Liputan6.com, Jakarta - PT Bank Negara Indonesia atau BNI (BBNI) akuisisi maksimal 63,92 persen saham Bank Mayora. Pengambilalihan Bank Mayora sejalan dengan rencana BNI untuk membentuk bank digital melalui strategi anorganik. Yaitu pengambilalihan Bank Mayora yang selanjutnya akan ditransformasi menjadi bank digital.
Direktur Utama BNI, Royke Tumilaar menyampaikan, Bank Mayora akan menghadirkan solusi digital berbasis ekosistem khususnya untuk membantu UMKM dalam akomodasi kebutuhan layanan perbankan dan bisnis UMKM.
Advertisement
"UMKM ini besar sekali, potensinya luar biasa. Yang sekarang ini banyak sekali segmen-segmen di UMKM sendiri yang belum kita garap secara optimal. Kita harus garap dengan cost yang rendah dan menggunakan teknologi digital," kata dia dalam Public Expose Kinerja BNI FY2021, Rabu (26/1/2022).
Selanjutnya, Bank Mayora kemungkinan juga akan mengalami perubahan nama. Diiringi dengan perubahan model bisnis dan strategi sebagai bank digital ke depannya.
"Kalau (akuisisi) sudah selesai, tentunya kita juga akan memikirkan branding, strategi-nya, bisnis modal juga kita siapkan, supaya pelan-pelan tahun ini mudah-mudahan sudah bisa aktif masuk ke pasar," ungkap Royke.
Rencana pengambilalihan Bank Mayora oleh BNI akan didanai melalui pendanaan internal BNI, yakni dari dana yang tersimpan sebagai laba ditahan (retained earnings) atau kekayaan BNI.
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Kinerja BNI 2021
Sebelumnya, PT Bank Negara Indonesia Persero Tbk atau BNI (BBNI) berhasil membuat lompatan pemulihan kinerja positif pada tahun buku 2021. Direktur Utama BNI, Royke Tumilaar menyampaikan, laba bersih perseroan tahun buku 2021 tercatat Rp 10,89 triliun atau tumbuh 232,2 persen year-on-year (yoy).
Realisasi kinerja tersebut setara tiga kali lipat dari profit tahun 2020. Laba bersih tersebut juga diperkirakan melampaui ekspektasi pasar.
“Pencapaian laba bersih ini dihasilkan dari pendapatan operasional sebelum pencadangan (PPOP) yang tumbuh kuat 14,8 persen yoy. Sehingga PPOB kita mencapai Rp 31,06 triliun,” ungkap Royke dalam Public Expose Kinerja BNI FY2021, Rabu, 26 Januari 2022.
Royke menambahkan, pencapaian ini bahkan menjadi yang tertinggi yang pernah dihasilkan BNI. Lebih tinggi dari pendapatan operasional sebelum pandemi.
Selain itu, upaya perbaikan kualitas kredit melalui monitoring, penanganan dan kebijakan yang efektif untuk membuat cost of credit membaik menjadi 3,3 persen.
Adapun peningkatan pendapatan operasional bank dihasilkan dari pertumbuhan kredit yang sehat sebesar 5,3 persen yoy atau menjadi Rp 582,44 triliun. Net interest margin yang tangguh di level 4,7 persen, serta pendapatan berbasis komisi (fee based income/FBI) yang pada akhir tahun 2021 tercatat 12,8 persen yoy.
“BNI mempercayai bahwa masih terdapat ruang untuk terus tumbuh ke depannya,” kata Royke.
Pendorong utama kredit selama tahun 2021 adalah penyaluran di sektor bisnis banking terutama pembiayaan di segmen korporasi swasta yang tumbuh 7,6 persen yoy menjadi Rp 180,4 triliun. Di segmen komersial tumbuh 10,4 persen yoy, menjadi Rp 40,9 triliun, segmen kecil juga tumbuh 12,9 persen yoy dengan nilai kredit Rp 95,8 triliun.
Secara keseluruhan kredit di sektor bisnis banking tumbuh 4,5 persen yoy menjadi Rp 482,4 triliun.
Sementara di sektor consumer credit, kredit terbesar yang tumbuh adalah kredit payroll, dengan jaminan gaji yaitu naik 18,3 persen yoy menjadi Rp 35,8 triliun. Kemudian kredit kepemilikan rumah KPR itu tumbuh 7,7 persen menjadi Rp 49,6 triliun.
“Jadi secara keseluruhan kredit konsumen tumbuh 10,1 persen yoy menjadi Rp 99 triliun,” ujar dia.
Advertisement
Fee Based Income
Dalam kesempatan yang sama, Direktur BNI, Novita Widya Anggraini menguraikan, fee based income pada akhir 2021 tercatat tumbuh sebesar 12,8 persen yoy atau menjadi sebesar Rp 13,64 triliun.
“Pertumbuhan ini tentunya sejalan dengan strategi kita yang memang akan lebih fokus kepada transaksi untuk nasabah-nasabah kita. Sehingga pencapaian fee based yang tinggi ini terutama didorong oleh fee based consumer dan juga fee bisnis banking masing-masing tumbuh sebesar 6 persen untuk consumer dan 10,7 persen untuk bisnis banking,” tutur dia.
Pertumbuhan kredit BNI terutama ditopang oleh dana pihak ketiga (DPK) yang secara keseluruhan mencapai Rp 729,17 triliun, tumbuh 15,5 persen yoy. Kondisi tersebut membawa BNI pada situasi likuiditas yang sangat mencukupi dan melampaui pertumbuhan kredit tahun lalu.
Novita mengatakan, penghimpunan DPK ini menguat di kuartal IV 2021 meskipun suku bunga simpanan ini terus mengalami penurunan.
“Atas kondisi DPK tersebut BNI memiliki cadangan likuiditas yang tangguh dan juga siap digunakan untuk mengantisipasi atas permintaan kredit yang meningkat atau pasar obligasi yang berubah menjadi lebih baik di Tahun 2022,” kata dia.
Dari komposisi dana murah atau CASA ini masih mendominasi dari pertumbuhan DPK kita yaitu terjaga total CASA ratio kita ini terjaga di 69,4 persen dari seluruh DPK.
Rasio CASA ini terdongkrak naik hingga 17,1 persen yoy atau menjadi Rp 506,06 triliun. Hal itu disebabkan karena fokus perseroan untuk meningkatkan transaksi dan layanan mobile banking, sehingga CASA ratio ini bisa mencapai di kisaran 70 persen.
"Kemudian pertumbuhan dana murah ini tentunya yang menjadi motor untuk perbaikan cost of fund. Kalau kita bandingkan dengan tahun lalu, CoF kita itu di kisaran 2,6 persen dan pada tahun 2021 menjadi 1,62 persen,” pungkasnya.