Liputan6.com, Jakarta - Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves) menjabarkan isi perjanjian penataan ruang udara di atas wilayah Kepulauan Riau dan Natuna antara Indonesia dengan Singapura. Perjanjian ini disepakati dalam pertemuan antara Presiden Joko Widodo (Jokowi) dengan Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong.
Juru Bicara Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Jodi Mahardi mengatakan, muatan pokok Perjanjian penataan ruang udara atau Flight Information Region (FIR) ini terkait dua hal. Pertama mengenai penyesuaian batas wilayah informasi penerbangan Indonesia – Singapura sesuai hukum internasional.
"Kedua mengenai kerja sama penyediaan jasa pelayanan penerbangan di wilayah FIR masing-masing negara," jelas dia dalam keterangan, Rabu (26/1/2022).
Tujuan paling strategis adalah terjaminnya kepastian, keamanan, keselamatan, dan efektifitas pelayanan jasa penerbangan pada wilayah informasi penerbangan kedua negara yang menjadi tanggung jawab bersama.
Bagi Indonesia, penyesuaian batas FIR ini juga memiliki makna strategis karena penyesuaian batas FIR Singapura dari batas yang ditetapkan ICAO tahun 1973 ke batas FIR sesuai perjanjian ini turut menunjukan penghormatan Indonesia dan Singapura kepada UNCLOS dan menegaskan kedaulatan dan hak berdaulat Indonesia.
Penyesuaian batas FIR ini juga sesuai dengan amanat undang-undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan.
Indonesia Tidak Siap?
Jodi Mahardi mengatakan, beberapa pihak menyatakan bahwa pendelegasian pelayanan Jasa Penerbangan ke Singapura pada area tertentu di sekitar Changi pada ketinggian 0-37.000 kaki kepada otoritas penerbangan Singapura ini menunjukan Indonesia belum siap melayani jasa penerbangan.
Menanggapinya, Jodi mengatakan bahwa kerja sama ini tidak ada kaitannya dengan kemampuan Indonesia. Indonesia sangat siap dan mampu menyelenggarakan jasa pelayanan penerbangan di wilayah FIR yang batasnya telah disepakati.
"Sekali lagi pendelegasian pelayanan jasa penerbangan lebih lebih terkait dengan keamanan dan keselamatan penerbanga," tegas dia.
Indonesia mendelegasikan pelayanan jasa penerbangan kepada Singapura untuk menjaga keselamatan dan efektifitas pelayanan penerbangan yang masuk dan keluar dari Changi Airport dan melalui FIR Indonesia.
Melalui skema dalam perjanjian ini, Indonesia mendelegasikan Pelayanan Jasa Penerbangan secara terbatas (di zona dan ketinggian tertentu kepada otoritas Singapura). Hal ini agar pengawas lalu lintas udara di Singapura, dapat mencegah fragmentasi dan mengkoordinasikan secara efektif lalu lintas pesawat udara yang akan terbang dari dan menuju Singapura di ketinggian tertentu.
Baca Juga
Advertisement
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Indonesia Tak Kendalikan Ruang Udara di Atas Kepulauan Riau
Guru Besar Hukum Internasional UI Hikmahanto Juwana mengatakan, perjanjian pengautran ruang udara antara Indonesia dengan Singapura ini tak serta merta membuat ruang udara di atas Kepri dikendalikan Indonesia.
Ia menyebut klaim pemerintah yang mengendalikan ruang udara di atas natuna sulit diketahui kebenarannya sebelum secara cermat Perjanjian Penyesuaian FIR dipelajari.
"Saat ini perjanjian tersebut belum dapat diakses oleh publik. Bila saatnya perjanjian ini hendak disahkan oleh DPR maka publik akan mendapat akses," katanya dalam keterangan tertulis, Rabu (26/1/2022).
Namun bila merujuk pada siaran pers dari Kementerian Koordinator bidang Kemaritiman dan Investasi, dan berbagai media di Singapura ia menilai kendali FIR belum berada di Indonesia. Bahkan, Hikmahanto menjabarkan alasannya
Pertama, kata dia, Siaran Pers Kemenko Marves menyebutkan di ketinggian 0-37,000 kaki di wilayah tertentu dari Indonesia akan didelegasikan ke otoritas penerbangan Singapura.
"Ini yang oleh media Singapura disebut hal yang memungkinkan bagi Bandara Changi untuk tumbuh secara komersial dan menjamin keselamatan penerbangan," katanya.
Kedua, menurut media Singapura, seperti channelnewsasia, maka pendelegasian diberikan oleh Indonesia untuk jangka waktu 25 tahun. Ia menilai jangka waktu ini dapar diperpaniang sesuai dengan kesepakatan kedua negara.
"Ini berarti pemerintah Indonesia tidak melakukan persiapan serius untuk benar-benar mengambil alih FIR diatas Kepulauan Riau," katanya.
"Apakah 25 tahun tidak terlalu lama? Lalu tidakkah perpanjangan waktu berarti tidak memberi kepastian," imbuhnya.
Raup Keuntungan
Ia mengamini konsep FIR bertujuan untuk keselamatan penerbangan. Namun pada kenyataannya Bandara Changi dapat mencetak keuntungan besar bila FIR diatas Kepulauan Riau masih dikendalikan oleh Singapura.
FIR atas ruang udara suatu negara yang tunduk pada kedaulatan negara bisa saja dikelola oleh negara lain. Hanya saja bila dikelola oleh negara lain menunjukkan ketidak-mampuan negara tesebut dalam pengelolaan FIR yang tunduk pada kedaulatannya.
"Bagi Indonesia muncul sejumlah pertanyaan atas Perjanjian Penyesuaian FIR, antara lain, apakah hingga saat ini Indonesia belum dapat mengelola FIR diatas Kepulauan Riau?," katanya.
"Apakah butuh 25 tahun lagi untuk akhirnya bisa? Ataukah 25 tahun tersebut mungkin tidak mencukupi sehingga perlu untuk diperpanjang lagi?," imbuh dia.
Ia juga menaksir sejumlah pertanyaan ini yang mungkin akan ditanyakan oleh Komisi 1 DPR saat Perjanjian Penyesuaian FIR dibahas untuk pengesahan.
Kemudian ia heran dimana letak kehormatan Indonesia sebagai negara besar bila tidak mampu mengelola FIR diatas wilayah kedaulatannya dan menjamin keselamatan penerbangan berbagai pesawat udara.
"Apakah Indonesia rela bila Changi terus berkembang secara komersial karena FIR diatas Kepulauan Riau dipegang oleh Singapura dan tidak Soekarno Hatta?," tukasnya.
Advertisement