan6.com, Jakarta - Rancangan Undang-Undang Ibu Kota Negara (RUU IKN) sudah sahkan menjadi Undang-Undang. Pengesahan UU IKN yang diberi nama Nusantara tersebut bisa saja dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
Hal itu disampaikan Pakar Hukum Tata Negara Universitas Muslim Indonesia, Fahri Bachmid. Menurut Fahri Bachmid, UU IKN yang disahkan melalui rapat paripurna itu berpotensi memunculkan masalah serius secara konstitusional.
Menurutnya, MK dalam melaksanakan kewenangannya jik ada warga negara atau suatu badan hukum, baik publik maupun perdata yang secara potensial maupun aktual merasa dirugikan hak konstitusionalnya dengan berlakunya UU IKN ini serta mengajukan judicial review ke MK, maka lembaga peradilan tata negara ini akan mengunakan instrumen kewenangannya sebagai “The Guardian of the Constitution” maupun sebagai “ the sole interpreter of the constitution”.
MK dapat saja bersikap dengan tegas dengan mendudukan konstitusi sebagaimana mestinya terkait IKN baru tersebut, tentunya dalam koridor serta frame konstitusi.
Baca Juga
Advertisement
“MK dapat saja membatalkan sebuah pengaturan terkait pranata yang tidak dikenal, baik dalam konteks tidak dikenalnya nomenklatur otorita dalam UUD NRI Tahun 1945 maupun konsep serta paradigma yang memang sangat berbeda maupun tidak dikehendaki dalam rumusan konstitusi,” ujar Fahri dalam keterangan tertulisnya, Senin (24/1/2022).
Fahri Bachmid menyampaikan konsep Otorita IKN berpotensi tidak sejalan dengan paradigma pemerintahan daerah sesuai desain konstitusional sebagaimana diatur dalam ketentuan pasal 18 UUD NRI Tahun 1945, karena rumusan konstitusionalnya mengatur, konsep, struktur, bentuk serta mekanisme secara baku dan diatur dalam ketentuan pasal 18 ayat (1) sampai ayat (7).
“Hal demikian itu menjadi sangat sulit secara teknis ketatanegaraan jika pemerintah dan DPR RI mencoba untuk membangun rumusan serta konsep lain dengan metode ekstensifikasi atau perluasan makna selain dari teks konstitusi yang ada dengan menjadikan pijakan konstitusi untuk memaknai konsep Otorita seolah-olah masih berada dalam rumpun serta ekosistem konsep pemerintahan daerah sebagaimana diatur dalam UUD 1945 saat ini,” katanya.
Rumusan konstitusional berdasarkan ketentuan Pasal 18 tersebut, menurut Fahri Bachmid, mengatur tentang pembagian dan susunan tata pemerintahan daerah Indonesia. Pembagian pemerintahannya terdiri dari Provinsi, Kabupaten dan kota, sebagaimana diatur UU.
Kemudian pada ayat (2), disebutkan Fahri, pemerintahan provinsi, kabupaten dan kota mangatur pemerintahannya masing-masing sesuai asas otonomi dan tugas pembantuan.
Dan pada ayat (3), tambah Fahri, menjelaskan perumusan bahwa Pemda Provinsi, Kabupaten dan Kota, memiliki DPRD, yang anggotanya dipilih melalui Pemilihan Umum (Pemilu).
Konsep Otorita Disebut Inkonstitusional
Selanjutnya, Fahri menguraikan bahwa ketentuan sebagaimana terdapat dalam Ayat (4) mengatur bahwa Gubernur, Bupati dan Walikota, sebagai kepala pemerintahan dipilih secara demokratis, yang diamanahkan menjalankn otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang dalam UU ditentukan sebagai urusan pemerintahan pusat.
“Dengan demikian, jika mendasarkan pada studi hukum tata negara mengenai metode penafsiran berdasarkan “original intent” maka sangat sulit serta tidak kompatibel dengan makna dan paradigma yang telah diatur dalam dalam ketentuan pasal 18 dan 18A UUD NRI Tahun 1945, urai Fahri.
Karena itu, Fahri menilai, jika bangunan politik hukum yang digunakan pemerintah dan DPR untuk mengkonstruksikan konsep Otorita dalam UU IKN yang baru disahkan menjadi tidak sejalan dengan spirit konstitusi sepanjang terkait dengan konsep dan tata kepemerintahan daerah sesuai UUD.
Dengan demikian, lanjut Fahri, jika ada warga negara yang memiliki legal standing serta interest standing terkait konstitusionalitas otorita IKN, maka secara teoritik, MK bisa saja membatalkan atau dapat menyatakan konsep otorita yang terdapat dalam UU IKN itu dinyatakan inkonstitusional,
“Ini adalah sesutu yang sangat riskan, hemat saya idealnya konsep dalam membangun kepemerintahan dalam UU IKN ini haruslah sejalan dan taat pada asas yang telah diatur dalam konstitusi, agar tidak menjadi problem teknis ketatanegaraan dalam urusan pemerintahan,” tutup Fahri Bachmid.
Advertisement