Liputan6.com, Jakarta - Kusta masih menjadi isu global. Dunia masih berjuang untuk mengeliminasi penyakit yang dapat berujung pada disabilitas penderitanya jika tak segera tertangani. Eliminasi kusta tak hanya soal mengentaskan penyakit tersebut, melainkan menghapus stigma yang menyertai. Namun, upaya eliminasi kusta terhambat oleh hadirnya pandemi COVID-19.
Di Indonesia, data yang dihimpun Kementerian Kesehatan RI pada Januari 2021 menunjukkan, masih ada 8 provinsi yang belum mencapai eliminasi kusta yaitu: Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, Gorontalo, Maluku, Maluku Utara, Papua, dan Papua Barat. Sementara itu, ada 113 kabupaten/kota dilaporkan belum mencapai eliminasi kusta, dari 514 kabupaten/kota yang tersebar di 22 provinsi.
Advertisement
Bertepatan dengan Hari Kusta Sedunia yang jatuh pada Minggu terakhir Januari 2022, Duta Persahabatan WHO untuk Eliminasi Kusta Yohei Sasakawa mengajak semua pihak untuk sadar dan bergerak, mengupayakan eliminasi kusta bersama-sama.
Hentikan Stigma
Hari Minggu terakhir bulan Januari adalah Hari Kusta Sedunia. Sejak 2006, saya telah menyuarakan Global Appeal untuk menghentikan stigma dan diskriminasi terhadap orang yang pernah mengalami kusta, dengan dukungan dari berbagai individu dan organisasi yang memiliki pengaruh dari seluruh dunia. Selama pandemi COVID-19, seruan eliminasi stigma dan diskriminasi ini memiliki makna yang lebih penting daripada sebelumnya.
Penyakit kusta, dikenal juga sebagai penyakit Hansen, adalah penyakit menular kronis yang disebabkan oleh Mycobacterium leprae. Penyakit tersebut menyerang kulit dan saraf tepi, dan disebut sebagai salah satu penyakit tertua dalam sejarah manusia. Setidaknya 200,000 kasus baru kusta dilaporkan dari seluruh dunia tiap tahunnya.
Saat ini pengobatan yang efektif untuk penyakit kusta telah tersedia dalam bentuk multi-drug therapy (MDT). Dengan penemuan kasus dan pengobatan secara dini, penyakit kusta dapat disembuhkan tanpa menimbulkan komplikasi. Namun jika terlambat mendapatkan pengobatan, penyakit kusta dapat menyebabkan disabilitas yang progresif dan permanen.
Saat ini diperkirakan terdapat 3 hingga 4 juta orang yang hidup dengan disabilitas akibat kusta. Disabilitas yang terjadi pada orang yang pernah mengalami kusta, ditambah dengan ketakutan serta kesalahpahaman masyarakat mengenai kusta menyebabkan orang yang pernah mengalami kusta dan keluarganya menerima diskriminasi yang hebat, yang terus berlangsung hingga saat ini.
Sejak menjadi Duta Persahabatan WHO untuk Eliminasi Kusta pada tahun 2001, saya telah mengunjungi lebih dari 120 negara untuk melihat situasi orang yang pernah mengalami kusta dengan mata saya sendiri. Kunjungan tersebut membuat saya berpikir bahwa kusta tak ubahnya sebuah motor: roda depan melambangkan upaya untuk mengobati penyakit tersebut, dan roda belakang melambangkan upaya untuk mengeliminasi diskriminasi kusta. Kita tidak akan mencapai tujuan utama “zero leprosy”, kecuali jika kedua roda berjalan bersama.
Sehubungan dengan terhambatnya roda depan, upaya untuk eliminasi kusta termasuk deteksi kasus baru, karena adanya novel coronavirus dan upaya untuk menghentikan transmisi virus tersebut. Pada tahun 2020, angka kasus baru kusta yang dilaporkan turun hingga 37% dibandingkan tahun sebelumnya, yang menurut WHO, kemungkinan besar merupakan dampak dari COVID-19.
Advertisement
Jangan Lupakan Kusta
Sebagai bentuk kepedulian terhadap roda belakang, saya telah bekerja keras agar kusta mendapatkan perhatian secara internasional sebagai isu hak asasi manusia sejak awal tahun 2000an, ketika saya pertama kali melakukan pendekatan dan datang ke Kantor Komisaris Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Hak Asasi Manusia.
Sebagai salah satu hasil, pada tahun 2010 Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa mengadopsi isu eliminasi diskriminasi terhadap orang yang pernah mengalami kusta dan keluarganya. Namun kesuksesan secara nyata akan didapatkan ketika prinsip dan pedoman untuk mencapai resolusi tersebut diimplementasikan secara menyeluruh. Namun karena adanya pandemi COVID-19, upaya untuk meningkatkan kepedulian terhenti, dan orang-orang yang pernah mengalami kusta serta keluarganya merasa bahwa COVID-19 memperburuk diskriminasi yang telah mereka dapatkan sebelumnya.
Oleh karena itu, pada bulan Agustus tahun lalu saya meluncurkan kampanye bertajuk “Jangan Lupakan Kusta” untuk memastikan bahwa kusta tidak terabaikan bahkan di tengah adanya pandemi COVID-19, dan untuk menekankan pentingnya penemuan kasus dan pengobatan kusta secara dini, serta pentingnya eliminasi stigma dan diskriminasi terhadap kusta.
Istilah “jangan lupakan” mencakup berbagai hal: bahwa kusta masih ada; bahwa orang yang pernah mengalami kusta dan keluarganya masih mendapatkan stigma dan diskriminasi; dan bahwa masih terdapat tenaga kesehatan yang melakukan upaya terbaik mereka untuk memberikan layanan kesehatan yang dibutuhkan di tengah situasi yang sulit ini.
Saya berharap bahwa setiap orang di seluruh dunia akan bergabung dalam kampanye ini dan menyuarakan perspektif mereka mengenai alasan mengapa kusta seharusnya tidak dilupakan. Suara perseorangan mungkin hanya didengarkan oleh sedikit individu, namun dengan bersuara bersama, mereka dapat didengar oleh semua orang.
Setengah abad ini membawa kita lebih dekat kepada tujuan kita, dunia bebas kusta, namun pekerjaan kita masih terus berlanjut.
Penting bagi kita untuk menjangkau sebanyak mungkin orang melalui pesan "Jangan lupa kusta" sehingga kita dapat terus membuat kemajuan. Saya berharap dengan tulus kepada Anda untuk memberikan suara dalam upaya ini.
Yohei Sasakawa
Duta Persahabatan WHO untuk Eliminasi Kusta
Duta Persahabatan Pemerintah Jepang untuk Hak Asasi Manusia bagi Orang-Orang yang Pernah Mengalami Kusta/Ketua The Nippon Foundation